HARI Kamis 19 Agustus 1976 hu jan rintik-rintik, tapi cukup
membasahi kota Rantau Perapat (kabupaten Labuhan Batu, propinsi
Sumatera Utara). Di jalan Imam Bonjol Gang Sepakat malam itu
sekitar jam 20.30 Husni Hasibuan, 34 tahun, juruwarta mingguan
Aneka Minggu, Medan, sedang menghadapi mesin tik. Isterinya
berada di kamar menidurkan anak.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu luar disertai suara
memanggil:. "Husni . . . Husni . . . buka pintu". Malam belum
dapat dibilang larut, tapi karena hujan turun, jalan Imam Bonjol
yang masih termasuk bilangan kota itu sudah sepi, apalagi gang
tempat rumah Husni bertengger sangat gelap karena tak dialiri
listerik. Sudah tentu ketukan dan panggilan tamu itu membiaskan
rasa curiga di hati Husni dan isterinya.
Cepat Sedikit
"Jangan buka, bang", pinta isteri Husni, "Siapa pula tamu yang
datang di malam sunyi begini", sambungnya. "Siapa itu", tanya
Husni seakan tak mendengar permintaan isterinya. "Aku, Iyen . .
. tolong buka pintu, ada perlu penting", terdengar jawaban dri
luar. Iyen adalah nama seorang teman dekat Husni. Namun Husni
sendiri heran karena suara yang didengarnya itu tak mirip suara
Iyen, tapi mirip suara Majid, seorang temannya yang lain, yang
suka mabuk minuman keras. Karena itu Husni kembali berkata:
"Bukan si Majid kau?". "Bukan . . . aku si Iyen . . . bukalah
pintu cepat sedikit", kata suara dari luar itu lagi. Dialog
terhenti di situ. Entah mengapa, tiba-tiba saja Husni terus
membuka pintu, meskipun isterinya dari kamar masih terus meminta
agar pintu jangan dibuka.
Begitu dibuka, di mulut pintu berdiri dua orang yang tak
dikenal, sedangkan seorang lagi berdiri agak di kejauhan yang
gelap. "Mana si Iyen", tanya Husni heran karena dia tak melihat
orang yang bernama itu di antara mereka. Tak ada yang menjawab,
tapi tiba-tiba hampir serentak kedua orang itu bergerak cepat
menyiramkan cairan ke wajah tuan rumah, kemudian segera lari
secepatnya menuju ke jalan besar.
Mati Aku
Serentak benda cair itu membasahi wajah, leher dan badan Husni
serta selebihnya berserakan di lantai. Bau sengit merasuk
hidung, dan Husni segera sadar apa yang terjadi. "Aduh mati aku
. . . disiram cuka", pekik Husni. Sementara itu di jalan besar
(jaraknya dari rumah Husni sepanjang 200 meter) terdengar suara
sepeda motor menjauh dengan cepatnya. Keadaan segera heboh,
isteri Husni menjerit melihat keadaan suaminya, dan tetangga
berkumpul.
Bagian tubuh Husni yang kena benda cair itu segera membengkak.
Dan secepatnya dilarikan ke rumah dr. W Manurung (seorang
dokter Rumah Sakit Umum Rantau Perapat), kebetulan tak jauh dari
rumah Husni. Korban segera mendapat pertolongan pertama. Atas
saran dokter, sejam kemudian Husni segera dilarikan dengan mobil
ambulance menuju Medan guna memperoleh pertolongan lebih lanjut
(jarak Rantau Perapat - Medan lebih kurang 300 km). Menjelang
subuh baru sampai. Dengan dipapah Husni dimasukkan ke rumah
sakit Kodam II.
Malam itu juga petugas Komres 207 Labuhan Batu segera datang ke
rumah Husni melakukan pemeriksaan. Benda cair agak bening yang
berserakan di lantai diperiksa. Betul, benda itu cuka getah
(amoniak 90 persen). Selain itu petunjuk hanya dari Jabba
Ritonga yang malam itu berada di kantor Partai Persatuan
Pembangunan, Labuhan Batu. Kantor ini tak jauh dari mulut gang
tempat Husni tinggal. Menurut Jabba Ritonga waktu itu dia
melihat sebuah Honda kijang tanpa lampu lari dengan kencangnya
dengan dikendarai 3 orang yang tak sempat dikenalnya, menuju
arah bioskop Ria. Selain itu tak ada yang dapat dijelaskan Jabba
pada polisi.
Di rumah sang juruwarta polisi menemukan sebuah kaleng cat kecil
yang digunakan sebagai tempat cuka, sebagai barang bukti. Selain
itu untuk bahan petunjuk, yang nampaknya memang minim dalam
perkara ini, polisi menyita mesin tik dan kertas yang lengket di
situ. Kiranya sebuah konsep berita yang hendak dijadikan bahan
laporan kepada sebuah majalah terbitan Jakarta. Konsep berita
itu dibaca polisi tapi cuma beberapa baris saja, yaitu tentang
raibnya uang Rp 36 juta dari kas Pemda Labuhan Batu. "Untuk
bahan penyelidikan apakah peristiwa ini ada hubungannya dengan
berita yang dikerjakan Husni", ujar polisi yang menyita bahan
tersebut dari isteri Husni.
Apa Bung Pikir
Apakah memang ada hubungan dimaksud memang tak jelas, tapi di
dalam mingguan Aneka Mirggu 29 Juli 1976 Husni ada menulis
tentang kasus raibnya uang tersebut, yang membuat heboh di
kalangan kantor bupati. Apakah berita itu benar? Tak jelas, tapi
yang pasti tak ada penjelasan resmi dari Pemda Bupati Asrol Adam
yang dihubungi TEMPO, 3 Agustus tentang soal-soal yang
diberitakan penerbitan itu hanya senyum.."Apa bung fikir masuk
akal. kalau Pemda bisa kebobolan sampai sekian banyak?", katanya
balik bertanya
Kembali tentang Husni Hasibuan nyawanya selamat. Muka, leher
dan dadanya hangus terbakar. 10 hari dia diopname di rumah sakit
Medan, kemudian dilanjutkan berobat jalan pada dokter spesialis
mata. Mata kirinya tak apa-apa, masih terang melihat, mungkin
selamat dari guyuran cuka itu karena gerakan refleks. Tapi mata
kanannya jadi kabur.
Ditemui TEMPO, 2 September yang lalu di rumahnya, keadaan Husni
memang sudah membaik. Hanya mata kanannya yang masih kena
pelaster. Seperti yang diungkapkannya sendiri, diapun heran apa
motif perlakuan sadis pada dirinya itu. "Saya tak merasa punya
musuh siapa-siapa", ujarnya pasti. Kejadian itu segera
dihubungkannya dengan beritanya tentang Rp 36 juta tadi. "Habis
kalau tak soal itu, soal apalagi?" katanya dengan nada curiga.
Sampai di mana sinyalemen Husni, belum diketahui, tapi seminggu
kemudian PWI Cabang Medan telah membuat siaran pers yang isinya
antara lain mengharapkan agar pihak yang berwajib segera
menindak pelaku perbuatan yang melanggar hukum itu.
Sabar, Bung
Dan pihak yang berwajib di Labuhan Batu pun nampak cukup
sungguh-sungguh. Pada 29 Agustus, pihak Komres 207, Labuhan Batu
menangkap seorang pemuda bernama Majid anak Abbas Jamil,
pensiunan pegawai kantor bupati yang tinggal di belakang asrama
polisi. Pemuda ini tak punya pekerjaan tertentu dan suka ngendon
di kedai tuak. Dia disangka polisi turut terlibat dalam
peristiwa penyiraman cuka yang cukup sadis itu, yang menurut
komentar teman-teman Husni sesama wartawan di sana guna
mencelakakan yang bersangkutan seumur hidup dengan membuatnya
buta. Husni sendiri seperti yang diakuinya tak pernah bersilang
sengketa dengan pemuda ini, tapi menurut seorang perwira polisi
yang mendapat tugas menangani peristiwa ini, Majid sekedar orang
suruhan beserta beberapa orang temannya yang lain.
Siapa teman-temannya itu dan siapa yang menyuruh mereka, belum
berhasil disingkap polisi, sampai laporan ini dikirim. "Pokoknya
kami serius dalam soal ini, soal yang lain masih terlalu pagi
diungkapkan sekarang maka no comment dulu. Sabar, bung", ujar
Danres 207 Labuhan Batu, Letkol. B. Siahaan, setelah terlebih
dahulu membenarkan penahanan terhadap Majid dalam perkara itu
kepada TEMPO.
Wakil Ketua PDI
Sesuai dengan keterangan Danres, polisi baru menahan Majid
seolang. Tapi pada 30 Agustus, Kodim 0206 turun tangan pula.
Seorang pemuda bernama Surya Azwar, 28, alias Merlep Lubis,
penduduk jalan Imam Bonjol kota itu ditangkap dan ditahan, atas
perintah Komandan Kodim, Mayor Suroyo Rajiman. Penangkapan
tersebut sehubungan dengan peristiwa cuka itu juga. Merlep
disangka turut bertanggungjawab. Apakah persoalan ini memang
telah sampai mengganggu stabilitas keamanan di daerah itu sampai
Kodim turut campur, tak ada penjelasan. Tapi soal seriusnya
petugas di sana menyidik kasus ini, memang patut dipujikan walau
sampai sekarang soalnya masih belum bisa terang. Yang jelas
dalam suatu perkara pidana biasa di sana, belum pernah terjadi
Kodim dan Polisi serempak turun-tangan.
Husni sendiri menyatakan harapannya semoga siapa pelaku dan
dalang perbuatan sadis terhadap dirinya itu segera dapat
terungkap. Meski perbuatan itu disebutnya sebagai sadis, yang
bertujuan untuk menyiksa dan membuatnya mati pelan-pelan, lelaki
beranak 6 orang ini -- yang selain juruwarta juga adalah Wakil
Ketua PDI (Partai Demokrasi Indonesia) Cabang Labuhan Batu
--bertekad tidak akan jera menjalankan profesi tukang tulis itu.
"Saya tidak akan jadi penakut karena kejadian ini, andainyapun
nanti mata saya yang sebelah harus jadi buta", ujarnya pada TEM-
PO sambil memegang mata kanannya yang masih tertutup perban dan
pelaster. "Lain kali kewaspadaan saya akan ditingkatkan",
ucapnya pula.
Di kalangan juruwarta Rantau Perapat sekarang muncul kelakar
baru setelah kejadian itu. "Hati-hati . . . awas cuka".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini