BULILI, di kawasan Bada Lore Selatan kabupaten Poso, mungkin
desa paling tua usianya dari 1268 desa yang ada di propinsi
Sulawesi Tengah. Di sana hanyak berserakan peninggalan karya
batu purbakala (megalitik) berupa patung, lesung bahkan batu
berukir yang sudah tentu seumur desa itu. Juga ada sisa benteng
batu yang konon sudah ratusan tahun umurnya. Ini menambah kuat
dugaan Bulili sebagai desa tertua atau sudah ada sejak zaman
purbakala. Mungkin sebab itu Bulili juga banyak disebut dalam
buku dan tulisan para etholog barat yang khusus ke sana
melakukan penyelidikan hampir seabad lampau. Konon di museum
negeri Belanda ada tersimpan peta dan foto khusus desa Bulili.
Sekarang pun jika berkunjung ke Bulili suasana lama seperti
dilihat para etnolog barat itu masih tampak. Rumah kediaman
penduduk (kecuali milik kepala desa dan sebuah SD) masih tetap
dalam gaya tradisionil. Yaitu rumah tinggi ditopang oleh
balok-balok bundar berpasak tanpa diikat. Malah ada rumah tambi
(TEMPO 21 Agustus) dan beberapa rumah yang sudah sangat tua
umurnya walaupun reot masih tetap dihuni turun temurun. Suasana
klasik desa ini juga didukung oleh keadaan hidup sehari-hari
penduduknya yang serba tradisionil dan masih banyak berbusana
kulit kayu, seperti nenek moyang mereka di zaman lampau.
Keadaan ini bisa bertahan karena Bulili sendiri sudah lebih
terpencil di dalam kecamatan Lore Selatan yang memang terisolir
itu.
Bulili dalam bahasa daerah setempat artinya berkeliling. Alkisah
kata sahibul hikayat desa ini ditemukan pertama kali oleh
leluhur orang Bulili setelah berkeliling selama 7 hari 7 malam.
Tapi untuk berkeliling sekarang tentunya tak perlu
bersusah-payah atau menyita waktu 7 hari. Keliling desa ini
hanya 4 km. Penduduk tak lebih 200 jiwa, menempati 16 rumah.
Dari Gintu ibukota kecamatan Lore Selatan yang berjarak 6
kilometer dari desa ini harus dicapai dengan jalan kaki ditambah
lagi menanjak gunung berketinggian 850 meter.
Penduduk Bulili boleh dikata tak mempunyai penghasilan tetap.
Sawah dan sedikit ladang yang jauh letaknya dari desa, khusus
untuk keperluan makan mereka sehari-hari. Hasilnyapun sedikit
sekali dan panen hanya setahun sekali. Menurut catatan di balai
desa (yang juga kediaman kepala desa), penduduk Bulili hanya
memiliki kekayaan 64 ekor kerbau, 288 ekor sapi dan 17 ekor
kuda. Bantuan subsidi desa atau inpres tak dikenal di desa
terpencil itu. Bahkan ketika Badan Urusan Cess Daerah membagi
bibit cengkeh cuma-cuma desa ini tak kecipratan. Padahal udara
dingin di sana cocok sekali untuk tanaman cengkeh.
Begitu minim jumlah penduduk sehingga desa kecil lagi terpencil
ini tak perlu banyak diurus oleh aparat desa. Cukup ada kepala
desa dan dua orang pembantu merangkap hansip. "Di ini belum
pernah terjadi pelanggaran hukum", tutur Toheba (44 tahun)
kepala desa Bulili kepada Husni Alatas dari TEMPO yang masuk
desa itu setelah berjalan kaki melintasi gunung selarma 3 hari
dari Palu. Penduduk Bulili masil taat dengan ikatan hukum adat.
Hukum adat mempunyai berbagai sanksi cukup berat bisa dijatuhkan
oleh dewan adat yang nampaknya lebih berkuasa ketimbang aparat
pemerintah sendiri. Hukuman ringan berupa denda kerbau dan
terberat harus diusir dari desa. 100% penduduknya beragama
Kristen Protestan yang dibawa ke sana oleh guru nasrani
merangkap etnolog, Dr A.C. Kruyt
Nyala Api Itu
Bulili sebenarnya kurang memenuhi syarat untuk menjadi sebuah
desa. Selain kurang potensi ekonomi juga karena air sangat susah
didapat. Usaha menggali sumur saja tidak pernah berhasil
sekalipun sudah sedalam 25 meter. Cama Lore Selatan sudah
berkali-kali meminta kesediaan penduduk agar pindah saja ke
tempat pemukiman baru yang lebih makmur. Tetapi permohonan ini
tak mendapat sambutan. Malah pemerintah Belanda yang pernah
secara kekerasan memindahkan penduduk Bulili ke Poboraa di bawah
kaki gunung Bulili juga gagal. Begitu Belanda tak berkuasa lagi.
atas ajakan dewan adat mereka ramai-ramai lagi kembali ke
Bulili. Desa Pobora kini menjadi hutan kembali tanpa penghuni.
Apa sebab mereka begitu cinta Bulili? "Desa ini tempat lahir dan
hidup leluhur kami", ujar Toheba. Kepala desa yang juga turunan
bangsawan Bulili itu malah bercerita panjang lebar tentang masa
lampau desa Bulili. Konon benteng yang masih terlihat sisanya di
sana dulu, pernah dihuni 528 orang. Di dalamnya terdapat
kompleks untuk pimpinan, cerdik pandai, pahlawan/pasukan dan
budak. Untuk tugas hakim mengadili pelanggaran perang atau
sengketa di dalam benteng diserahkan pada wanita.
Penduduk Bulili percaya mereka dilindungi oleh leluhurnya. Konon
sang leluhur itu masih suka menampakkan diri dalam wujud nyala
api yang bentuknya seperti kuda atau bola bernyala. Toheba
menuturkan penduduk banyak yang telah menyaksikan nyala api itu
Setiap sang api muncul berarti Bulili aman dari gangguan apa
saja. "Malah bulan Mei 1976 nyala api itu muncul lagi", tutur
Petrus Bunga BA kepala Kecamatan Lore Selatan membenarkan kisah
kepala desa Bulili. Apa tidak mungkin nyala api itu hanya
sekedar uapan pospor dari perut Bulili? Sebab tak mustahil dalam
perut Bulili ada terkandung mineral yang kelak bisa ditambang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini