Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Setelah 7 keliling

Desa bulili, kabupaten sul-teng, desa tertua, rumah penduduk bergaya tradisional. daerah tidak subur, air sangat susah. penduduk taat pada ikatan hukum adat dan mereka percaya dilindungi leluhurnya.(ds)

9 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BULILI, di kawasan Bada Lore Selatan kabupaten Poso, mungkin desa paling tua usianya dari 1268 desa yang ada di propinsi Sulawesi Tengah. Di sana hanyak berserakan peninggalan karya batu purbakala (megalitik) berupa patung, lesung bahkan batu berukir yang sudah tentu seumur desa itu. Juga ada sisa benteng batu yang konon sudah ratusan tahun umurnya. Ini menambah kuat dugaan Bulili sebagai desa tertua atau sudah ada sejak zaman purbakala. Mungkin sebab itu Bulili juga banyak disebut dalam buku dan tulisan para etholog barat yang khusus ke sana melakukan penyelidikan hampir seabad lampau. Konon di museum negeri Belanda ada tersimpan peta dan foto khusus desa Bulili. Sekarang pun jika berkunjung ke Bulili suasana lama seperti dilihat para etnolog barat itu masih tampak. Rumah kediaman penduduk (kecuali milik kepala desa dan sebuah SD) masih tetap dalam gaya tradisionil. Yaitu rumah tinggi ditopang oleh balok-balok bundar berpasak tanpa diikat. Malah ada rumah tambi (TEMPO 21 Agustus) dan beberapa rumah yang sudah sangat tua umurnya walaupun reot masih tetap dihuni turun temurun. Suasana klasik desa ini juga didukung oleh keadaan hidup sehari-hari penduduknya yang serba tradisionil dan masih banyak berbusana kulit kayu, seperti nenek moyang mereka di zaman lampau. Keadaan ini bisa bertahan karena Bulili sendiri sudah lebih terpencil di dalam kecamatan Lore Selatan yang memang terisolir itu. Bulili dalam bahasa daerah setempat artinya berkeliling. Alkisah kata sahibul hikayat desa ini ditemukan pertama kali oleh leluhur orang Bulili setelah berkeliling selama 7 hari 7 malam. Tapi untuk berkeliling sekarang tentunya tak perlu bersusah-payah atau menyita waktu 7 hari. Keliling desa ini hanya 4 km. Penduduk tak lebih 200 jiwa, menempati 16 rumah. Dari Gintu ibukota kecamatan Lore Selatan yang berjarak 6 kilometer dari desa ini harus dicapai dengan jalan kaki ditambah lagi menanjak gunung berketinggian 850 meter. Penduduk Bulili boleh dikata tak mempunyai penghasilan tetap. Sawah dan sedikit ladang yang jauh letaknya dari desa, khusus untuk keperluan makan mereka sehari-hari. Hasilnyapun sedikit sekali dan panen hanya setahun sekali. Menurut catatan di balai desa (yang juga kediaman kepala desa), penduduk Bulili hanya memiliki kekayaan 64 ekor kerbau, 288 ekor sapi dan 17 ekor kuda. Bantuan subsidi desa atau inpres tak dikenal di desa terpencil itu. Bahkan ketika Badan Urusan Cess Daerah membagi bibit cengkeh cuma-cuma desa ini tak kecipratan. Padahal udara dingin di sana cocok sekali untuk tanaman cengkeh. Begitu minim jumlah penduduk sehingga desa kecil lagi terpencil ini tak perlu banyak diurus oleh aparat desa. Cukup ada kepala desa dan dua orang pembantu merangkap hansip. "Di ini belum pernah terjadi pelanggaran hukum", tutur Toheba (44 tahun) kepala desa Bulili kepada Husni Alatas dari TEMPO yang masuk desa itu setelah berjalan kaki melintasi gunung selarma 3 hari dari Palu. Penduduk Bulili masil taat dengan ikatan hukum adat. Hukum adat mempunyai berbagai sanksi cukup berat bisa dijatuhkan oleh dewan adat yang nampaknya lebih berkuasa ketimbang aparat pemerintah sendiri. Hukuman ringan berupa denda kerbau dan terberat harus diusir dari desa. 100% penduduknya beragama Kristen Protestan yang dibawa ke sana oleh guru nasrani merangkap etnolog, Dr A.C. Kruyt Nyala Api Itu Bulili sebenarnya kurang memenuhi syarat untuk menjadi sebuah desa. Selain kurang potensi ekonomi juga karena air sangat susah didapat. Usaha menggali sumur saja tidak pernah berhasil sekalipun sudah sedalam 25 meter. Cama Lore Selatan sudah berkali-kali meminta kesediaan penduduk agar pindah saja ke tempat pemukiman baru yang lebih makmur. Tetapi permohonan ini tak mendapat sambutan. Malah pemerintah Belanda yang pernah secara kekerasan memindahkan penduduk Bulili ke Poboraa di bawah kaki gunung Bulili juga gagal. Begitu Belanda tak berkuasa lagi. atas ajakan dewan adat mereka ramai-ramai lagi kembali ke Bulili. Desa Pobora kini menjadi hutan kembali tanpa penghuni. Apa sebab mereka begitu cinta Bulili? "Desa ini tempat lahir dan hidup leluhur kami", ujar Toheba. Kepala desa yang juga turunan bangsawan Bulili itu malah bercerita panjang lebar tentang masa lampau desa Bulili. Konon benteng yang masih terlihat sisanya di sana dulu, pernah dihuni 528 orang. Di dalamnya terdapat kompleks untuk pimpinan, cerdik pandai, pahlawan/pasukan dan budak. Untuk tugas hakim mengadili pelanggaran perang atau sengketa di dalam benteng diserahkan pada wanita. Penduduk Bulili percaya mereka dilindungi oleh leluhurnya. Konon sang leluhur itu masih suka menampakkan diri dalam wujud nyala api yang bentuknya seperti kuda atau bola bernyala. Toheba menuturkan penduduk banyak yang telah menyaksikan nyala api itu Setiap sang api muncul berarti Bulili aman dari gangguan apa saja. "Malah bulan Mei 1976 nyala api itu muncul lagi", tutur Petrus Bunga BA kepala Kecamatan Lore Selatan membenarkan kisah kepala desa Bulili. Apa tidak mungkin nyala api itu hanya sekedar uapan pospor dari perut Bulili? Sebab tak mustahil dalam perut Bulili ada terkandung mineral yang kelak bisa ditambang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus