SETELAH pengasingan di Pulau Nusakambangan, para penyelundup
kini dihadapkan pada ancaman baru: akan dituntut di muka hakim
istimewa -- yang khusus diangkat untuk membereskan perkara
mereka. Bulan lalu Departemen Kehakiman telah mengumumkan
pengangkatan 40 orang hakim khusus itu. Jumlah ini diangkat dari
hakim yang tengah bertugas di beberapa kota di Indonesia selama
ini. Di antaranya 15 orang hakim dari Jakarta. Tugasnya: di
samping mengadili perkara di wilayahnya sendiri seperti biasa,
hakim khusus itu berwenang mengadili perkara penyelundupan di
kota mana saja diperlukan. Atau, kalau perlu juga, mereka dapat
minta agar seseorang terdakwa dari kota lain dihadapkan di
kantor pengadilannya. Pokoknya mereka adalah hakim yang punya
wewenang mengadili perkara penyelundupan di dan dari seluruh
pelosok tanah air. Mereka tidak terikat pada ketentuan
yurisdiksi seperti lazimnya.
Di samping untuk menyelesaikan perkara penyelundupan, hakim yang
khusus tersebut juga yang paling punya wewenang mengadili
perkara kejahatan narkotika. Dua perkara itu memang kini
mendapat perhatian khusus -- dari mulai penyidikan permulaan,
penindakan hingga penuntutannya. Apalagi, buat kejahatan
narkotika, yang baru-baru ini RUU-nya telah disetujui DPR. Di
luar yang 40 itu, tak seorang hakim pun punya wewenang untuk
menangani perkara khusus itu. Yaitu perkara yang dilimpahkan
dari Kejaksaan Agung. Namun perkara penyelundupan & narkotika
yang tergolong 'ringan' (kalau tak mau disebut 'teri'), yang
sebelumnya ditangani oleh Kejaksaan Tinggi & Negeri, itu masih
wewenang semua hakim (ekonomi) untuk memeriksa dan memberikan
keputusannya.
Kurang Sreg
Menteri Kehakiman, juga Ketua Mahkamah Agung, belum banyak
menjelaskan mengenai apa yang melatarbelakangi pengangkatan
hakim secara khusus begitu. Walaupun seperti diketahui, akhir
bulan lalu ke 40 hakim istimewa itu telah 'dirahkan' secara
khusus pula di Jakarta. Sehingga di sana sini timbul juga
sedikit rasa kurang sreg di hati hakim yang tidak terangkat.
Misalnya pertanyaan seperti ini: Apakah hakim yang lain dianggap
tidak cukup mampu bekerja seperti rekannya yang 40 orang itu?
Menteri Kehakiman, Prof. Mochtar Kusumaatmadja, cuma menyatakan:
"Kebijaksanaan itu diambil untuk membuktikan bahwa Pemerintah
telah menganggap persoalan itu serius". Lebih dari begitu,
kalangan kehakiman lain menyatakan: Itu untuk menjaga
obyektifitas mata seseorang hakim dan menghindari subyektifitas
yang kadang sulit dihindari. Sebab terlalu lama seorang hakim
bertugas di suatu tempat, lalu menjadi terlampau akrab dengan
lingkungan si terdakwa, akan sulit untul tetap menggunakan
kacamata hakimnya. Kedengarannya memang logis. "Tapi itu berarti
tidak mempercayai kami lagi", kata salah seorang hakim dari
daerah. "Kalau kami sudah dianggap sulit untuk bertindak
obyektif dan malah sudah mementingkan urusan pribadi, itu bukan
soal yang baru dan khusus untuk perkara penyelundupan dan
narkotika saja". "Toh selama ini juga saya tak pernah ditegur
oleh atasan", lanjutnya. Maksudnya: lembaga pengawasan dan
peneguran yang menjadi wewenang hakim atasan -- yang paling atas
ialah para hakim agung -- yang harus lebih efektif.
Dan yang namanya 'keburukan' bagi hakim yang terlalu lama dan
akrab dengan daerah tugasnya, juga bukan soal sekarang-sekarang
ini saja. Tapi mutasi hakim agaknya masih seret. Buktinya:
sedikit saja terjadi mutasi hakim, itu sudah jadi berita yang
lumayan hangatnya. Dan "penduduk ibukota juga tahu", kata hakim
daerah tadi, "hakim di Jakarta masih kelihatan itu-itu
juga".Soal kelangkaan biaya mutasi, baik oleh Ketua Mahkamah
Agung maupun Menteri Kehakiman, sudah acap kali diungkapkan.
Tapi umumpun lebih tahu: Bertahan jadi hakim di kota besar, itu
akan lebih baik dari bertugas di daerah yang terpencil sana. Dan
40 hakim itu lumayan jugalah untuk menambal daripada tidak sama
sekali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini