MASIH banyak hal yang kabur tentang "lompatan teknologi" yang
bernama satelit Palapa itu. Ada yang menganggapnya semacam "guci
wasiat" atau lampu Aladin yang bisa memecahkan segala problim
komunikasi. Ada yang sekedar bertanya, karena memang pengin
tahu. Berikut ini TEMPO mencoba menjelaskan hal-hal yang masih
kabur itu.
T: Apakah satelit Palapa memperlancar komunikasi dari luar
negeri ke Indonesia?
J: Tidak, sebab komunikasi dari dan ke luar negeri tergantung
pada satelit Intelsat yang dimiliki secara bersama oleh 91
negara (Indonesia salah satunya) yang direlai oleh stasiun bumi
PT Indosat di Jatiluhur. Selanjutnya. kelancaran komunikasi dari
luar negeri ke Indonesia tergantung tempat yang dituju di negeri
ini. Komunikasi dari Montreal ke Jakarta, misalnya, sama saja.
Tapi komunikasi dari Montreal ke Jayapura, tambah lancar dengan
adanya satelit Palapa. Hanya saja, pesan itu harus 2 x
naik-turun satelit. Dari Montreal ke Jatiluhur via Intelsat
sekali naik turun satelit. Selanjutnya dari Jatiluhur pesan
diteruskan ke stasiun bumi Palapa di Cibinong, untuk selanjutnya
"ditembakkan" via Palapa ke Jayapura. Jadi komunikasi I arah
(misalnya telegram,televisi) harus menempuh jarak 4 x 36 ribu km
= 144 ribu km, yang lama perjalanannya l/'2 detik. Untuk
komunikasi 2 arah (telepon, misalnya) bisa timbul penundaan dan
gema.
T: Apakah satelit Palapa memperlancar komunikasi dalam negeri?
J: Tergantung tempat yang dituju. Komunikasi dari Jakarta ke
Medan misalnya, yang sudah dihubungkan oleh microwave teoritis
lebih cepat dengan microwave ("jalan darat") daripada lewat
satelit ("jalan antariksa"). Tapi untuk komunikasi dari Banda
Aceh ke Jayapura -- yang tidak dihubungkan oleh microwave maupun
radio frekwensi tinggi -- satelitlah yang paling ampuh.
T: Setelah ada satelit, bisakah orang di Jakarta menghubungi
sanak-saudara mereka di pelosok-pelosok yang terpencil di luar
Jakarta?
J: Tergantung apakah "pelosok" itu sudah ada hubungan telkom
dengan stasiun bumi yang terdekat. Pare-pare misalnya, akan
dibangunkan 1 KTO (kantor telepon otomat) yang punya hubungan
dengan stasiun bumi dekat Ujungpandang via KTO Ujungpandang. Di
pulau Jawa, Blitar dan Salatiga juga akan dirangkul dalam
komunikasi satelit Palapa. Tapi orang Klaten, misalnya, meskipun
sudah ada satelit belum bisa menelepon langsung ke Jakarta.
T: Dengan berlakunya sistim telepon pijat tombol yang mahal di
Jakarta nanti, apakah komunikasi di dalam kota Jakarta sendiri
akan lebih lancar?
J: Teoritis, ya. Sebab kabelnya baru pesawat teleponnya juga
baru. Tapi prakteknya, keamanan dan "ketenangan" kabel-kabel
telepon yang baru itu "masih akan terus diganggu oleh
penggalian-penggalian jalan yang tidak sinkron antara PLN, PAM
(Perusahaan Air Minum) dan Perumtel sendiri", kata Menteri
Perhubungan Emil Salim. Juga sewaktu-waktu bisa terganggu oleh
pelebaran jalan, yang bisa membuat sang kabel bergeser ke tengah
jalan (di bawah aspal dan kerakal, tentunya). Kalau lalu-lintas
ramai, jalan bergetar, kabel pun ikut bergetar. Kalau banjir dan
jalan tergenang air, ada risiko sang kabel ikut "masuk angin'
-- kalau tidak "masuk air".
T: Antara Bali, Jawa dan Sumatera, apakah masih perlu komunikasi
satelit padahal sudah ada microwave, radio VHF?
J: Sebenarnya tidak terlalu mendesak. Microwave malah juga bisa
dipakai untuk meneruskan siaran TV. Tapi bagaimana menghadapi
kenaikan kebutuhan sarana telkom di masa mendatang? Kata Ema
Salim, "sarana telkom harus selalu berpacu lebih cepat dari pada
kenaikan permintaan". Dan kenaikan permintaan di tiga pulau itu
memang lebih cepat dari pada daerah-daerah lain. Juga kenaikan
permintaan sarana telkom antara Jawa dan Kalimantan yang kaya
kayu, minyak dan gas alam itu. Makanya di Banjarmasin juga
dibangun stasiun bumi. Meskipun Banjarmasin sudah bisa
berkomunikasi dengan Surabaya -- dan seluruh jaringan microwave
dari Medan s/d Denpasar -- lewat troposcatter
Banjarmasin-Surabaya.
T: Apakah tidak ada bahaya "interferensi" (bercampurnya sinyal
elektromaknetis) antara SKSD Palapa deran Microwave Nusantara?
J: Ada, sebab frekwensi microwave sama dengan frekwensi sinyal
yang turun dari satelit. Yakni 4 Giga Hertz (4 juta x juta
cydes). Bahaya ini lebih terasa antara Surabaya & Banjarmasin
sebab radius sinyal microwave yang dipantulkan dari troposfir
(15 km di atas muka bumi) itu bisa mencapai 100-1000 km.
Pemecahannya: naikkan frekwensi satelit menjadi 11 - 14 GHz atau
20 - 30 GHz, bangun stasiun bumi jauh dari jaringan microwave,
atau.. tidak usah bangun stasiun bumi satelit dan manfaatkan
jaringan microwave saja.
T: Apakah dengan SKSD Palapa ini siaran TV nasional segera bisa
merasuk sampai ke desa-desa?
J: Belum karena tiga hal. Pertama. satelit ini bukan satelit
siaran broadcast) melainkan satelit komunikasi (telepon, telex,
transmisi data). Meskipun ada 1 transponder khusus untuk siaran
TV sinyalnya terlalu lemah (hanya 33 deciBell Watt) sehingga
tidak bisa ditangkap di desa-desa dengan antena stasiun bumi
mini. Kedua, desa-desa memang belum dilengkapi dengan stasiun
bumi mini yang murah (Rp 1 juta) dengan antena bergaris-tengah
1-21 meter. Ketiga, program yang mau dipancarkan ke desa-desa
itu apa? Jadi pemecahannya pun harus serempak mengganti satelit
yang lebih kuat, membangun stasiun bumi yang murah di desa-desa,
dan menyiapkan program siaran TV pedesaan yang bermutu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini