Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Babak Akhir Indar Mencari Keadilan

Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi bekas Direktur Utama Indosat Mega Media (IM2) Indar Atmanto dalam kasus dugaan korupsi Indosat-IM2. Namun putusan kasasi Mahkamah mengenai penetapan penghitungan ganti rugi negara bisa menjadi "peluru" untuk meminta peninjauan kembali.

4 Agustus 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kabar buruk itu kembali didengar Indar Atmanto, mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media. Selasa dua pekan lalu, lewat sambungan telepon, untuk ketiga kalinya dia mendengar kekalahannya di meja hijau. Warta Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukannya itu ditanggapi Indar dengan biasa saja. "Karena sekarang sedang puasa, mungkin jadinya saya tidak terlalu emosional," kata Indar kepada Tempo, Kamis dua pekan lalu.

Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Indar dan jaksa penuntut umum pada 10 Juli lalu. Putusan penolakan itu diketuk majelis hakim yang beranggotakan Arti­djo Alkostar, M.S. Lumme, dan M. Askin. Dengan penolakan ini, putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memvonis Indar penjara 8 tahun plus denda Rp 200 juta memiliki kekuatan tetap. Sebelumnya, pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, hakim Antonius Widiantoro memvonis Indar penjara 4 tahun dan denda Rp 200 juta. Hakim juga mewajibkan IM2 membayar kerugian negara Rp 1,35 triliun.

Indar mengaku awalnya optimistis lolos dari jerat kriminalisasi yang dialaminya. Pria kelahiran 53 tahun lalu itu mengatakan sebenarnya berharap banyak hakim di Mahkamah Agung dapat menelaah lagi fakta persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam memori kasasinya, Indar telah mencantumkan seluruh kesaksian dalam persidangan. "Kalau dilihat lagi kesaksian itu, tidak ada yang menyatakan bahwa kerja sama Indosat-IM2 ini melanggar hukum," ujarnya.

Pengacara Indar, Luhut Pangaribuan, menduga hakim di Mahkamah Agung melakukan kesalahan yang sama dengan majelis hakim di pengadilan tinggi. Menurut dia, putusan ini menunjukkan hakim tak mengecek kembali fakta persidangan. "Ada kecenderungan sekarang ini Mahkamah Agung menilai semua orang yang dituduh korupsi sudah berarti koruptor," kata Luhut.

Baik Luhut maupun Indar menegaskan bahwa mereka akan mengajukan permohonan peninjauan kembali. Namun Luhut mengatakan akan menunggu lebih dulu salinan putusannya. Menurut dia, sejumlah bukti baru sudah disiapkan. "Ada sejumlah keterangan ahli dan bukti lain," ujarnya.

Putusan Mahkamah Agung ini tak hanya mengecewakan Indar. Kejaksaan Agung, yang juga meminta kasasi karena pengadilan tinggi menghapus pembayaran kerugian negara oleh IM2, gamang bersikap. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Tony Tribagus Spontana tak bisa memastikan apakah pihaknya akan menerima putusan ini atau meminta peninjauan kembali. Menurut dia, Kejaksaan akan menunggu salinan putusan. "Nanti, setelah itu, kami akan ekspose untuk menentukan langkah selanjutnya," ujarnya.

l l l

Kisah Indar berurusan dengan pengadilan korupsi itu berawal dari ekspansi IM2 yang ingin menyediakan layanan Internet bergerak. Niat ekspansi ini akhirnya dituangkan dalam kerja sama Indosat dan IM2 yang berlangsung pada 2006. Sebelumnya, sejak berdiri pada 1996, IM2 hanya menyediakan layanan Internet melalui jaringan kabel.

Belakangan, kerja sama itu dilaporkan Denny Adrian Kusdayat ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat pada 6 Oktober 2011. Ketua Umum Konsumen Telekomunikasi Indonesia ini menuding kerja sama itu melanggar Pasal 25 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000. Pasal tersebut mengatur bahwa penyelenggara jaringan telekomunikasi, seperti Indosat, tak diperbolehkan mengalihkan hak pengelolaan frekuensi radio yang didapatnya dari pemerintah. Kerja sama ini, menurut Denny, yang kemudian "diamini" jaksa, dilakukan agar IM2 terhindar dari up-front fee dan biaya hak penggunaan, seperti yang sudah dibayarkan Indosat.

Pada awal 2012, Kejaksaan Agung mengambil alih pengusutan kasus yang dilaporkan Denny. Jaksa lantas meminta bantuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menghitung kerugian negara dalam kasus ini. Pada 9 November 2012, BPKP menyatakan kerja sama Indosat-IM2 sepanjang 2006-2011 sudah membuat negara rugi sekitar Rp 1,3 triliun.

Empat hari setelah audit BPKP keluar, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring mengirim surat ke Jaksa Agung Basrief Arief. Menurut Tifatul, kerja sama Indosat dan IM2 tak melanggar aturan. Merujuk pada Pasal 9 ayat 2 Undang-Undang Telekomunikasi, IM2 sebagai penyedia jasa telekomunikasi diperbolehkan menggunakan atau menyewa jaringan milik penyelenggara jaringan telekomunikasi seperti Indosat. Kerja sama serupa ini dianggap hal yang lazim.

Namun surat Tifatul tak digubris jaksa. Mereka justru menetapkan mantan Direktur Utama Indosat Johny Suwandi Sjam sebagai tersangka. Belakangan, mantan Direktur Utama Indosat lainnya, Hari Sasongko, juga menjadi sasaran Kejaksaan.

Pada akhir 2012, jaksa melimpahkan berkas Indar ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Merasa tak bersalah, Indar pun menggugat tim audit BPKP ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Langkah Indar diikuti Indosat dan IM2 setelah jaksa menetapkan Indosat dan IM2 sebagai tersangka pada awal Januari 2013. Pada 1 Mei 2013, majelis hakim PTUN menyatakan penghitungan kerugian negara versi BPKP tidak sah dan harus dicabut.

Di pengadilan, jaksa mendakwa Indar memperkaya diri dan korporasi dengan cara melawan hukum serta menyalahgunakan kewenangan. Peran Indar, menurut jaksa, terlacak pada tanda tangan dia dalam berkas perjanjian kerja sama Indosat dan IM2. Jaksa pun menjerat Indar dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Kuasa hukum Indar, Luhut Pangaribuan, menilai tuduhan jaksa salah alamat. Kerja sama Indosat-IM2 merupakan aksi korporasi yang sah. Sebagai individu, Indar, menurut dia, tak bisa didakwa bersalah atas aksi korporasi. "Dakwaan jaksa error in persona," ucap Luhut.

Menyitir surat Tifatul, menurut Luhut, kerja sama Indosat-IM2 pun tak termasuk penggunaan bersama frekuensi atau pengalihan frekuensi radio seperti dituduhkan jaksa. Dari kacamata hukum telekomunikasi, IM2 hanya memakai jaringan milik Indosat. Sebagai penyewa jaringan, IM2 hanya wajib membayar biaya penyelenggaraan telekomunikasi dan kewajiban pelayanan universal (USO) kepada negara. "Semua kewajiban itu sudah dipenuhi," ujar Luhut.

Kalaupun kerja sama Indosat-IM2 dinilai bermasalah, menurut Luhut, semestinya hal itu diselesaikan lewat mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Telekomunikasi. Bila ada indikasi kurang bayar, bisa dipakai Undang-Undang Pendapatan Negara Bukan Pajak. "Sanksinya administrasi, bukan pidana," kata Luhut.

Selama persidangan, saksi dari pihak jaksa dan terdakwa umumnya berpendapat bahwa perjanjian Indosat-IM2 merupakan kerja sama bisnis yang sah dan tak merugikan negara. Tapi jaksa tetap menuntut Indar dihukum penjara 10 tahun dan denda Rp 500 juta.

Sayangnya, fakta persidangan yang mematahkan dakwaan jaksa tak digubris hakim. Hakim menyatakan Indar bersalah melakukan korupsi bersama-sama. Ia dihukum 4 tahun penjara dan didenda Rp 200 juta. Hakim juga mewajibkan IM2 membayar kerugian negara Rp 1,35 triliun. Ganti rugi itu harus dilunasi paling lama setahun setelah ada putusan berkekuatan hukum tetap. Saat itu juga Indar menyatakan mengajukan permohonan banding.

Namun putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kembali membuat Indar terperenyak. Hakim justru menambah hukuman Indar menjadi 8 tahun penjara. Putusan ini rupanya juga tak memuaskan jaksa karena menghapus hukuman ganti rugi pada IM2. Jaksa dan Indar pun sama-sama mengajukan permohonan kasasi, yang berakhir dengan penolakan.

Meski kecewa terhadap penolakan tersebut, Indar masih punya secercah harapan. Ternyata Mahkamah Agung juga menolak permohonan kasasi yang diajukan BPKP terkait dengan putusan PTUN yang membatalkan penghitungan kerugian negara. Putusan itu sendiri baru diketuk hakim Yulius, Supandi, dan Imam Soebechi pada 21 Juli lalu. Artinya, "Putusan MA ini menyatakan tidak ada kerugian negara atas kasus IM2," ujar Indar. Putusan inilah yang kini dipertimbangkan untuk menjadi bekal permohonan peninjauan kembali.

Febriyan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus