Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teddy Anwar, Sekretaris Umum Himpunan Notaris Indonesia, tak sabar menunggu urusan pemilihan presiden tahun ini selesai. Dia berharap, begitu segala urusan pilpres rampung, Mahkamah Konstitusi segera menjadwalkan sidang perdana permohonan uji materinya. Dimasukkan pada 12 Juni 2014, permohonannya hingga kini memang belum mendapat respons dari Mahkamah. "Mungkin menunggu urusan pemilihan presiden selesai," katanya kepada Tempo, Rabu dua pekan lalu.
Teddy mengajukan permohonan uji materi atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Undang-undang ini disahkan pada Januari 2014. Selain diajukan Teddy, permohonan diajukan Soediarto Soenarto dan Himpunan Notaris Indonesia (HNI). Soediarto adalah Ketua HNI. Organisasi yang berkantor di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, ini mengantongi surat keterangan sebagai organisasi kemasyarakatan kesamaan profesi pada 1998.
Uji materi itu menggugat pasal 82 ayat 2 dan ayat 3. Pasal 82 menyatakan (1) Notaris berhimpun dalam satu wadah organisasi notaris, (2) Wadah organisasi notaris sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah Ikatan Notaris Indonesia, (3) Organisasi notaris sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan satu-satunya wadah profesi.
Menurut Teddy, aturan ini menyalahi Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 mengenai kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta pasal 28l ayat 2 yang mengatur hak setiap orang bebas dari tindakan diskriminatif. "Dengan menyebutkan INI wadah satu-satunya notaris, segala rekomendasi yang terkait dengan profesi notaris hanya dapat diberikan INI," ujarnya.
Rekomendasi itu memang sangat penting bagi notaris: dari permohonan pindah wilayah kerja hingga melakukan ujian kode etik—syarat sebelum seseorang kemudian diangkat secara resmi sebagai notaris. Selain INI dan HNI, ada organisasi notaris lain, yakni Asosiasi Notaris Indonesia dan Persatuan Notaris Reformasi Indonesia. Namun, seperti HNI, mereka tak memiliki "kekuasaan" seperti halnya INI.
Kendati besar, bukan berarti INI solid. Bahkan organisasi itu sudah dilanda prahara perpecahan. Ada dua kubu yang kini muncul di tubuh organisasi yang total memiliki anggota sekitar 14 ribu notaris itu, yakni kubu Adrian Djuaini dan Sri Rachma Chandrawati. Adrian tercatat Ketua INI yang diakui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pengakuan inilah yang kini digugat Sri Rachma ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Konflik di INI bermula pada Januari 2012 saat organisasi itu menggelar Kongres XII di Yogyakarta. Diterpa isu money politics, kongres yang berlangsung pada 27-28 Januari tersebut gagal memilih kepengurusan baru dan kemudian dilanjutkan dalam "Kongres Lanjutan" pada 16 Juli 2012 di Balai Sudirman, Jakarta. Di sini kepengurusan baru terbentuk dengan Ketua Umum Sri Rachma Chandrawati dan Sekretaris Umum Hapendi Harahap.
Menganggap pemilihan itu tak sah, enam kandidat ketua yang lain lantas membentuk pimpinan kolektif kolegial dan menjadi presidium kongres. Mereka menutup Âkongres dan memerintahkan digelarnya kongres luar biasa. Di Bali pada 24 Mei 2013, kongres luar biasa pun dilaksanakan. Isinya: membatalkan kepengurusan Sri Rachma. Kongres menggelar pemilihan ulang, lalu terpilihlah Adrian Djuaini sebagai ketua umum dan Yualita Widyahari sebagai sekretaris umum.
Kepada Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat yang menerima mereka pada Mei 2013, Sri Rachma menyatakan, sebelum ada kongres luar biasa, telah ada pertemuan di Riau, yang hasilnya pembubaran pimpinan kolektif kolegial. Sri menegaskan, keberadaan pimpinan kolektif kolegial juga tak terdapat dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
Menurut Adrian Djuaini, konflik di lingkup internal INI telah berakhir. Itu ditandai dengan munculnya Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM pada 26 Juli 2013 tentang Perubahan Pengurus Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia. Kepada Tempo, Ketua Hukum dan Perlindungan Profesi Pengurus Pusat INI Syafran Sofyan menegaskan bahwa Adrian terpilih secara legal dan konstitusional dalam kongres di Bali pada 23-24 Mei 2013. "Saat itu, KLB dihadiri perwakilan dari Kementerian Hukum dan HAM," katanya.
Langkah Kementerian Hukum mengakui INI Adrian itulah yang lantas digugat Sri Rachma. Ia meminta Pengadilan Tata Usaha Negara membatalkan SK menteri itu. Januari lalu, Pengadilan menolak gugatan itu dan Sri kini tengah menunggu putusan banding Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Menurut Syafran, kisruh dalam tubuh INI mendorong munculnya Pasal 82 Undang-Undang Notaris, yang menyebutkan INI satu-satunya wadah notaris. "Usul wadah tunggal sebenarnya sudah ada sejak kepengurusan tiga-empat periode sebelumnya," ucap notaris yang juga dosen di Lembaga Pertahanan Nasional ini. "Usul tersebut terealisasi ketika Adrian menjadi ketua umum," ujarnya.
Syafran menegaskan, organisasi ini perlu hanya satu wadah karena sifatnya yang berbeda dengan organisasi lain. Notaris, kata dia, merupakan pejabat umum karena menjalankan sebagian fungsi negara dalam hukum privat. "Tak hanya mengatur hubungan antarpribadi, tapi juga urusan pribadi dan negara," ucap Syafran.
Nah, lantaran memiliki peran sebagai pejabat umum dan menjalankan sebagian peran negara, notaris perlu pembinaan dan pengawasan. "Kalau organisasinya lebih dari satu, bagaimana pemerintah akan mengawasi itu?" kata Syafran. INI sendiri memiliki struktur organisasi pada 150 daerah di Indonesia.
Tapi sumber Tempo lain menyebutkan konflik utama di tubuh INI tetap tak lepas dari soal fulus. Untuk mengikuti ujian kode etik saja, misalnya, setiap calon notaris harus membayar Rp 1,7-2 juta. Padahal setiap tahun tak kurang dari seribu calon notaris mengikuti ujian kode etik. Selain itu, rekomendasi untuk pindah tugas seorang notaris yang bisa "memakan" biaya puluhan bahkan ratusan juta rupiah. "Semua ini berkaitan dengan uang," ujar sumber tersebut. Syafran membenarkan adanya biaya ujian kode etik itu. Tapi, menurut dia, soal keuangan itu dikelola Kementerian Hukum dan HAM.
Teddy Anwar tak sependapat dengan alasan Syafran soal perlunya wadah tunggal itu. Menurut dia, semakin banyak lembaga profesi yang dilibatkan dan memberi rekomendasi, itu akan lebih baik. Demikian juga dengan transparansi keuangannya. "Karena pengawasan atas aliran dana itu makin banyak," ucapnya. Karena itu, harapannya kelak Mahkamah menyetip ketentuan wadah tunggal tersebut.
Yuliawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo