Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empat karyawan yang semula asyik berbincang di dekat meja penerima tamu itu satu per satu pergi. Mereka seperti "alergi" saat diajak berbicara perihal nasib pemimpin mereka di PT Adei Plantation & Industry yang sedang berurusan dengan hukum. "Pimpinan sedang tidak di tempat," kata petugas keamanan bernama Apriyon ketika mengetahui maksud kedatangan Tempo ke kantor itu, Rabu dua pekan lalu.
Sedikit kabar soal pemimpin perusahaan itu dibisikkan seorang karyawan. "Bos kami dipenjara," ujar lelaki paruh baya ini. Namun lelaki ini pun menolak bercerita panjang-lebar tentang bosnya itu. Dia ngeloyor pergi tanpa menghiraukan pertanyaan lanjutan yang dilontarkan kepadanya.
Tapi, meski bosnya dikerangkeng, kantor PT Adei di Jalan Tuanku Tambusai, Kompleks Taman Anggrek, Kota Pekanbaru, hari itu terlihat terus ramai. Sejumlah karyawan sibuk keluar-masuk kantor yang berupa lima rumah toko berdampingan itu. "Gaji kami juga lancar," ujar Apriyon, yang bercerita bahwa kegiatan harian di kantor tersebut berjalan normal.
Anak perusahaan kelompok Kuala Lumpur Kepong Berhad ini sebenarnya tengah dirundung masalah besar karena tiga petinggi perusahaan itu ditahan Kejaksaan Negeri Pelalawan. Dua orang ditahan sejak pertengahan April lalu karena kasus pelanggaran izin usaha perkebunan.
Keduanya adalah Direktur Utama Goh Tee Meeng dan Direktur Regional Riau Tan Kei Yoong. Satu lagi, General Manager Nilo Complex, Danesuvaran K.R. Singam, ditahan sejak Desember tahun lalu dalam kasus kebakaran lahan. Terakhir, Danesuvaran, yang sedang menunggu vonis pengadilan, berstatus tahanan kota.
Medio Juni 2013. Sudah hampir dua pekan kebakaran hebat melanda wilayah Riau dan Jambi. Pada pekan ketiga bulan itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mendeteksi 1.071 titik api atau hotspot di wilayah Riau. Sedangkan di Jambi terpantau 127 titik api.
Lembaga pegiat lingkungan GreenÂpeace, yang memanfaatkan satelit Landsat, Âmendeteksi lebih banyak titik api. Sepanjang 11-18 Juni 2013, terpantau 1.210 titik api. Sebagian besar berada di Riau, yakni 1.180 titik atau sekitar 98 persen.
Karena terhalang asap pekat, jarak pandang di wilayah Riau saat itu rata-rata hanya sejauh sekitar 200 meter. Akibatnya, kecelakaan lalu lintas kerap terjadi. Pemerintah pun menetapkan kebakaran lahan di Riau dan Jambi waktu itu sebagai bencana nasional.
Kebakaran tahun itu merupakan yang terburuk dalam lima tahun. Dampak kebakaran tak hanya dirasakan di wilayah Indonesia. Asap pekat juga membungkus Singapura dan Malaysia. Penduduk dan pemerintah di kedua negeri jiran itu memprotes keras pemerintah Indonesia. Akibatnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai meminta maaf secara terbuka.
Tak lama kemudian, Kepolisian Daerah Riau menangkap 14 orang yang diduga membuka lahan baru dengan cara membakar. Kepala Kepolisian Daerah Riau Brigadir Jenderal Condro Kirono menyebutkan inisial empat perusahaan yang terindikasi membakar hutan dan lahan. Adapun Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya menyebut delapan perusahaan yang diduga terkait dengan kebakaran lahan. Salah satunya PT Adei Plantation & Industry.
Meski berkali-kali membantah membakar lahan dan hutan, kedelapan perusahaan itu masuk daftar penyidikan aparat. PT Adei disidik Kepolisian Daerah Riau. Adapun tujuh perusahaan lain disidik Kementerian Lingkungan Hidup. Dari delapan berkas penyidikan, yang paling awal masuk ke pengadilan adalah dugaan pembakaran oleh PT Adei. Dalam perkara ini, tersangkanya ada dua: Danesuvaran sebagai penanggung jawab lahan yang terbakar dan PT Adei sebagai tersangka korporasi.
Kebakaran pertama kali melanda lahan plasma yang dikelola PT Adei pada 17 Juni 2013. Api melalap blok 19, 20, dan 21, yang digarap dengan pola kerja sama Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA). Lahan yang terbakar di Desa Batang Nilo Kecil itu berposisi sejajar dengan bekas daerah aliran Sungai Jiat, anak sungai mati yang bermuara di Sungai Kampar.
Semula api hanya membakar rerumputan dan pepohonan di luar kebun sawit produktif. Menurut penyidik polisi, kobaran api pertama kali diketahui Sutrisno, asisten Danesuvaran. Sebagai general manager, menurut para saksi, Danesuvaran tak langsung memerintahkan Sutrisno dan anak buahnya memadamkan api.
Dua hari kemudian, api merambat ke area kebun sawit produktif di blok 20 dan 21, yang masuk lahan KKPA. Pada saat itulah Danesuvaran baru meminta Sutrisno dan kawan-kawan memadamkan api menggunakan ember. Airnya diambil dari bekas Sungai Jiat, yang tinggal kolam-kolam.
Karena alat seadanya itu tak bisa mematikan kobaran api, Sutrisno menghubungi Senior Manager Kebun Inti Nilo Barat II, Zulham. Dia meminjam mesin pemadam api. Ini satu-satunya mesin pemadam milik PT Adei di perkebunan sawit dengan lahan inti seluas 12.860 hektare dan lahan plasma 520 hektare itu.
Dengan satu mesin air, upaya pemadaman dilakukan bergantian. Tapi api tak bisa dikendalikan. Senior Manager Nilo Barat I, Go Keng E.E., membeli satu lagi mesin air dan mengirimkannya ke kebun sawit produktif yang terbakar. Agar kebakaran tak meluas, Sutrisno dan kawan-kawan juga menggali parit di sekeliling lahan yang terbakar.
Pada 22 Juni 2013, PT Adei membeli dua mesin air tambahan. Tapi api baru padam pada 30 Juni, ketika hujan deras mengguyur kawasan Nilo Complex. Total luas lahan yang terbakar sekitar 40 hektare.
Tak lama kemudian, polisi menjadikan Danesuvaran dan PT Adei sebagai tersangka. Sebagai korporasi, PT Adei diwakili Tan Kei Yoong, kelahiran Selangor, Malaysia, 53 tahun silam. Kasus ini mulai disidangkan pada Desember tahun lalu.
Di persidangan, jaksa penuntut umum Syafril menjerat Danesuvaran dan PT Adei dengan dakwaan berlapis. Pada dakwaan pertama primer, Danesuvaran dan Adei dituduh sengaja membuka lahan dengan cara membakar sehingga mengakibatkan pencemaran lingkungan. Sedangkan pada dakwaan pertama subsider, kedua terdakwa dianggap lalai membuka lahan dengan cara membakar. Pada dakwaan kedua jaksa, Danesuvaran dan PT Adei dituduh memberi perintah atau memimpin pembakaran lahan.
Adapun pada dakwaan ketiga primer, Danesuvaran dan Adei dituduh sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran lingkungan. Pada dakwaan ketiga subsider, kedua terdakwa dituduh lalai melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran lingkungan.
Setelah menghadirkan saksi dan ahli, pada 8 Juli lalu tibalah saatnya jaksa membacakan tuntutan. Jaksa menuntut hakim menghukum Danesuvaran penjara lima tahun dan denda Rp 5 miliar. Adapun PT Adei dituntut membayar denda Rp 5 miliar.
Pada tahap tuntutan ini, dakwaan jaksa yang semula berlapis berguguran tanpa penjelasan. Jaksa hanya meminta hakim menyatakan Danesuvaran dan PT Adei bersalah karena sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran lingkungan—yang merupakan dakwaan ketiga primer. Adapun dakwaan pertama dan kedua, yang menuduh Danesuvaran dan PT Adei membakar lahan, dianggap tak terbukti.
Penasihat hukum Danesuvaran dan PT Adei, Narendra Pamadya, mengatakan jaksa di persidangan sama sekali tak bisa membuktikan kliennya membakar lahan. Tapi jaksa memilih aman dengan meneruskan dakwaan yang pembuktiannya paling mudah. "Jaksa memakai pasal keranjang sampah. Itu sangat dipaksakan," ujar Narendra, yang meminta kliennya dinyatakan tak bersalah.
Soal tuntutan jaksa itu juga dipersoalkan para aktivis lingkungan di Riau. Hanya, kali ini dari besar tuntutannya. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Riau Riko Kurniawan menganggap tuntutan jaksa terlampau ringan. "Jaksa sama sekali tak punya keinginan membuat jera perusak lingkungan," kata Riko, Senin dua pekan lalu.
Penilaian senada datang dari Direktur Eksekutif Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau Muslim Rasyid. Menurut dia, tuntutan jaksa sama sekali tak memperhitungkan PT Adei Plantation sebagai perusahaan "kambuhan" dalam kasus pembakaran hutan. Muslim, misalnya, merujuk pada putusan Mahkamah Agung tahun 2001 yang menghukum Adei bersalah karena terbukti membakar lahan seluas 3.000 hektare untuk ditanami sawit. "Kami akan terus mempersoalkan perkara ini," ujar Muslim.
Jajang Jamaludin, Riyan Nofitra (Pekanbaru)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo