Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Babak Baru Dua Sekawan

Daan Dimara melaporkan Hamid Awaludin ke polisi dengan dalih bersaksi palsu. Hamid mendesak Daan membuktikan tuduhannya. Seorang peserta rapat di Komisi Pemilihan Umum pada 14 Juni 2004, mengaku memaraf daftar hadir-yang bisa menjadi bukti di pengadilan. Inilah penelusuran Tempo.

25 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari sel tahanan nomor 12 Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya, Daan Dimara membuka babak baru hidupnya sebagai pesakitan hukum. Kamis dua pekan lalu, majelis hakim memvonisnya empat tahun penjara. Daan, ketua panitia pengadaan segel pemilu legislatif dan presiden 2004, terbukti bersalah menunjuk langsung-tanpa tender-PT Royal Standar untuk mencetak segel pemilu 2004.

Daan menjawab vonis dengan banding. "Kalau kesalahan administratif, seharusnya tidak empat tahun," ujarnya kepada Tempo. Hakim punya pendapat lain. "Terdakwa tidak menjalankan prosedur lelang menurut ketentuan," ujar Gusrizal, ketua majelis. Maka empat tahun adalah hukuman yang patut.

Vonis itu membuat Daan Dimara, 61 tahun, tiba-tiba serius dan rajin membaca dokumen. Dia membolak-bolaik 135 halaman berkas putusan yang berhasil mengirimnya ke balik jeruji. Dia melalap dengan teliti berita acara pemeriksaan (BAP) lima saksi dalam perkara ini.

Membaca dokumen perkara dan sejumlah buku adalah bagian dari, "Persiapan saya sebelum dipanggil polisi atas kesaksian palsu yang saya laporkan," katanya. Sehari sebelum dia divonis, Daan melaporkan Hamid Awaludin kepada polisi dengan dalih bersaksi palsu di pengadilan pada 25 Juli 2006.

Hamid, 46 tahun, kini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, adalah kolega Daan di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dulu. Keduanya berkawan karib, saling menyapa dengan meneer-tuan, dalam bahasa Belanda. "Saya menyayangi Hamid. Tapi ini soal hukum," kata Daan. Hamid menjawab: "Laporan itu sah-sah saja. Tapi harus disertai bukti-bukti yang kuat."

l l l

Perkara ini bermula dari pemilihan umum legislatif dan presiden 2004. Pesta demokrasi berlangsung sukses dan meriah, mendapat pujian dunia. Tapi keharuman berumur pendek. Belakangan sejumlah petinggi KPU masuk bui karena korupsi. Daan Dimara ditangkap pada awal Maret 2006.

Dosen Universitas Cenderawasih, Papua, itu dituduh main mata dengan Untung Sastrawijaya, Direktur Utama PT Royal Standard, yang kejatuhan rezeki mencetak segel. Negara rugi Rp 3,5 miliar. Selain merugikan negara, Daan juga dituduh melanggar Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang pengadaan barang. Ia menunjuk langsung Royal Standard tanpa proses tender.

Terhadap tuduhan itu, Daan mengaku cuma bertanggung jawab atas pengadaan segel pemilu legislatif. Adapun segel pemilu presiden, "Itu tanggung jawab Hamid Awaludin," ujarnya. Dari sinilah nama Hamid mulai terseret.

Daan Dimara menunjuk sejumlah bukti. Salah satunya, surat penawaran harga dari Royal Standard yang dikirim ke Hamid Awaludin tanggal 10 Juni 2004. Bukti lain, pertemuan penentuan harga pada 14 Juni 2004. Rapat itu dipimpin Hamid Awaludin. Dihadiri Untung Sastrawijaya, Zainal Asikin dan Aryoko (dari Royal Standard), Bakri Asnuri (staf Biro Hukum KPU), dan Boradi (pegawai sekretaris KPU).

Di muka pengadilan, Untung membenarkan soal suratnya kepada Hamid Awaludin berikut pertemuan pada 14 Juni. "Pak Hamid yang memimpin rapat dan menentukan harga Rp 99 per segel," tutur Untung. Harga itu belum termasuk pajak dan biaya pengiriman ke daerah. Keterangan Untung diperkuat dua staf dari Royal Standard, serta Bakri Asnuri dan Boradi.

Tapi Hamid membantah keras bahwa dirinya memimpin rapat penentuan harga. Bantahan itulah yang dituding Daan sebagai keterangan palsu. Maka dia memutuskan melaporkan Hamid. Polisi tampaknya bergerak cepat.

Setelah menerima laporan Daan, mereka menyiapkan pemanggilan saksi. "Kami sedang mempersiapkan administrasi untuk memanggil saksi dan sebagainya," kata Wakil Kepala Kepolisian Komisaris Jenderal Adang Daradjatun, pada Kamis pekan lalu. Dalam waktu dekat kasus ini mulai diselidiki.

Mengenai vonis Daan, majelis hakim memastikan tidak ada kerugian negara dalam putusan tersebut. Jadi, berfokus pada perihal penunjukan langsung. Menyambut pemilu legislatif 2004, sekitar 20 perusahaan mendaftar sebagai pencetak segel. "Walau dari semua perusahaan cuma Royal Standard yang mengajukan penawaran harga," begitu bunyi putusan hakim, "Daan seharusnya mengumumkan ulang proyek itu kepada semua peserta tender."

Main tunjuk itu, kata hakim, dapat merugikan keuangan negara. Itu sebabnya, selain divonis bui empat tahun, Daan harus membayar ganti rugi Rp 200 juta. Jika tak punya uang? Hukuman ditambah dua bulan.

Daan membantah keras bahwa dirinya yang menentukan Royal Standard sebagai pemenang. Penetapan atas Royal Standard, katanya, merupakan hasil kesepakatan sidang pleno yang dihadiri semua anggota Komisi Pemilu. Bila keputusan itu merugikan keuangan negara,"Seharusnya semua pengurus KPU menginap di penjara ini," Daan memprotes.

Erick S. Paat, kuasa hukum Daan Dimara, juga mengecam putusan itu. Katanya, "Kalau unsur merugikan negara tidak terbukti, majelis seharusnya membebaskan Daan dari segala dakwaan." Karena tak puas, Daan Dimara naik banding. Daan Dimara cuma divonis dalam perkara pengadaan segel pemilu legislatif. Dalam kasus pengadaan segel pemilu presiden ia dibebaskan. "Berdasarkan berbagai fakta di persidangan," begitu putusan hakim, "pengadaan segel pemilihan presiden sudah ditentukan sebelum Daan ditetapkan sebagai ketua panitia."

Fakta di persidangan itu antara lain datang dari keterangan sejumlah saksi yang menerangkan bahwa rapat penentuan harga segel sudah diputuskan pada rapat 14 Juni 2004 yang dipimpin Hamid Awaludin. Dari fakta di persidangan juga terungkap tidak ada negosiasi harga segel pemilihan presiden tahap kedua. Jadi harga semata-mata mengacu pada pemilihan presiden putaran pertama sebesar Rp 99 per keping-sebagaimana dalam rapat 14 Juni 2004.

Berdasarkan hal itu, para hakim tidak melihat peran Daan dalam menentukan harga segel pemilihan presiden. Ia cuma bertugas memantau proses pengerjaannya setelah harga disepakati.

Nah, fakta persidangan yang termuat dalam amar putusan itu dapat menjadi amunisi baru bagi Daan untuk memperkuat laporan kesaksian palsu guna menjerat Hamid. Dari amar putusan itu, kata Erick S. Paat, jelas terlihat para hakim meyakini bahwa Hamid melakukan sumpah palsu.

Itu sebabnya sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendesak polisi mendahulukan pengusutan kasus keterangan palsu Menteri Hamid. "Ini harus menjadi prioritas polisi, biar jelas," kata anggota Koalisi Indonesian Corruption Watch, Emerson Yuntho pada Selasa pekan lalu.

Hamid sendiri hakul-yakin putusan hakim atas kasus Daan itu tidak bisa menjerat dirinya. Sebab, apa yang ditulis hakim itu cuma fakta di persidangan, bukan konsideran hukum dalam mengambil keputusan. Jadi sifatnya tidak mengikat. Konsideran hukumnya tetap Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003. Keputusan hakim itu, menurut Hamid, "Tidak ada yang menyangkut saya. Sebab, saya cuma saksi dan bukan pokok perkara."

Tampaknya Hamid memang bisa bebas dari pokok perkara korupsi. Simaklah uraian berikut: jaksa menuntut Daan Dimara karena dua kesalahan. Merugikan keuangan negara dan menunjuk langsung Royal Standard. Lalu, ini putusan hakim, Daan Dimara tidak merugikan keuangan negara tapi melanggar prosedur pengadaan barang.

Dengan logika yang sama Hamid bisa bebas. Walaupun ia memimpin rapat penentuan harga pada 14 Juni 2006, bukan Hamid yang menunjuk Royal Standard sebagai rekanan pengadaan percetakan segel pemilihan presiden.

Fakta hukum di persidangan menunjukkan Royal Standard sudah ditetapkan sebagai pencetak segel lewat Surat Keputusan KPU 9 Juni 2004. Jika tidak merugikan negara dan tidak melakukan penunjukan langsung, Hamid bisa bebas. Ia hanya bisa dijerat jika terbukti melakukan kesaksian palsu.

Hamid mempersilakan Daan Dimara melapor soal tuduhan kesaksian palsu. Tapi pemeriksaan kesaksian palsu, katanya, tidak cukup dengan keterangan sejumlah saksi, tapi harus ada bukti tertulis. Hamid meminta Daan menunjukkan bukti notulensi dan daftar hadir peserta rapat 14 Juni 2004. "Sah-sah saja dia melapor, tapi harus disertai substansi bukti," Hamid menegaskan.

Sumber Tempo yang hadir di pertemuan 14 Juni menuturkan ada notulensi serta daftar hadir dalam rapat tersebut. "Saya ingat betul karena saya menandatangani daftar hadir." Peserta rapat lainnya, kata sumber yang sama, turut memarafnya. Maka, sumber itu mendesak agar Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) segera mengusut daftar hadir tersebut.

Tempo mengontak seorang petinggi KPK sebelum laporan ini diturunkan. Pertanyaan: "Kami ingin mengkonfirmasi apakah sudah ada penelusuran daftar hadir dan notulensi rapat di KPU pada 14 Juni 2004?" Si pejabat menjawab: "Soal daftar hadir, saya sebaiknya tidak berkomentar dulu. Tapi betul, bahwa kami merencanakan memanggil Hamid sehubungan dengan keputusan hakim dalam kasus Daan Dimara."

Wenseslaus Manggut, Nurlis E. Meuko, Ramidi, Poernomo Gontha Ridho

Akhir Daan, Awal Hamid

Majelis hakim telah memvonis Daan Dimara dalam kasus pengadaan segel surat suara pemilu legislatif serta pemilu presiden dan wakil presiden pada 2004. Isi vonis itu diperkirakan dapat menyeret Hamid Awaludin ke pengadilan.

Rapat Pengadaan Segel, 14 Juni 2004

Rapat

Daan DimaraAda rapat, dipimpin oleh Hamid Awaludin.

Hamid AwaludinBukan rapat, melainkan pertemuan di ruang kerja Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nazaruddin Sjamsuddin. Rapat pengadaan segel terjadi pada 9 Juni 2004, dipimpin Daan Dimara selaku Ketua Panitia Pengadaan Segel Pemilu.

Majelis HakimAda rapat, dipimpin oleh Hamid Awaludin. Rapat itu dihadiri saksi Bakri Asnuri (staf Biro Hukum KPU), Boradi (pegawai Sekretaris Jenderal KPU), dan Untung Sastrawijaya (Direktur Utama PT Royal Standard) beserta dua stafnya.

Materi Rapat

DaanMenentukan harga segel.

HamidMengingatkan Daan agar mempercepat pengadaan segel. Tidak membicarakan harga.

Majelis HakimMenentukan harga segel. Hamid menetapkan harga segel Rp 99 per keping.

Dokumen Segel

DaanSejumlah dokumen pengadaan segel dibuat belakangan setelah pemilihan presiden tahap pertama selesai. Tujuannya untuk kelengkapan administratif.

HamidDokumen tidak dibuat mundur. (Dia menunjukkan sejumlah dokumen kepada Tempo. Antara lain, berita acara pertemuan 9 Juni 2004 untuk membahas pengadaan segel, berita acara pembukaan harga yang diterbitkan 10 Juni 2004, dan berita acara hasil rapat negosiasi harga segel, yakni Rp 131 per keping.)

Majelis HakimDaan menandatangani dokumen setelah pemilu, karena ada surat edaran Ketua KPU pada 9 September 2004. Isinya, meminta semua ketua panitia pengadaan barang/jasa keperluan pemilu untuk melengkapi dukungan administrasi guna menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Surat PT Royal Standard

DaanTahu surat itu seusai penandatanganan semua dokumen dan setelah pemilu presiden dan wakil presiden 2004. Surat-surat itu ditujukan kepada Hamid.

Hamid Tidak pernah tahu dan tidak pernah menerima surat dari PT Royal Standard pada 10 Juni 2004 maupun 12 Agustus 2004.

Majelis HakimHarga PT Royal Standard dalam pembuatan dan pencetakan segel sudah ditetapkan pada 14 Juni 2004. Penetapan oleh saksi Hamid Awaludin dibuat setelah ada surat penawaran harga dari PT Royal Standard pada 10 Juni 2004. Surat itu ditujukan kepada Ketua Panitia Pengadaan u.p. saksi Hamid Awaludin.

Maria Hasugian

Sumber: Wawancara dan riset Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus