Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menunggu Pontjo di Pengadilan

Pengadilan segera menyidangkan kasus korupsi perpanjangan hak guna bangunan lahan Hotel The Sultan, dulu Hilton. Pontjo Sutowo terancam masuk bui.

25 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERKAS setebal bantal itu kini sudah tersaji di meja Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Itulah berkas dakwaan kasus korupsi perpanjangan hak guna bangunan (HGB) Hotel Hilton—yang sejak sebulan lalu bersalin nama menjadi Hotel The Sultan. Selasa pekan lalu, berkas setebal sekitar 500 halaman itu diterima panitera muda pidana Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Yanwitra dari kejaksaan. ”Begitu ditunjuk hakimnya, secepatnya kami menyidangkan kasus itu,” ujar Yanwitra, Kamis pekan lalu, kepada Tempo.

Ada dua berkas yang pekan lalu diterima Yanwitra. Yang pertama dengan terdakwa Pontjo Sutowo dan pengacaranya yang kini Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi. Dalam berkas kedua, terdakwanya mantan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Jakarta Robert J. Lumempouw dan mantan Kepala BPN Jakarta Pusat Ronny Kesuma Yudhistiro. Seperti berkas Pontjo, berkas kedua ini juga tebal. ”Lampirannya banyak sekali,” ujar Yanwitra.

Sekitar setahun Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) mengusut kasus ini. Selama itu, tak kurang dari 20 saksi diperiksa. Mereka, antara lain, Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, bekas Gubernur Jakarta Ali Sadikin, bekas Menteri Sekretaris Negara Muladi, dan bekas Wakil Ketua Badan Pengelola Gelora Senayan Mahadi Sinambela. ”Bukti-bukti penyelewengan kasus ini jelas,” ujar seorang jaksa yang menangani kasus tersebut.

Kejaksaan menemukan kesalahan fatal keluarnya HGB atas nama PT Indobuildco tersebut. Perpanjangan itu seharusnya bukan dalam akta HGB, tapi hak pengelolaan lahan. Untuk mendapat hak ini pun diperlukan rekomendasi dari kantor Sekretariat Negara, lembaga yang menurut keputusan presiden pada 1974 ditunjuk mengelola lahan Gelora Senayan.

Indobuilco ”menguasai” tanah itu sejak 1972 berbekal izin Gubernur Ali Sadikin. Saat itu Ali Sadikin meminta Ibnu Sutowo membangun hotel dan fasilitas untuk Konferensi PATA (Pacific Asia Travel Association). Tahun itu juga HGB lahan itu keluar. Jangka waktunya sampai Maret 2003. Ibnu pun membangun Hilton di situ.

Pada 1999, Pontjo, putra Ibnu Sutowo, menunjuk Ali Mazi memperpanjang HGB itu. Di sinilah muncul masalah. Soalnya, sebelumnya Kepala BPN Sonny Harsono pada 1989 memberikan status HPL atas tanah Gelora Senayan. Mahadi Sinambela pada 30 September 1999 mengirim surat ke Indobuildco. Ia menyatakan, perpanjangan itu harus seizin Sekretariat Negara. Kepada Jaksa, bekas Menteri Sekretariat Negara Muladi menyatakan tak mengeluarkan rekomendasi.

Tanpa rekomendasi, Ali Mazi jalan terus. Menurut sumber Tempo, Ali Mazi mendekati sejumlah pejabat BPN Jakarta untuk meyakinkan perpanjangan HGB itu tak bermasalah, termasuk memberikan sejumlah ”upeti”. Tapi Ali membantah keras tudingan itu. ”Saya tidak pernah bertemu apalagi menyuap petugas BPN,” ujarnya kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Sementara itu, sumber Tempo yang lain menyatakan Ali sebenarnya sudah mengantongi rekomendasi dari Sekretariat Negara. Cuma sumber itu tak bisa memastikan, surat itu asli atau tidak.

Yang pasti, setelah terkatung-katung sekitar dua tahun, HGB yang ”diuber” itu akhirnya pada 13 Juni 2002 keluar. Badan Pertanahan memperpanjangnya hingga Maret 2023. Kepada jaksa pemeriksa, Robert J. Lumempouw bercerita, beberapa waktu setelah ditunjuk sebagai Kepala Kanwil BPN Jakarta, Ali Mazi mempertanyakan pengajuan HGB yang tersendat itu. ”Saya memeriksa dan memprioritaskannya,” ujar Robert. Menurut mantan Kepala Kanwil Badan Pertanahan Jakarta ini, salah satu pertimbangannya memperpanjang HGB itu adalah belum adanya ganti rugi hotel dan penguasaan fisik seperti diatur dalam surat keputusan tentang HPL.

Inilah yang menjadi masalah. Menurut kejaksaan, HGB tak bisa terbit karena status tanah hak pengelolaan lahan. Menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan pada November 2004, HGB Hilton harusnya secara otomatis beralih ke HPL pada Maret 2003. BPK menemukan pelanggaran lain: HGB itu dijaminkan ke dua bank asing dengan nilai Rp 300 miliar.

Kejaksaan menghitung, kasus ini membuat rugi negara Rp 1,9 triliun. Angka itu didapat dari luas tanah lahan Hilton dikali nilai jual obyek pajak (NJOP) tanah tersebut pada 2003, saat HGB Hilton berakhir, yang nilainya sekitar Rp 13 juta per meter persegi.

Timtas Tipikor menjerat keempat terdakwa kasus Hilton ini dengan UU tentang Pemberantasan Korupsi. Pontjo dan Ali didakwa melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain. Adapun Robert dan Ronny didakwa menyalahgunakan kewenangan mereka sehingga membuat negara rugi. Ada jerat tambahan: Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dengan pasal ini, pelaku utama atau mereka yang sekadar membantu ”skandal HGB” ini bisa dibui.

Menurut Pontjo, tuduhan bahwa dirinya melakukan korupsi tidak masuk akal. ”Merugikan negara yang mana? Tanah masih punya negara, dan pajak selalu saya bayar,” ujarnya. Pendapat yang sama dilontarkan Ali Mazi. ”Semua yang saya lakukan sesuai dengan peraturan,” ujarnya. Pengacara Pontjo, Amir Syamsuddin, menilai pendapat jaksa yang menyatakan sejak ada HPL, Indobuildco tidak bisa memperpanjang HGB adalah ngawur. ”Itu namanya pencabutan hak, tidak pernah terjadi di republik ini,” ujarnya.

Dari kubu Robert pembelaan serupa juga keluar. Menurut Sheila A. Salomo, salah satu pengacaranya, untuk mengeluarkan HGB, BPN tak perlu rekomendasi Sekretariat Negara. ”Kepala Kanwil BPN tidak melakukan kekeliruan dalam soal ini,” ujarnya. Menurut Sheila, kejaksaan melakukan kesalahan melihat status HPL. ”Mereka menganggap HPL hak atas tanah, padahal bukan,” ujarnya

Mana yang lurus, mana yang bengkok, semuanya akan terbukti di pengadilan. Hendarman Supanji menyatakan pihaknya siap beradu ”jurus” membuktikan empat tersangka itu koruptor. ”Kalau bukti-buktinya tidak kuat, mana berani kami menuntut mereka?” katanya.

L.R. Baskoro, Poernomo Gontha Ridho, Ramidi, Dedy Kurniawan (Kendari)

Riwayat Tanah Hilton

1971 Gubernur Ali Sadikin menunjuk PT Indobuildco menggunakan tanah seluas 13 hektare di kompleks Gelora Senayan. Status tanah hak guna bangunan (HGB) No. 20 hingga tahun 2003

1973 HGB No. 20 dipecah menjadi HGB No. 26 dan No. 27

1984 Keppres No. 4/1984 menyatakan lahan di kompleks Gelora Senayan dikelola Sekretariat Negara

1989 Terbit HPL No.1 atas nama Sekretariat Negara. Isinya, mencakup lahan Hilton

2002 Kanwil BPN Jakarta memperpanjang HGB No. 26 dan No. 27 hingga 2023

Setahun Kemudian....

SETELAH hampir setahun Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengusut kasus tanah Hotel Hilton—kini beralih nama menjadi Hotel The Sultan—akhirnya perkara ini masuk pengadilan. Begini perjalanannya.

2005

Oktober 2005 Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) mulai menyidik kasus perpanjangan hak guna bangunan (HGB) Hotel Hilton yang diduga membuat rugi negara Rp 1,9 triliun.

30 Desember Pontjo Sutowo diperiksa sekitar tujuh jam di Kejaksaan Agung.

2006

12 Januari Mantan pengacara PT Indobuildco, Ali Mazi, diperiksa selama 12 jam di Kejaksaan Agung.

3 Februari Timtas Tipikor menetapkan empat tersangka: Ali Mazi, Direktur Utama PT Indobuildco Pontjo Sutowo, Kepala Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta Robert J. Lumempouw, dan mantan Kepala BPN Jakarta Pusat Ronny Kesuma Yudhistiro.

16 Maret Timtas Tipikor mengirim surat permohonan izin ke Presiden untuk memeriksa Ali Mazi yang menjabat Gubernur Sulawesi Tenggara.

24 April Selama enam jam Ali Mazi diperiksa di Kejaksaan Agung.

26 April Timtas Tipikor telah melengkapi persyaratan izin penyitaan tanah Hotel Hilton.

9 Mei Timtas Tipikor menyita tanah Hotel Hilton seluas 13,7 hektare di kawasan Gelora Bung Karno.

19 Juni Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra memberikan kesaksian di Kejaksaan Agung.

20 Juli Indobuildco mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Jakarta Selatan. Indobuildco menggugat pemerintah Rp 100 miliar karena dirugikan dengan munculnya kasus dugaan korupsi perpanjangan HGB.

24 Juli Berkas kasus Hilton dinyatakan P-21 (lengkap).

23 Agustus Mediasi gugatan perdata kasus Hilton gagal. Sidang dilanjutkan.

24 Agustus Empat tersangka kasus Hilton dipanggil ke Kejaksaan Agung untuk penyerahan tersangka dan barang bukti. Kasus ditingkatkan dari penyidikan ke penuntutan.

19 September Berkas kasus Hilton dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

LRB

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus