Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bagaimana Bila Penjahat Itu Mungkir?

Konsensus pejabat puncak penegak hukum untuk memberi kesempatan tersangka berhubungan dengan pembela, belum dilaksanakan sepenuhnya. Banyak pengakuan tersangka tidak benar karena dipaksa polisi. (hk)

9 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEADAAN Sunar telah betul-betul payah. Menaiki tangga dan memasuki gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, setelah turun dari mobil tahanan bersama 44 pesakitan lainnya, 23 Nopember lalu ia dipapah petugas. Tulang belakangnya pun tampak sudah tak mampu menyangga tubuhnya yang kurus kering. Dia terguling rubuh ke lantai ketika berusaha duduk berderet dengan tahanan lain di bangku panjang. Akhirnya Sunar ditelentangkan di bangku menunggu panggilan menghadap hakim. Tapi hari itu ia tak jadi dihadapkan kepada hakim -- dengan alasan kesehatan. Apa salahnya? "Saya dikeroyok karena dicemburui ada main dengan isteri orang," kata Sunar lemah. Waktu itu, ceritanya, ia memang sempat mencabut golok dan membacok salah seorang pengeroyoknya. Tapi akhirnya dia berhasil diringkus dan dianiaya. Di tahanan polisi, Juli lalu, ia memang sudah dalam keadaan runyam. "Di tahanan hanya sekali diperiksa dokter dan diberi pel." Tapi ia sudah terlanjur merasakan kelumpuhan pada kedua kakinya. Pernahkah Sunar minta bantuan hukum? Dia menggeleng sambil bertanya kembali: "Bantuan hukum itu apa?" Nama LBH (Lembaga Bantuan Hukum) belum pernah lewat di telinganya. Bambang Riyanto. Jabatannya tukang parkir dan terakhir mangkal di Kebon Sirih Jakarta. Pemuda (21 tahun) jebolan sekolah teknik ini, dituduh tersangkut peristiwa penodongan. Seminggu lebih, katanya, polisi tak berhasil memeras pengakuan dari mulutnya. Tapi hari-hari berikutnya lancar. Bambang mengaku juga. "Habis saya dipukuli dengan kayu dan tangan saya digigit," kata Bambang. Di muka hakim, minggu lalu, Bambang mencabut pengakuannya. Alasannya, seperti yang umum dikemukakan pesakitan sekelas dengan dia, pengakuan dibuat karena paksaan. Hakim tak mampu membujuk Bambang untuk kembali pada pengakuan yang dibuat di muka polisi. Maka sidang diundur untuk memanggil polisi yang pernah memeriksanya. Kali ini hakimpun mafhum, cara pemeriksaan terhadap tertuduhnya, oleh polisi, memang dapat menghasilkan pemungkiran kembali di muka hakim. Bagi pesakitan yang buta hukum seperti dua kasus di atas, memang mudah dikerjai oleh pemeriksa untuk mengakui tuduhan. Sebab diingatkan tentang hakhak hukumnya pun, (seperti hak mengingkari tuduhan) mereka tak akan mengerti. Apalagi hak memperoleh bantuan hukum atau menghubungi penasehat hukum. Belum lagi soal kemampuan mereka membayarnya. Bagi yang melek hukumpun, masalah bantuan hukum bukan barang yang mudah diperoleh. Dengan kata lain, soal bantuan hukum bagi tersangka sejak ia ditangkap, ditahan dan diperiksa, adalah persoalan hukum yang macet. Sebab bersamaan dengan itu ada persoalan rehabilitasi dan ganti rugi serta peradilan tata usaha negara yang belum dirasakan prakteknya. Walaupun, sebagai hak kemanusiaan, hal itu telah dijanjikan undang-undang (UU Pokok Kekuasaan Kehakiman). Lebih-lebih pula peraturan pelaksanaan UU itu belum juga lahir. Konsensus para pejabat puncak penegak hukum, yaitu Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian RI dan Menteri Kehakiman di Cibogo Pebruari 1973 -- sebagai ikhtiar pemberian hak bagi tersangka untuk memperoleh bantuan hukum -- gemanya hampir-hampir tak terasa dalam praktek. Waktu itu para penegak hukum berpendapat, selama pemeriksaan berlangsung, tersangka tidak dapat didampingi penasehat hukumnya. Tapi walaupun tetap diawasi, tersangka boleh berhubungan dengan pembelanya sebelum dan sesudah pemeriksaan. Namun, dengan berbagai alasan, dalam praktek polisi atau jaksa hanya mengizinkan tersangka menghubungi pembela bila pemeriksaan telah selesai. Artinya setelah pemeriksa merasa puas memeras pengakuan tersangka. Namanya juga hanya konsensus. "Kalau saya membandel juga tidak ada sanksi apa-apa, paling ditegur karena bandel saja," komentar seorang pejabat reserse berpangkat perwira menengah Polri di Jakarta. Belakangan muncul Menteri Hankam Jenderal M. Jusuf yang mempersoalkan kembali hal itu. Tanggal 11 Nopember lalu dengan sponsor Kopkamtib, para pejabat tertinggi penegak hukum mempersoalkan bantuan hukum itu lagi. Kali ini lahir pernyataan bersama. Antara lain disebutkan: seorang tersangka, pada tingkat pemeriksaan pendahuluan, "terutama sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan dapat memperoleh bantuan hukum." Bersama dengan itu, demi memperlakukan tersangka "sesuai dengan martabatnya sebagai manusia", seperti yang diminta Jenderal Jusuf, tersangka harus boleh berhubungan dengan keluarga atau penasehat hukum. Pernyataan bersama, yang dianggap sebagai janji untuk kesekian kalinya dari para penegak hukum, masih disambut sehangat konsensus Cibogo. Cuma, seperti yang diharapkan Tasrif, "Peradin mengharapkan pernyataan bersama itu akan dilaksanakan dengan konsekwen, konsisten, agar tidak menjadi harapan kosong seperti konsensus sebelumnya." LBH Jakarta dan LKBH (Lembaga Konsultasi & Bantuan Hukum) Fakultas Hukum UI, menyambut pernyataan tersebut dengan sebuah lokakarya bantuan hukum, 17 s/d 19 Nopember. Idenya menurut Direktur LBH, Adnan Buyung Nasution SH, sebenarnya sudah dipendam sejak lama. Namun baru hari-hari inilah dianggap tepat dilambungkan. "Yah, sekarang baru ada angin baik," kata Buyung. Untuk Pegangan Sebenarnya yang diharapkan lebih dari sekedar pernyataan bersama. Sebab seperti ditanyakan sementara ahli hukum, mengapa tidak melaksanakan konsensus Cibogo saja? "Pernyataan bersama itu penting untuk menggaris bawahi konsensus yang telah ada," jawab Ali Said, Jaksa Agung, salah seorang penandatangan pernyataan, "hal itu perlu untuk pegangan bagi aparat bawahan." Atau, apakah tidak lebih tepat bila penegak hukum melahirkan saja Peraturan Pelaksanaan UU Pokok Kehakiman yang lebih berarti dari konsensus atau pernyataan? Sebab menurut Wakil Direktur LBH, Tatang Suganda, ternyata "mutu" perumusan pernyataan bersama pun masih berada di bawah kemauan undang-undang. Pernyataan bersama menyebutkan antara lain, seorang tersangka "dapat memperoleh bantuan hukum . . . ". Sedangkan undang-undany menyatakan, soal bantuan hukum itu merupakan hak. Artinya, menurut Tatang, "undang-undang mewajibkan pemerintah mengingatkan hak-hak hukum tersangka untuk memperoleh bantuan hukum. " Tidak hanya sekedar mengizinkan tersangka. Bahkan, katanya, "undang-undang juga mewajibkan pemerintah menyediakan penasehat hukum bagi tersangka yang tidak mampu tapi ingin menggunakan haknya ketika mereka ditangkap, ditahan dan diperiksa. " Kesempatan bagi seorang pembela berdiri di samping kliennya, akan merupakan proses penerapan hukum yang sehat. Setidaknya, "positif bagi hakim," seperti kata J.Z. Loudoe SH, hakim anggota di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Begitu pula diharapkan berita-acara pemeriksaan akan lebih baik dari sekarang ini. Dan pemeriksaan di pengadilan akan lebih lancar. Dan bagi tersangka, betapapun kejahatannya, akan merasa aman di bawah atap kantor polisi. Tinggal sekarang di pihak kepolisian. Instansi ini tentu menyatakan setuju terhadap pernyataan bersama yang ikut ditandatangani Mayjen Pol. T. Ibrahim, Inspektur Jenderal Kepolisian RI. Tapi bagi beberapa pejabat kepolisian daerah, seperti terungkap setelah rapat para Kadapol, Laksusda dan Pangkowilhan, 20 Nopember kemarin, dalam beberapa hal sebenarnya masih lebih suka menutup mata terhadap praktek-praktek lama bawahannya. Mereka belum begitu suka tersangka berhubungan dengan pembela sebelum selesai pemeriksaan. Juga masih tidak begitu saja menyalahkan pemeriksa yang main pukul terhadap tersangka. Rasa Jengkel Seorang Kadapol dari kota besar masih berkata seperti ini: "Saya masih bisa mentolerir anak buah yang memukuli penjahat residivis." Sebagai manusia, katanya, polisi juga punya rasa jengkel. Bukti dan saksi cukup. "Tapi penjahat tetap saja penjahat dia masih mungkir." Menghadapi tersangka yang demikian, Kadapol ini menantang, "coba saya serahkan kepada yang anti kekerasan. Tapi kalau dua jam tidak keluar pengakuan, saya kencingi!" Apakah tersangka sudah boleh menghubungi pembela sejak ia ditangkap? "Polisi belum siap," kata Kadapol ini. Menghadapi para pembela yang bertitel sarana hukum, apalagi yang kawakan, "anggota saya yang berpangkat sersan dan hanya lulusan sekolah dasar akan dimakan!" Seorang Inspektur Kodak dari daerah terpencil mengakui pernah menggunakan kekerasan ketika memeriksa suatu perkara. Pengakuan diperoleh dari tersangka maupun saksi setelah menggunakan teknik pemeriksaan keras. Hasilnya Terdakwa dibebaskan oleh hakim. Sebab baik tersangka maupun saksi memungkiri keterangan yang pernah diberikan di meja pemeriksaan. Tapi, "kalau ditanya: apakah cara pemeriksaan dengan pemukulan itu boleh? Saya akan tegas menjawab: tidak boleh, itu salah!" kata Inspektur Kodak ini. "Tapi, bagaimanapun, saya masih bisa menerima apabila cara begitu tidak untuk kepentingan pribadi." Misalnya dengan cara: bila suasana pemeriksaan sudah panas tersangka berkelit terus, "saya lebih baik keluar ruangan, agar pemukulan tidak berlangsung di depan mata saya." Dari sikap sebagian pejabat kepolisian di atas, agaknya jelas: target pemeriksaan terhadap tersangka adalah memeras pengakuan. Seolah-olah hanya dari pengakuan tersangkalah titik tolak proses pembuktian sebagai modal polisi atau jaksa membawa tersangka ke pengadilan. Jadi tersangka harus mengaku? "Hak tersangka untuk ingkar atau tidak, harus memberikan keterangan yang benar," menurut Tatang Suganda. Itulah sebabnya, kata Tatang, polisi tidak harus mengejar-ngejar pengakuan dengan cara-cara yang tidak wajar dan melampaui batas. Sebagai alat bukti, menurut undang-undang, kedudukan pengakuan tersangka sendiri masih di bawah keterangan saksi dan bukti berupa surat. Tanpa pengakuan tersangka, bila teknik pemeriksaan berhasil mengumpulkan alat-alat bukti lain, tentulah hakim sudah mempunyai pertimbangan untuk memvonis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus