Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Koe Nio Tak Jadi Mati

Hukuman mati dijatuhkan PN Surabaya dengan dakwaan kejahatan subversif. Keputusan ini dibatalkan karena dianggap terpengaruh tekanan dari luar. Grasi presiden merubah dengan penjara seumur hidup.

9 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA tahu, dalam minggu-minggu ini beberapa orang terpidana mati akan berhadapan dengan regu tembak. Mereka adalah terhukum mati yang permohonan grasinya ditolak Presiden. Sebab tahun ini, sampai Nopember lalu, Presiden hanya menerima dan mengabulkan permohonan grasi Liem Koe Nio seorang. Koe Nio kini hanya harus menjalani hukuman penjara biasa selama seumur hidup. Saat ini di rumah penjara umum, menurut drs R.S. Soegondo dari Ditjen Bina Tuna Warga, ada 39 orang terpidana mati menunggu keputusan Presiden. Delapan di antaranya pelaku kejahatan biasa. Misalnya pembunuhan atau perampokan berdarah. Misalnya Kusni Kasdut dan Ribut bin Kromo. Prawito di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Cipinang, Jakarta, dan Abdullah Ali Ami di Padang. Selebihnya adalah hukuman peristiwa G30S/PKI, seperti Sam Kamaruzaman, Sukatno, Suyono dan lain-lain. Angka di atas belum termasuk terpidana mati yang menunggu keputusan grasi di rumah tahanan Kopkamtib. Misalnya Dr Subandrio di Jakata atau Timzar Zubir, tokoh tertuduh Komando Jihad di Medan. Yang terakhir ini mencabut kembali permohonan grasinya. Tapi, "grasi bagi terpidana mati," menurut Soegondo, Kepala Dit. Pemasyarakatan, "bisa diberikan Presiden baik melalui permohonan si terhukum maupun tidak." Siapa di antara terpidana mati yang akan dieksekusi tidak diumumkan jauh-jauh hari. "Itu rahasia," kata Soegondo. Yang jelas pertengahan September yang lalu, Oesin Batfari, terpidana yang dianggap telah terbukti bersalah menjagal 6 orang di Mojokerto (1964), ditembak di Surabaya. Takut Bunuh Diri Bagi yang akan menjalani nasib seperti Oesin, paling lama seminggu sebelumnya baru tahu kapan akhir hidupnya. "Untuk menghindari akibat yang dikhawatirkan," kata Soegondo. "Misalnya, ada yang mau bunuh diri atau berusaha melarikan diri." Jadi banyak juga yang kini tiap hari bertanya-tanya kapan saatnya tiba. Kecuali Liem Koe Nio. Dengan Keputusan Presiden No 27/G/1978, 12 Oktober kemarin, Koe Nio (51 tahun) memperoleh grasi. Dia ditahan sejak Desember 1964 dan diajukan ke pengadilan di Surabaya dengan tuduhan melakukan kejahatan subversi ekonomi. Selaku Direktur PT Indosteel, antara 1963 s/d 1964, Koe Nio dituduh menimbun tekstil, bahan bangunan, onderdil mobil sampai bahan kimia di gudang-gudang di Jakarta dan Surabaya. Harganya lebih dari Rp 8 milyar. Kemudian ia menjualnya kembali dengan harga tinggi, sampai 400% di atas harga pembelian, dengan memalsukan faktur. Administrasi perusahaannya juga kacau. Sehingga pajak negara tidak tertagih . Pengadilan Negeri Surabaya, ketika itu dipimpin oleh Hakim Djoko Sugianto SH (sekarang Hakim Agung di Mahkamah Agung), berjalan di antara demonstrasi dan tuntutan dari sana-sini, yang menghendaki hukuman mati bagi Koe Nio. Rapat raksasa di Tugu Pahlawan juga mengutuk Koe Nio. Hadir di pengadilan, mengharap hukuman mati bagi tertuduh, Walikota Surabaya Murachman -- yang belakangan diketahui sebagai gembong PKI -- dan delegasi dari Front Nasional segala. Hakim Djoko Sugianto, Juli 1965, menjatuhkan hukuman mati bagi Koe Nio. Pembela Mr Yap Thiam Hien dan Mr Zainal Abidin, dari Jakarta, bersama kliennya menolak putusan dan menyatakan naik banding. Putusan Pengadilan Tinggi, yang dipimpin oleh Hakim RS Probokeso, turun tahun itu juga. Pengadilan banding tetap menyalahkan Koe Nio: kejahatannya dilakukan terhadap program ekonomi terpimpin, "acuh tak acuh terhadap penderitaan dan keluh kesah rakyat dalam mencari kehidupan karena harga membubung tinggi," Pengadilan Tinggi menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama. Permohonan kasasi ke Mahkamah Agung juga ditolak. Oktober 1966, diketuai oleh Surjadi SH, Mahkamah Agung tetap berpendapat hukuman mati memang layak bagi Koe Nio. Upaya hukum terakhirpun, mengajukan permohonan grasi, ditempuh pembela untuk menghindarkan Koe Nio dari hukuman mati. Sampai 11 tahun kemudian permohonan grasi belum juga memperoleh keputusan. Akhirnya melalui pembela Budhi Sutrisno SH, Agustus tahun lalu, surat permohonan grasi dikirimkan sekali lagi. Permohonan grasi yang terakhir tersebut diberi tekanan, antara lain, tentang perubahan tata ekonomi dari ekonomi terpimpin ke perekonomian jaman Orde Baru. Juga, tak lupa, Presiden diingatkan tentang pengaruh luar yang mempengaruhi putusan hakim -- seperti demonstrasi parpol dan ormas di gedung pengadilan -- yang mungkin ikut serta mendorong hakim menimpakan hukuman maksimal bagi Koe Nio. Menurut Budhi Sutrisno, putusan grasi bagi Koe Nio tersebut merupakan putusan Presiden pertama bagi terpidana kejahatan subversi ekonomi. Keputusan grasi tersebut, menurut Budhi Sutrisno, "merupakan sumbangan fikiran dalam penerapan hukum: peringatan buat pengendali hukum agar tidak cepat-cepat mudah menjatuhkan hukuman mati." Sebab, bila hukuman telah dijalankan dan ternyata ada perubahan atau pencabutan undang-undang buatan tangan manusia yang memang boleh keliru "alangkah memilukan." Ya, karena si terhukum sudah dihabisi nyawanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus