SIAPA tahu, dalam minggu-minggu ini beberapa orang terpidana
mati akan berhadapan dengan regu tembak. Mereka adalah terhukum
mati yang permohonan grasinya ditolak Presiden. Sebab tahun ini,
sampai Nopember lalu, Presiden hanya menerima dan mengabulkan
permohonan grasi Liem Koe Nio seorang. Koe Nio kini hanya harus
menjalani hukuman penjara biasa selama seumur hidup.
Saat ini di rumah penjara umum, menurut drs R.S. Soegondo dari
Ditjen Bina Tuna Warga, ada 39 orang terpidana mati menunggu
keputusan Presiden. Delapan di antaranya pelaku kejahatan biasa.
Misalnya pembunuhan atau perampokan berdarah. Misalnya Kusni
Kasdut dan Ribut bin Kromo.
Prawito di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Cipinang, Jakarta, dan
Abdullah Ali Ami di Padang. Selebihnya adalah hukuman peristiwa
G30S/PKI, seperti Sam Kamaruzaman, Sukatno, Suyono dan
lain-lain.
Angka di atas belum termasuk terpidana mati yang menunggu
keputusan grasi di rumah tahanan Kopkamtib. Misalnya Dr
Subandrio di Jakata atau Timzar Zubir, tokoh tertuduh Komando
Jihad di Medan. Yang terakhir ini mencabut kembali permohonan
grasinya. Tapi, "grasi bagi terpidana mati," menurut Soegondo,
Kepala Dit. Pemasyarakatan, "bisa diberikan Presiden baik
melalui permohonan si terhukum maupun tidak."
Siapa di antara terpidana mati yang akan dieksekusi tidak
diumumkan jauh-jauh hari. "Itu rahasia," kata Soegondo. Yang
jelas pertengahan September yang lalu, Oesin Batfari, terpidana
yang dianggap telah terbukti bersalah menjagal 6 orang di
Mojokerto (1964), ditembak di Surabaya.
Takut Bunuh Diri
Bagi yang akan menjalani nasib seperti Oesin, paling lama
seminggu sebelumnya baru tahu kapan akhir hidupnya. "Untuk
menghindari akibat yang dikhawatirkan," kata Soegondo.
"Misalnya, ada yang mau bunuh diri atau berusaha melarikan
diri."
Jadi banyak juga yang kini tiap hari bertanya-tanya kapan
saatnya tiba. Kecuali Liem Koe Nio. Dengan Keputusan Presiden No
27/G/1978, 12 Oktober kemarin, Koe Nio (51 tahun) memperoleh
grasi. Dia ditahan sejak Desember 1964 dan diajukan ke
pengadilan di Surabaya dengan tuduhan melakukan kejahatan
subversi ekonomi. Selaku Direktur PT Indosteel, antara 1963 s/d
1964, Koe Nio dituduh menimbun tekstil, bahan bangunan, onderdil
mobil sampai bahan kimia di gudang-gudang di Jakarta dan
Surabaya. Harganya lebih dari Rp 8 milyar. Kemudian ia
menjualnya kembali dengan harga tinggi, sampai 400% di atas
harga pembelian, dengan memalsukan faktur. Administrasi
perusahaannya juga kacau. Sehingga pajak negara tidak tertagih .
Pengadilan Negeri Surabaya, ketika itu dipimpin oleh Hakim Djoko
Sugianto SH (sekarang Hakim Agung di Mahkamah Agung), berjalan
di antara demonstrasi dan tuntutan dari sana-sini, yang
menghendaki hukuman mati bagi Koe Nio. Rapat raksasa di Tugu
Pahlawan juga mengutuk Koe Nio. Hadir di pengadilan, mengharap
hukuman mati bagi tertuduh, Walikota Surabaya Murachman -- yang
belakangan diketahui sebagai gembong PKI -- dan delegasi dari
Front Nasional segala.
Hakim Djoko Sugianto, Juli 1965, menjatuhkan hukuman mati bagi
Koe Nio. Pembela Mr Yap Thiam Hien dan Mr Zainal Abidin, dari
Jakarta, bersama kliennya menolak putusan dan menyatakan naik
banding. Putusan Pengadilan Tinggi, yang dipimpin oleh Hakim RS
Probokeso, turun tahun itu juga. Pengadilan banding tetap
menyalahkan Koe Nio: kejahatannya dilakukan terhadap program
ekonomi terpimpin, "acuh tak acuh terhadap penderitaan dan keluh
kesah rakyat dalam mencari kehidupan karena harga membubung
tinggi," Pengadilan Tinggi menguatkan putusan pengadilan tingkat
pertama.
Permohonan kasasi ke Mahkamah Agung juga ditolak. Oktober 1966,
diketuai oleh Surjadi SH, Mahkamah Agung tetap berpendapat
hukuman mati memang layak bagi Koe Nio. Upaya hukum terakhirpun,
mengajukan permohonan grasi, ditempuh pembela untuk
menghindarkan Koe Nio dari hukuman mati. Sampai 11 tahun
kemudian permohonan grasi belum juga memperoleh keputusan.
Akhirnya melalui pembela Budhi Sutrisno SH, Agustus tahun lalu,
surat permohonan grasi dikirimkan sekali lagi. Permohonan grasi
yang terakhir tersebut diberi tekanan, antara lain, tentang
perubahan tata ekonomi dari ekonomi terpimpin ke perekonomian
jaman Orde Baru. Juga, tak lupa, Presiden diingatkan tentang
pengaruh luar yang mempengaruhi putusan hakim -- seperti
demonstrasi parpol dan ormas di gedung pengadilan -- yang
mungkin ikut serta mendorong hakim menimpakan hukuman maksimal
bagi Koe Nio.
Menurut Budhi Sutrisno, putusan grasi bagi Koe Nio tersebut
merupakan putusan Presiden pertama bagi terpidana kejahatan
subversi ekonomi. Keputusan grasi tersebut, menurut Budhi
Sutrisno, "merupakan sumbangan fikiran dalam penerapan hukum:
peringatan buat pengendali hukum agar tidak cepat-cepat mudah
menjatuhkan hukuman mati." Sebab, bila hukuman telah dijalankan
dan ternyata ada perubahan atau pencabutan undang-undang buatan
tangan manusia yang memang boleh keliru "alangkah memilukan."
Ya, karena si terhukum sudah dihabisi nyawanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini