Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dari Daratan Cina Ke Rumah Hukuman

Grasi diperoleh karena adanya alasan kuat sehubungan dengan perubahan tata ekonomi. Di penjara kalisosok Surabaya Liem Koe Nio terkenal rajin dan berlaku baik. Ia mengharapkan keringanan hukuman lagi.

9 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI penjara Kalisosok, Surabaya, Liem Koe Nio bernafas lega. Kecemasan yang 14 tahun menghantuinya -- siapa tahu akan berhadapan dengan regu tembak -- telah terkikis habis. Presiden telah merubah hukuman matinya dengan bentuk hukuman penjara biasa. Memang masih tidak enteng Koe Nio masih harus menjalani hukuman penjara seumur hidup. Tapi karena tak jadi mati, harapan untuk menghirup udara bebas masih boleh diangan-angankan. "Sebagai manusia harapan begitu tetap saja ada," kaanya gembira. Apa lagi di belakang tembok bui Kalisosok dia cukup dikenal. Dia rajin menanam sayur. Dia juga mendapat kesempatan istimewa di sana. Ditempatkan di poliklinik, membantu pekerjaan dokter dan perawat, Koe Nio dapat mengembangkan dirinya untuk memperoleh catatan dan nilai baik dari petugas penjara. "Selama ini dia selalu berlaku baik dan banyak membantu," kata Ketut Gunawan SH, Kepala Bagian Pembinaan narapidana di Kalisosok. Untuk itu Koe Nio boleh berharap mendapat korting dan keringanan hukuman. Di luar telah menunggu dengan setia isterinya, Tan Yap Nio, serta 9 orang anaknya "dengan keadaan ekonomi rumahtangga yang berantakan," seperti kata Koe Nioe. Liem Koe Nio datang dari daratan Cina (1938), ketika berumur 14 tahun. Ia dibawa olah seorang pamannya. "Seingat saya langsung turun di Surabaya," cerita Koe Nio. Ketiga adiknya, juga ayahnya -- kalau mereka masih utuh -- setahunya masih menetap di Hokkian sana. Mengucur Ia mulai membuka usaha sendiri dengan berjualan kacang goreng. Sebagai umumnya Cina perantauan, kemajuan usahanya banyak mengandalkan kegigihan. Sepuluh tahun kemudian Koe Nio telah mampu membuka toko sendiri. Setelah mengawini Yap Nio, banyak anak, rezeki Koe Nio terus mengucur. Di jaman ekonomi terpimpin ia menjadi importir. Tapi, berhubung ia masih WNA, pekerjaan impornya dilakukan secara terselubung. Dia rajin membeli jatah impor (kwota) milik pengusaha lain. Waktu itu memang berlaku ketentuan setiap pengusaha yang berhasil mengekspor komoditi sejumlah nilai tertentu, mendapat perangsang, berupa jatah untuk impor seharga 1000 atau 2000 dollar. Nah, di antara jatah jatah impor itulah Koe Nio bermain. Bisnisnya dipersalahkan, termasuk kegiatannya menimbun dan menjualnya dengan keuntungan berlipat ganda. Pengadilan tingkat pertama, tingkat banding sampai kasasi tetap menjatuhkan hukuman mati baginya. Segala pembelaannya meleset. Namun, dengan tak putus asa, pembelaannya itu dikemukakannya kepada Presiden. Sejak ada Deklarasi Ekonomi, katanya, perbuatan menimbun barang bukanlah kejahatan. Juga, bukankah tak ada larangan lagi untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya? Kalau ada soal "mengambil keuntungan yang tidak layak," katanya, "paling banyak merupakan soal pajak saja." Kepada Presiden juga dikemukakan, bahwa selama sidang yang memeriksanya berlangsung, ada "tangan-tangan kotor" yang telah mempengaruhi pengadilan. Presiden memang mengabulkan permohonan grasi Koe Nio. Pertimbangannya "terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan grasi dari terpidana."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus