DI penjara Kalisosok, Surabaya, Liem Koe Nio bernafas lega.
Kecemasan yang 14 tahun menghantuinya -- siapa tahu akan
berhadapan dengan regu tembak -- telah terkikis habis. Presiden
telah merubah hukuman matinya dengan bentuk hukuman penjara
biasa.
Memang masih tidak enteng Koe Nio masih harus menjalani hukuman
penjara seumur hidup. Tapi karena tak jadi mati, harapan untuk
menghirup udara bebas masih boleh diangan-angankan. "Sebagai
manusia harapan begitu tetap saja ada," kaanya gembira. Apa
lagi di belakang tembok bui Kalisosok dia cukup dikenal. Dia
rajin menanam sayur.
Dia juga mendapat kesempatan istimewa di sana. Ditempatkan di
poliklinik, membantu pekerjaan dokter dan perawat, Koe Nio dapat
mengembangkan dirinya untuk memperoleh catatan dan nilai baik
dari petugas penjara. "Selama ini dia selalu berlaku baik dan
banyak membantu," kata Ketut Gunawan SH, Kepala Bagian Pembinaan
narapidana di Kalisosok.
Untuk itu Koe Nio boleh berharap mendapat korting dan keringanan
hukuman. Di luar telah menunggu dengan setia isterinya, Tan Yap
Nio, serta 9 orang anaknya "dengan keadaan ekonomi rumahtangga
yang berantakan," seperti kata Koe Nioe.
Liem Koe Nio datang dari daratan Cina (1938), ketika berumur 14
tahun. Ia dibawa olah seorang pamannya. "Seingat saya langsung
turun di Surabaya," cerita Koe Nio. Ketiga adiknya, juga ayahnya
-- kalau mereka masih utuh -- setahunya masih menetap di Hokkian
sana.
Mengucur
Ia mulai membuka usaha sendiri dengan berjualan kacang goreng.
Sebagai umumnya Cina perantauan, kemajuan usahanya banyak
mengandalkan kegigihan. Sepuluh tahun kemudian Koe Nio telah
mampu membuka toko sendiri. Setelah mengawini Yap Nio, banyak
anak, rezeki Koe Nio terus mengucur.
Di jaman ekonomi terpimpin ia menjadi importir. Tapi, berhubung
ia masih WNA, pekerjaan impornya dilakukan secara terselubung.
Dia rajin membeli jatah impor (kwota) milik pengusaha lain.
Waktu itu memang berlaku ketentuan setiap pengusaha yang
berhasil mengekspor komoditi sejumlah nilai tertentu, mendapat
perangsang, berupa jatah untuk impor seharga 1000 atau 2000
dollar. Nah, di antara jatah jatah impor itulah Koe Nio bermain.
Bisnisnya dipersalahkan, termasuk kegiatannya menimbun dan
menjualnya dengan keuntungan berlipat ganda.
Pengadilan tingkat pertama, tingkat banding sampai kasasi tetap
menjatuhkan hukuman mati baginya. Segala pembelaannya meleset.
Namun, dengan tak putus asa, pembelaannya itu dikemukakannya
kepada Presiden. Sejak ada Deklarasi Ekonomi, katanya, perbuatan
menimbun barang bukanlah kejahatan. Juga, bukankah tak ada
larangan lagi untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya? Kalau
ada soal "mengambil keuntungan yang tidak layak," katanya,
"paling banyak merupakan soal pajak saja."
Kepada Presiden juga dikemukakan, bahwa selama sidang yang
memeriksanya berlangsung, ada "tangan-tangan kotor" yang telah
mempengaruhi pengadilan. Presiden memang mengabulkan permohonan
grasi Koe Nio. Pertimbangannya "terdapat cukup alasan untuk
mengabulkan permohonan grasi dari terpidana."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini