Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bagaimana kalau ketemu kemudian

Soal kesempatan meninjau keputusan pengadilan yang pernah dibenarkan, untuk sementara ditiadakan lagi oleh ma. alasannya menunggu uu pelaksanaan dari uu no.13/1965 yang membenarkan peninjauan itu.

4 September 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

COBA, Saudara saya tuduh telah berhutang pada saya Rp 1 juta. Saudara bilang sudah bayar, tapi Saudara tak bisa menunjukkan bukti karena tanda terima dari saya telah hilang. Pengadilan memutuskan Saudara kalah. Tetap berhutang, dan tetap harus bayar. Kemudian setelah bongkar-bongkar lemari, akhirnya kwitansi itu ketemu. Nah, dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung ini Saudara tidak bisa lagi minta agar keputusan Pengadilan yang merugikan Saudara itu ditinjau kembali". Advokat S. Tasrif SH mengemukakan contoh sehari-hari itu kepada TEMPO ketika menanggapi keluarnya Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1976 yang meniadakan lagi kesempatan untuk meninjau kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap, walaupun kemudian terdapat fakta baru. Sejauh ini masalah peninjauan kembali putusan pengadilan itu -- orang-orang hukum masih jamak menyebutnya dalam bahasa asing, request civiel-menurut Ketua Peradin itu dimungkinkan oleh pasal 21 dari UU No. 13/1965. Di situ dikatakan MA diberi wewenang untuk menangani masalah request civiel, tapi dalam UU itu juga ditegaskan bahwa cara pengajuannya harus diatur berdasarkan suatu UU pelaksanaan. Mengingat perhatian masyarakat yang makin banyak pada saat itu, sedang UU pelaksanaannya belum ada, maka MA sendiri mengambil kebijaksanaan dengan mengeluarkan Peraturan MA no. 1 tahun 1969, sebagai pedoman pelaksanaan sementara. Tapi Peraturan MA ini mendapat tantangan, khususnya dari Pemerintah yang beranggapan "pihak MA telah bertindak terlalu jauh". Akibatnya keluarlah Surat Edaran MA No. 8 tahun yang sama, yang mencabut Peraturan MA tersebut. Kacau Balau Di tahun 1970 terjadi perkembangan baru dalam bidang hukum nasional, yakni dengan dikeluarkannya UU Pokok Kekuasaan Kehakiman yang baru (UU No. 14/1970). Di sini, baik terhadap putusan perdata maupun pidana masih dimungkinkan adanya peninjauan kembali. Tapi sama dengan UU 1965, prosedur pengajuannya harus dilakukan menurut UU tersendiri. Tapi UU pelaksanaan termaksud tak juga kunjung lahir. Tak dapat menunggu produk DPR dan Pemerintah yang suka menyita waktu lama ini, MA kembali ambil inisiatif. Keluarlah Peraturan MA No 1 tahun 1971 sebagai kompas prosedur pengajuan sementara. Kecuali melalui jalur UU 1965 dan 1970, menumt Tasrif tak boleh dilupakan prosedur yang diatur dalam Reglement op de Burgerlijke echtsvordering (Rv), yaitu hukum acara pada zaman Hindia Belanda, di samping HIR. Meskipun tak berlaku lagi, namun dalam praktek ketentuan acara Rv itu masih sering dipinjam, bila ada hal-hal yang tak terdapat dalam HIR, termasuk perihal peninjauan kembali putusan-putusan pengadilan ini. Cuma dibanding dengan UU 1970 ada perbedaan. Di sini permohonan peninjauan kembali diajukan ke MA, sedangkan menurut Rv ke pengadilan. "Jadinya sekarang simpang- siur kacau-balau", komentar Ketua Peradin itu, yang menilai bahwa karena hal itulah MA kembali mengambil sikap untuk mencabut kembali kesempatan peninjauan putusan-putusan pengadilan yang sudah tetap. Ini tentu tindakan sementara, sambil menunggu UU pelaksanaan yang tepat. Pemilu Dekat Dengan Peraturan MA 1976 yang mencabut Peraturan MA 1971 itu, maka 100 buah perkara request civiel yang kini ada di MA, "terpaksa dikesampingkan", seperti dikatakan pihak Mahkamah Agung pekan lalu kepada TEMPO. Ditiadakannya kesempatan peninjauan putusan-putusan pengadilan biarpun ada fakta baru itu, pada hemat Tasrif merupakan pembatasan kebebasan masyarakat untuk memperoleh penyelesaian hukum seadil-adilnya melalui badan yudikatif. Sehingga yang terpenting sekarang ini menurutnya adalah bagaimana mempercepat penyelesaian UU pelaksanaan seperti yang dimaksud oleh UU Kekuasaan Kehakiman 1970 tadi. Tapi ia mengakui penyelesaian UU semacam itu di DPR tak mudah. Untuk masalah request civiel ini, sudah 6 tahun ditunggu peraturan pelaksanaannya. Apalagi sekarang Pemilu sudah dekat, sehingga harapan pada DPR makin tipis. "Bagaimana kalau Pemerintah mengambil kebijaksanaan lain, misalnya dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (PERPU)?" usul Tasrif. Sementara itu seorang Hakim Tinggi yang diperbantukan pada MA mengatakan bahwa hal itu wewenang Pemerintah, bukan MA. Tapi ia masih sangsi apakah tujuan pelaksanaan itu boleh dalam bentuk PERPU.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus