COBA, Saudara saya tuduh telah berhutang pada saya Rp 1 juta.
Saudara bilang sudah bayar, tapi Saudara tak bisa menunjukkan
bukti karena tanda terima dari saya telah hilang. Pengadilan
memutuskan Saudara kalah. Tetap berhutang, dan tetap harus
bayar. Kemudian setelah bongkar-bongkar lemari, akhirnya
kwitansi itu ketemu. Nah, dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung
ini Saudara tidak bisa lagi minta agar keputusan Pengadilan yang
merugikan Saudara itu ditinjau kembali". Advokat S. Tasrif SH
mengemukakan contoh sehari-hari itu kepada TEMPO ketika
menanggapi keluarnya Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1976 yang
meniadakan lagi kesempatan untuk meninjau kembali putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap, walaupun
kemudian terdapat fakta baru.
Sejauh ini masalah peninjauan kembali putusan pengadilan itu --
orang-orang hukum masih jamak menyebutnya dalam bahasa asing,
request civiel-menurut Ketua Peradin itu dimungkinkan oleh pasal
21 dari UU No. 13/1965. Di situ dikatakan MA diberi wewenang
untuk menangani masalah request civiel, tapi dalam UU itu juga
ditegaskan bahwa cara pengajuannya harus diatur berdasarkan
suatu UU pelaksanaan. Mengingat perhatian masyarakat yang makin
banyak pada saat itu, sedang UU pelaksanaannya belum ada, maka
MA sendiri mengambil kebijaksanaan dengan mengeluarkan Peraturan
MA no. 1 tahun 1969, sebagai pedoman pelaksanaan sementara. Tapi
Peraturan MA ini mendapat tantangan, khususnya dari Pemerintah
yang beranggapan "pihak MA telah bertindak terlalu jauh".
Akibatnya keluarlah Surat Edaran MA No. 8 tahun yang sama, yang
mencabut Peraturan MA tersebut.
Kacau Balau
Di tahun 1970 terjadi perkembangan baru dalam bidang hukum
nasional, yakni dengan dikeluarkannya UU Pokok Kekuasaan
Kehakiman yang baru (UU No. 14/1970). Di sini, baik terhadap
putusan perdata maupun pidana masih dimungkinkan adanya
peninjauan kembali. Tapi sama dengan UU 1965, prosedur
pengajuannya harus dilakukan menurut UU tersendiri. Tapi UU
pelaksanaan termaksud tak juga kunjung lahir. Tak dapat menunggu
produk DPR dan Pemerintah yang suka menyita waktu lama ini, MA
kembali ambil inisiatif. Keluarlah Peraturan MA No 1 tahun 1971
sebagai kompas prosedur pengajuan sementara.
Kecuali melalui jalur UU 1965 dan 1970, menumt Tasrif tak boleh
dilupakan prosedur yang diatur dalam Reglement op de Burgerlijke
echtsvordering (Rv), yaitu hukum acara pada zaman Hindia
Belanda, di samping HIR. Meskipun tak berlaku lagi, namun dalam
praktek ketentuan acara Rv itu masih sering dipinjam, bila ada
hal-hal yang tak terdapat dalam HIR, termasuk perihal peninjauan
kembali putusan-putusan pengadilan ini. Cuma dibanding dengan UU
1970 ada perbedaan. Di sini permohonan peninjauan kembali
diajukan ke MA, sedangkan menurut Rv ke pengadilan. "Jadinya
sekarang simpang- siur kacau-balau", komentar Ketua Peradin itu,
yang menilai bahwa karena hal itulah MA kembali mengambil sikap
untuk mencabut kembali kesempatan peninjauan putusan-putusan
pengadilan yang sudah tetap. Ini tentu tindakan sementara,
sambil menunggu UU pelaksanaan yang tepat.
Pemilu Dekat
Dengan Peraturan MA 1976 yang mencabut Peraturan MA 1971 itu,
maka 100 buah perkara request civiel yang kini ada di MA,
"terpaksa dikesampingkan", seperti dikatakan pihak Mahkamah
Agung pekan lalu kepada TEMPO. Ditiadakannya kesempatan
peninjauan putusan-putusan pengadilan biarpun ada fakta baru
itu, pada hemat Tasrif merupakan pembatasan kebebasan masyarakat
untuk memperoleh penyelesaian hukum seadil-adilnya melalui badan
yudikatif.
Sehingga yang terpenting sekarang ini menurutnya adalah
bagaimana mempercepat penyelesaian UU pelaksanaan seperti yang
dimaksud oleh UU Kekuasaan Kehakiman 1970 tadi. Tapi ia mengakui
penyelesaian UU semacam itu di DPR tak mudah. Untuk masalah
request civiel ini, sudah 6 tahun ditunggu peraturan
pelaksanaannya. Apalagi sekarang Pemilu sudah dekat, sehingga
harapan pada DPR makin tipis. "Bagaimana kalau Pemerintah
mengambil kebijaksanaan lain, misalnya dengan mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti UU (PERPU)?" usul Tasrif.
Sementara itu seorang Hakim Tinggi yang diperbantukan pada MA
mengatakan bahwa hal itu wewenang Pemerintah, bukan MA. Tapi ia
masih sangsi apakah tujuan pelaksanaan itu boleh dalam bentuk
PERPU.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini