SETELAH 6 tahun tercantum di sebuah undang-undang, kini gagasan
bantuan hukum dibicarakan kembali atas inisiatif sebuah organ
pemerintah. Seminar tentang masalah ini tercatat sebagai
kegiatan seminar ke-5 dari Kegiatan-kegiatan maraton Badan
Pembinaan Hukum Nasional. Badan yang dulu bernama Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional itu disegarkan kembali oleh Menteri
Kehakiman yang baru, Mochtar Kusumaatmadja.
Walaupun seminar ini sudah beberapa bulan usai, tapi dua pekan
lalu Teuku M. Radhie SH dari BPHN memberikan inventarisasi pokok
masalah yang diseminarkan oleh BPHN itu (bersama-sama Persatuan
Advokat Indonesia, Ikatan Notaris Indonesia, Sub Konsorsium Ilmu
Hukum Departemen P & K, SH dari kalangan pengadilan, kejaksaan,
kepolisian dan lembaga-lembaga non departemen).
Bantuan hukum, menurut Radhie, yang dalam seminar menjabat Ketua
Panitia Pengarah, dinilai seminar sebagai "unsur pelengkap".
Tapi ia tidak boleh tidak harus ada dalam usaha penegakan hukum.
Dengan begitu maka institusi bantuan hukum duduk di samping
unsur-unsur penegak hukum yang telah disediakan dan jadi
tanggungjawab pemerintah, yaitu hakim, jaksa dan polisi.
Keadilan haruslah dicari bersama-sama oleh unsur kesemua
unsur-unsur tersebut.
Kelas Dua
Tapi bagaimana mencari tenaga pemberi bantuan hukum? Tenaga yang
ada masih jauh dari mencukupi, kwantitatif, kwalitatif.
Disadari, pembinaan unsur tersebut tak mungkin diadakan dalam
waktu singkat tanpa bantuan bahkan "bimbingan", dari Departemen
Kehakiman. Kewajiban menyediakan bantuan hukum yang memadai
adalah keharusan yang tak terelakkan. Ingat saja ketentuan yang
tercantum dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (No.14
tahun 1970). Ini bersamaan pula dengan persiapan naskah RUU
Hukum Acara Pidana dan pembentukan panitia persiapan RUU Bantuan
Hukum oleh Departemen Kehakiman.
Bagaimana pula dengan tenaga bantuan yang disebut "pokrol"?
Rupanya seminar tak lupa akan lembaga yang sudah tua umurnya ini
di masyarakat Indonesia, apalagi di kota-kota kecil ini. Karena
itu dirasa perlu untuk mengetatkan syarat-syarat kerja atau izin
bagi pokrol. Dalam hal-hal yang prinsipil, syarat yang harus
dipenuhi oleh penasehat hukum kelas dua ini harus bersamaan
dengan pemberi bantuan hukum lainnya.
Si Magang
Untuk berpraktek di muka pengadilan, setelah memenuhi
persyaratan di atas, seseorang harus pula mengikuti ujian untuk
masuk menjadi anggota Balai Pengacara. Balai ini semacam
perhimpunan pemberi bantuan hukum. Pengaturnya dilakukan oleh
Menteri Kehakiman -- untuk pengembangan kehidupan para pemberi
bantuan hukum ini (pengacara, advokat, konsultan) secara
"terarah". Diusulkan agar Balai mempunyai status resmi atau
setengah resmi yang bekerja sama erat dengan pengadilan.
Keanggotaan pada Balai bukan atas kernauan sendiri seperti
jamaknya dalam suatu perkumpulan. Tapi terbawa oleh kedudukan
sebagai pemberi bantuan hukum yang telah diangkat.
Sistim magang, dalam huhungan dengan tenaga agaknya, supaya
terus dikembangkan. Bila perlu dikaitkan dengan pemberi bantuan
hukum yang diangkat oleh Pemerintah -- sejalan dengan sistim
BUTSI yang terkenal itu. Si magang bekerja di bawah bimbingan
pemberi bantuan hukum yang sudah menjadi anggota Balai
Pengacara. Setelah dua tahun, barulah si magang dapat diangkat
menjadi pengacara penuh.
Orang miskin tidak pula dilupakan. Seminar merasa perlu
diaturnya hal ini secara khusus. Tapi tak diabaikan bahwa
pemberian bantuan macam ini merupakan kewajiban pengacara. Tidak
boleh diabaikan usaha yang sudah ada, baik dari pemerintah
daerah, kotamadya maupun oleh Peradin/LBH Jakarta, lembaga
pendidikan hukum atau usaha swasta lain yang telah membuktikan
hak hidupnya.
Tapi sementara soal itu dibahas panjang, Seminar minta ketegasan
satu soal: istilah apa yang tepat untuk pemberi bantuan hukum?
Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman hanya menggunakan
istilah "penasehat hukum". Rupanya itu kurang seronok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini