PHILIP Hampden Smith tidak bisa menyembunyikan rasa bungahnya begitu hakim Hasan Basri mengetuk palu. Dalam sidang di pengadilan niaga Jakarta, Kamis dua pekan lalu itu, gugatan pailit terhadap PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia ditolak. Bagi Smith, bos perusahaan tersebut, ini merupakan kemenangan yang berarti bagi industri asuransi di Indonesia. Katanya, "Gugatan seperti ini memang mustahil dan menggelikan."
Tapi tidak demikian bagi Alaydrus, ahli waris Taufik Effendi, nasabah dan pemegang polis Manulife. Menurut dia, ini merupakan perkara serius. Alaydrus merasa berhak memailitkan Manulife karena perusahaan asuransi tersebut tidak mau membayar klaim sebesar Rp 50 juta. Apalagi Taufik, yang meninggal 24 Januari 2000 silam, jelas sebagai pemegang polis Manulife dengan nomor 421187098-7 tertanggal 28 April 1999. Jenis pertanggungannya Dharma Bahagia, berjangka waktu 20 tahun.
Pihak Manulife punya alasan untuk tidak mau membayar klaim yang jumlahnya tak seberapa itu. Almarhum yang meninggal karena hipertensi itu dinilai berbohong. Penyakit tersebut tidak dilaporkan pada saat ia mendaftar asuransi. Tapi dalih ini tidak bisa diterima oleh Yuhelson dari Kantor Bramm & Associates, kuasa hukum Alaydrus. Kata Yuhelson, penyakit ini muncul belakangan, sesuai dengan keterangan Rumah Sakit PGI Cikini bahwa pada September 1999 Taufik menderita penyakit hipertensi.
Kasus ini menarik karena, kalau sampai kalah, Manulife akan dinyatakan bangkrut. Dampaknya, 400 ribu nasabah perusahaan itu akan kabur. Dan dunia asuransi di Indonesia pun bakal gonjang-ganjing. Investor dari luar negeri bisa kapok mendanainya. Apalagi International Finance Corporation, anak perusahaan Bank Dunia, pemilik saham Manulife, juga berperan besar dalam menggerakkan roda ekonomi negeri ini.
Ketika sidang tengah berlangsung, para bos Manulife tampak ketar-ketir. Selain Philip Hampden Smith, wakil International Finance Corporation pun datang. Mereka mengerahkan semua daya untuk memenangi kasus ini. Sebelumnya, dikabarkan pula Manulife telah melayangkan surat kepada Presiden Megawati untuk menghindari kekalahan.
Akhirnya, Manulife memang terhindar dari gugatan pailit. Dalam sidang tersebut, majelis hakim yang diketuai Hasan Basri tidak bisa mengabulkan permohonan penggugat. Ia mengacu pada pasal 1 ayat 1 jo pasal 6 ayat 3 Undang-Undang Kepailitan. Di situ disebutkan, debitor bisa dinyatakan pailit apabila bisa dibuktikan secara sederhana bahwa ia memiliki utang yang telah jatuh tempo dan sedikitnya ada dua kreditor.
Kuncinya ada dalam soal keabsahan polis. Dan ternyata ini tidak bisa dibuktikan secara sederhana. Menurut Manulife, ketika mengisi aplikasi asuransi, almarhum tidak menginformasikan penyakit hipertensinya. Sedangkan pihak ahli waris menyatakan penyakit itu muncul setelah Taufik menjadi pemegang polis. Mana yang benar? Kata Hasan Basri, soal ini sulit dibuktikan. Lagi pula, "Ini bukan lagi wewenang pengadilan niaga, melainkan pengadilan umum," katanya.
Lalu, apa yang mau dilakukan ahli waris Taufik? Kata Yuhelson, kliennya siap melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Tapi, menurut Hotma Sitompul, kuasa hukum Manulife, itu tidak berarti apa-apa. Ia justru berencana melakukan tuntutan balik ke Kantor Bramm & Associates, yang dianggap melakukan konspirasi untuk menjatuhkan nama Manulife.
Hotma Sitompul pun menepis penilaian bahwa perkara ini penuh dengan muatan politis. Katanya, keputusan hakim semata didasari masalah hukum. Pun Hasan Basri sendiri membantah adanya tekanan dari luar. Menurut sang hakim, tak ada pihak mana pun yang meneleponnya atau menekannya.
Bagi Manulife, kemenangan ini amat besar artinya. Sebab, tahun lalu, perusahaan ini pernah menghadapi gugatan serupa. Manulife dituntut pailit oleh Paulus Tanuhandaru, seorang nasabah, karena dianggap mengemplang utang senilai Rp 6,6 miliar. Karena takut dinyatakan bangkrut, Manulife buru-buru membayar polis yang ditagih Paulus. Kekalahan telak Manulife ini sempat mengganggu hubungan Indonesia-Kanada, termasuk dalam soal bantuan.
Kini Philip Smith bisa bernapas lega. Pengalaman traumatis itu tak terulang.
Hadriani Pudjiarti, Darmawan Sepriyossa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini