TUJUH orang tersangka pelaku penyerangan buruh PT Kadera, Rawagatel, Pulogadung, Jakarta Timur, saat unjuk rasa Maret lalu, diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Selasa pekan lalu.
Jaksa Damly R. Purba mendakwa Palemesen Masahuwa dan enam rekannya bersama ratusan orang lainnya menyerang buruh yang sedang berunjuk rasa. Para buruh itu dilempari bom dan digebuki ramai-ramai dengan pentungan kayu dan besi. Akibatnya, dua orang mati serta belasan lainnya luka-luka. Korban Kimun Effendi tewas saat itu juga, terkena serpihan bom. Seorang lainnya, Rahmat Hidayat, meninggal setelah beberapa hari koma.
Tujuh orang tersangka itu adalah preman asal Ambon yang tinggal di Cikampek. Preman itu sebelumnya menjaga gudang mobil PT Timor Putra Nasional. Menurut jaksa Taufik Hidayat dari Kejaksaan Negeri Jakarta Timur, mereka dibayar oleh Deputi Manajer PT Kadera, Amrin Gobel, sebesar Rp 25 juta. Selain kelompok preman Ambon, ada preman dari Tanjungpriok yang dipimpin Sugiono alias Abi dan kelompok dari Serang, Banten.
Dalam proses ini, polisi dituding oleh kelompok Ambon berlaku diskriminatif. Tak seorang pun anggota kelompok asal Banten yang diadili, padahal massa merekalah yang paling banyak dan membacoki korban dengan golok. "Mereka hanya menjadi saksi. Mungkin penyidik (polisi) kurang bukti. Kami juga tidak menerima berkas BAP dari polisi," kata Taufik. Massa dari Banten itu, menurut polisi, dipasok oleh Maman Rizal, seorang anggota DPRD Serang. Namun, Maman membantah tudingan itu. "Kami tidak mungkin menindas buruh. Kalaupun ada anggota kami yang ikut, itu hanyalah oknum," kata Maman, yang mengakui kelompoknya sering dimintai tolong untuk mengamankan kantor Golkar di Jakarta.
Dua pekan lalu, Abi disidangkan dengan dakwaan yang serupa: melakukan pengeroyokan dan penyerangan yang menyebabkan matinya orang. Palemesen, sang pesakitan, mengaku dimintai tolong mengamankan pabrik dari buruh-buruh yang mogok. "Namun, saat kami ke sana, mereka melawan. Ya, kami serang," katanya. Para pekerja PT Kadera yang hadir dalam sidang itu heran kenapa hanya para preman yang diadili. Padahal, kekerasan yang terjadi justru atas perintah Amrin Gobel.
Amrin memang sudah dinyatakan sebagai tersangka, tapi sampai sekarang kasusnya baru sampai di kejaksaan. "Dia didakwa sebagai pengorder," kata Taufik. Deputi Manajer PT Kadera itu, menurut polisi, berkaitan dengan Kopral Kepala TNI AD Tukino, anggota Kostrad yang kini buron. Sebenarnya polisi sudah tahu keberadaan Kopka Tukino di Serang, Banten. Tapi polisi tak berani menangkapnya karena ada 400 orang yang melindunginya. "Sedangkan kami hanya empat orang. Dari-pada konyol, ya, kami urungkan," kata Kepala Serse Polisi Resor Jakarta Timur, Ajun Komisaris Agus Irianto.
Kopka Tukino, yang pernah bekerja menjadi penjaga keamanan gudang mobil Timor di Cikampek, tampak berada di tengah-tengah massa saat kerusuhan. "Tukino tampak membagi-bagikan uang kepada massa yang menyerang," kata Taufik. Menurut para tersangka, Tukino inilah yang menyediakan bom. Jaksa Taufik pun mengakui Kopka Tukino itulah yang bisa menguak penyerbuan buruh PT Kadera ini. "Ibarat rantai panjang, putus di tengah. Putusnya mata rantai itu di Kino. Sebab, dia masih buron, belum tertangkap. Apa sih kepentingan dia melakukan pengeroyokan dan membagi-bagi duit? Dari mana duit Kino yang pangkatnya kopral itu?" ujar Taufik.
Memang, kalau diurutkan ke belakang, penyerangan ini berawal dari unjuk rasa buruh PT Kadera AR Indonesia yang menuntut kenaikan gaji serta pencabutan sanksi skorsing dan pemecatan. Sebenarnya demo itu direncanakan hanya berlangsung tiga jam. Tapi, karena tak ditanggapi, demo berlanjut. Amrin Gobel, yang mewakili pemimpin perusahaan, menjanjikan pertemuan. Tapi yang terjadi adalah tragedi pada dini hari 29 Maret itu: ribuan buruh yang mogok di halaman pabrik itu diserang dengan bom, pentungan, dan bacokan golok.
Kasus serupa pernah terjadi saat buruh PT Sony, Cibitung, Jawa Barat, mogok. Mereka diserang kelompok Merah Putih. Tapi kasusnya tak berlanjut ke pengadilan. Menurut Direktur Advokasi Serikat Pekerja Metal Indonesia, Elza Syarief, kasus itu sudah di-selesaikan secara damai. "Penyelesaian perdamaian adalah jalan terbaik. Saya tak suka bila polisi ikut campur bila ada perselisihan antara pekerja dan manajemen," katanya.
Dalam kasus PT Kadera, keadilan berada di tangan hakim. Kapankah pelaku intelektual penyerbuan buruh itu diseret ke pengadilan?
Ahmad Taufik, Dwi Arjanto, Darmawan Sepriyossa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini