MENGURUS barang bukti, ternyata tidak semudah mengambilnya dari
tangan tertuduh atau saksi dalam perkara kejahatan. Orang
sekarang sedang asyik membicarakan nasib barang-barang hasil
selundupan. Jika perkaranya sudah diputus pengadilan, akan
diapakan benda- benda tersebut? Jika keputusan pengadilan
menyatakan 'harus dimusnahkan'. ada sebagian orang menyatakan
keberatan. Itu mubazir namanya, kata mereka. Bagaimana kalau
disita untuk negara dan kemudian "harus dilelang secara umum",
seperti usul Adnan Buyung Nasution SH? ada juga yang keberatan.
Sebab, begitu selesai pelelangan, bukankah barang-barang itu -
seperti tekstil, radio dll - akan membanjiri pasaran dan berarti
mengganggu pemasaran barang produksi negeri sendiri?
"Ah tidak terlalu mengganggu", ujar Buyung. "Sekali lelang
berarti selesai", katanya. Itu dengan pengertian, jika pintu
gerbang Indonesia sudah disegani oleh calon penyelundup
sehingga tidak ada lagi yang mau coba-coba berlaku gelap di
sini. Buyung malah lebih mengkhawatirkan cara pelelangannva
sendiri. Sebab sudah menjadi pengetahuan umum, kata advokat itu,
"sering lelang dilakukan di bawah tangan, sehingga jatuh pada
oknum tertentu dengan harga yang rendah". Ini akan menyulitkan.
Padahal lelang dimaksud agar barang eks luar negeri tersebut
sampai di pasar dengan harga yang tidak bersaing dengan
produksi sendiri.
Ada juga orang mengusulkan, agar barang-barang sitaan itu
dibagi-bagikan saja ke rumah yatim-piatu, rumah-rumah
penampungan orang yang tidak mampu dan penampungan penderita
cacat. Pokoknya yang bersifat sosial Dan kalau mau dicari
pendapat lain, tentu masih banyak yang igin mengusulkan. Namun
sejauh itu pemerintah, yang sedang sibuk mengurus
penyelundupannya, belum memberikan penjelasan nasib
barang-barang bukti itu.
Berbondong-bondong
Yang di atas itu menyangkut barang bukti perkara-perkara
populer. Tetapi kericuhan ternyata tidak hanya mengenai ke mana
barang-barang itu harus dilempar. Ada selingkah-selingkuh lain
yang langsung dapat merugikan fihak-fihak yang kena perkara:
tertuduh sendiri, saksi maupun fihak ketiga yang beritikad baik.
Hal begitu terjadi, "karena kejaksaan sering tidak beres dan
kacau administrasinya dalam menyelesaikan lebih lanjut barang
bukti yang berada dalam kekuasaannya", kata Buyung Nasution.
Pengacara ini sudah mencoba ikut serta menertibkan kerja jaksa
yang dianggapnya tidak beres itu.
Bulan April 1966, belum sebulan ia keluar dari tahanan rezim
lama, Buyung memasang iklan: agar siapa saja yang merasa
dirugikan oleh kejaksaan dan menyangkut penyelesaian barang
bukti yang pernah disita, menghubungi dia. Betul saja.
Berbondong-bondong,"jumlahnya ratusan orang", kata Buyung,
mengadukan hal mereka. Rata-rata mereka mengeluh telah
kehilangan barang hak milik rumah, mobil, atau perhiasan-- yang
pernah 'dipinjam' jaksa untuk barang bukti sesuatu perkara.
Buyung bekerja bersama panitia yang dibentuk Jaksa Agung--waktu
itu Sugiharto SH. Hasilnya: "banyak terbongkar ketidakberesan".
Tapi diakui oleh Buyung, apa-apa yang diketahui panitia tak
dapat digarap sampai selesai. "Terus terang saja", ujarnya,
'perkara jadi berhenti. jika sudah menyangkut pejabat ini dan
itu, yang ikut menikmati dan memanfaatkan barang bukti itu".
Panitia "menjadi loyo dan bubar dengan sendirinya '.
Itu soal lama. Yang baru juga ada. Minggu lalu, Buyung
Nasution mengirim surat ke Kantor Kejaksaan yang isinya
meneruskan keluhan kliennya. Nyonya Asiah, yang tidak dapat
meminta kembali sejumlah besar barang perhiasannya yang pernah
dipakai sebagai barang bukti oleh kejaksaan. Dalam suratnya itu
Buyung, sebagai Direktur LBH, menuntut agar kejaksaan
bertanggungjawab atas barang bukti yang berada dalam kekuasaan
dan kewenangannya. Riwayatnya begini:
Dalam suatu perkara korupsi dan penipuan tahun 1954, dengan
tertuduh M. Noer Daeng Pabeta (sekarang sudah almarhum), turut
dikuasai oleh jaksa perhiasan isteri tertuduh sebagai barang
bukti. Tapi oleh keputusan pengadilan tingkat pertama, tertuduh
dibebaskan hakim. Sekaligus jaksa diperintahkann
mengembalikan semua barang bukti kepada pemiliknya--dari siapa
dulu jaksa mengambilnya. Walaupun tertuduh telah memperoleh
pembebasan murni dari hakim, jaksa tetap menyatakan akan naik
banding. Dengan begitu barang bukti. jadinya, masih tetap dalam
kekuasaan, jaksa. Pengadilan banding, ternyata, juga menolak
permohonan jaksa dan tetap membebaskan tertuduh seperti yang
sudah diputus bawahannya. Beberapa barang bukti. sebagian,
memang sudah diterima kembali pemiliknya -- seperti rumah dan
barang lain. Namun barang-barang perhiasan yang dulu diambil
dari Nyonya Daeng Pabeta, yang sekarang menyebut dirinya Nyonya
Asiah, belum pernah diberikan kepada pemiliknya. Hal itu sudah
diurus oleh yang bersangkutan dengan susah payah sejak 1970.
Betapa kecewanya janda ini, ketika oleh pejabat kejaksaan waktu
itu ia hanya ditunjuki sebuah kotak karton warna merah yang
sudah kosong. "Barang-barangnya telah hilang", begitu kata
pejabatnya, seperti yang diceritakan kembali oleh Nyonya Asiah.
Begitupun sepeninggal suaminya, Nyonya Asiah tetap berusaha
memperoleh kembali harta bendanya. Namun jawabnya selalu sama.
"Harusnya saya tetap percaya kepada pemerintah kita", keluhnya.
"Sebab tak mungkin pemerintah hanya dapat mengatakan barang
milik warganya yang berada dalam kekuasaannya, hilang begitu
saja tanpa mengganti apa-apa". Harta benda itu, seperti yang
tercantum dalam daftar yang cukup panjang (sesuai dengan
keputusan hakim) antara lain beberapa pasang cincin emas bermata
berlian dan mutiara, batangan emas, beberapa gelang emas, sekian
kalung emas permata, sekian pasang gelang emas, beberapa kalung
dan giwang emas berpermata mahal, peniti emas dan beberapa
arloji. "Malah cincin kawin saya juga hilang". keluh janda
berumur 53 tahun itu. Ia dan LBH belum menaksir berapa rupiah
harga barang itu sekarang. Namun ditambah dengan kerugian
lain-lain -- kedelapan anaknya terpaksa berhenti sekolah karena
tak terbiayai "saya kira tidak cukup dengan Rp 60 juta".
Bayangkan.
Tidak Beres
Tapi nasib itu juga dialami oleh Bank Umum Nasional (BUN) --
klien pengacara Azhar Achmad SH. Wong dan kawan-kawan telah
diajukan jaksa sebagai tertuduh dalam perkara penipuan 13 cek.
yang telah merugikan BUN lebih dari Rp 64 juta. Dari hasil
kerja Wong memiliki beberapa mobil, televisi seperangkat meja
dan kursi tamu, kulkas dan sepeda motor. Oleh putusan pengadilan
ia dinyatakan terbukti bersalah dan dihukum. Tanggal 19 Juli
1975 Pengadilan Tinggi memerintahkan agar jaksa menyerahkan
barang bukti perkara itu kepada BUN, sebagai barang titipan. Ada
sebuah mobil Honda yang mula-mula diterimakan kepada bank
tersebut. Baru bulan Mei yang lalu menyusul seperangkat
meja-kursi tamu dan mobil Toyota Corona. "Lain-lainnya". kata
Azhar -- seperti sepeda motor Honda Yamaha dan minicar --
"hingga sekarang belum saya terima". Kabarnya sebual mobil
Fiat, oleh polisi, telah diserahkan langsung ke BUN bulan
Desember lalu.
Dari kelambatan penyerahan barang bukti itu, cara-cara
penyerahannya yang tidak beraturan, hingga hilangnya di tangan
jaksa, Azhar dan Buyung berpendapat sama: "Kejaksaan tidak beres
mengurusi barang bukti yang ada dalam kekuasaannya". Itu betul.
Jaksa Agung Ali Said SH sendiri, kepada pengacara Azhar Achmad,
juga berpendapat demikian.''Bagaimanapun kejaksaan bertanggung
jawab atas barang bukti, sebagai instansi yang harus menjalankan
keputusan hakim", kata Jaksa Agung. Asisten II Kejaksaan Tinggi
Jakarta, Singgih SH, kepada TEMP0 terus terang menyatakan,
ketidak-beresan mengurusi barang bukti itu, "jelas merupakan
keteledoran".
Dua pengacara di atas akhirnya berkesimpulan sama juga. "Kita
dapat menuntutnya jika terdapat fakta penggelapan oleh oknum
kejaksaan", kata Buyung. Dan "kalau dalam waktu tertentu jaksa
tidak menyerahkan barang bukti itu sesuai dengan keputusan hakim
atau hilang sama sekali, kita dapat menggugatnya secara
perdata", kata Azhar Achmad. Singgih juga tidak keberatan. "Yang
menyimpanlah yang harus bertanggung jawab. Jaksa harus menjaga
agar barang-barang itu tetap utuh saunpai di tangan yang
berhak", kata Singgih .
Nah, kalau mau tuntut atau gugat tunggu apa lagi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini