MENTERI Ekuin Widjojo Nitisastro belakangan ini lebih sering di
mimbar internasional. Ia tampil di forum ASEAN, ia tampil pula
dalam forum UNCTAD di Nairobi. Maklumlah: sebagai pendukung
kesepakatan Manila antara negara-negara Kelompok 77, Indonesia
juga gigih berusaha menggolkan rencana Dana Bersama bagi
komoditi-komoditi negara berkembang. Di Samping itu lndonesia
juga berkepentingan dengan tuntutan moratorium pembayaran
hutang-hutang negara-negara berkembang sampai akhir 1979.
Indonesia sendiri, minggu depan akan memasuki sidang IGGI yang
ke-19. Makanya di tengah sengitnya perdebatan antara Kelompok 77
versus kebanyakan negara kaya, Menteri Widjojo buru-buru terbang
kembali ke Jakarta. Di sini dia memimpin pertemuan para Dubes
Indonesia di negara-negara IGGI minggu ketiga bulan lalu. Namun
pers yang menantikan hasil rembukan prasidang IGGI itu dengan
hati berdebar-debar, hanya memperoleh keterangan singkat dari
Ketua Bappenas. Indonesia tidak akan meminta pinjaman devisa
kredit lagi di Amsterdam nanti--yang memang sudah distop oleh
IGGI sejak tahun lalu. Tapi permintaan bantuan pangan akan jalan
terus -- walaupundi tengah-tengah protes Indonesia terhadap
syarat bantuan pangan Amerika (TEMPO, 29 Mei).
Jejak Australia
Apakah kejutan Pertamina bakal mempengaruhi komitmen IGGI yang
akan datang? Di depan wartawan di tangga Bina Graha, Widjojo
hanya berkata: "Mungkin saja. Tapi yang pasti akan dibicarakan
nanti adalah seluruh langkah-langkah yang telah diambil
pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi kita.
Termasuk peningkatan ekspr". Sehubungan dengan promosi ekspor
itu, Menteri Ekuin mengumunkan rencana pendirian pusat-pusat
promosi ekspor Indonesia di London, Hamburg, Jeddah dan New York
Widjojo juga menghimbau negeri donor untuk mengikuti jejak
Australia, yakni memberikan pinjaman sekaligus untuk beberapa
tahun. Permintaan ini mungkin saja ada hubungannya dengan
rencana percepatan investasi selama 6 tahun (1975-1980), yang
sudah dikemukakan dalam sidang IGGI ke-18, Mei tahan lalu.
Rencana investasi jangka panjang itu ditujukan untuk
proyek-proyek yang dapat meningkatkan produksi dan memperlebar
kesempatan kerja.
Adapun soal jumlah bantuan yang mau diminta team Indonesia dalam
sidang di hotel Amstel, Amsterdam, tidak disebutkan oleh
Widjojo. Mungkin karena itu beberapa pengamat beranggapan, bahwa
sidang tanggal 9-10 Juni nanti merupakan sidang IGGI "yang
terberat" bagi Indonesia. Bukan karena perkiraan bahwa bantuan
IGGI untuk Indonesia akan berkurang. Sebab pada TEMPO ketua
IGGI J.P. Pronk baru-baru ini menduga, bahwa bantuan untuk
Indonesia "tak akan kurang dari jumlah tahun lalu". Yang jadi
soal adalah kesanggupan Indonesia untuk membayar kembali
seluruh kewajiban pinjamannya-- bunga & angsuran.
Soalnya, menurut perkiraan team ahli Bank Dunia, dalam 2-3 tahun
lagi kewajiban Indonesia membayar hutang (debt service ratio)
bisa menyita 19% dari penghasilan ekspornya. Ini dipandang
sangat tinggi dan bisa menyulitkan ekonomi dalam negeri. Tingkat
yang dianggap masih wajar adalah 10%.Tingkat itu dicapai tahun
1973. kemudian turun menjadi 4,5% di tahun 1974 (karena boom
minyak ), lantas naik lagi sampai 10% tahun lalu, ketika ekspor
kita turun. $ 1,5 milyar lebih rendah dari 1974. Padahal
Presiden Soeharto pernah mengingatkan, agar "pengembalian
hutang jangan melebihi. 5% dari pendapatan ekspor tahunan".
Sebuah buku laporan tahunan ADB berjudul Trends In Developing
Asia sementara itu menyebutkan bahwa posisi hutang Indonesia
1973 dan 1974 menduduki tangga paling atas sesudah India. Kalau
1973 hutang Indonesia sudah mencapai anak tangga $ 6,7 milyar,
tahun berikutnya naik menjadi $ 8,7 milyar. Sedang hutang India
selama tahun itu $ 13 milyar, dengan debt service ratio
sekitar 12,5%.
Tentu saja posisi Indonesia berbeda dengan India yang tidak
punya petrodollar. Dengan dekking petrodollar itu. sejak 1974
Indonesia makin berani mencari pinjaman-pinjaman yang tidak
ringan lagi di pasaran Eurodollar, Jepang, AS, bahkan tidak
ketinggalan pula negeri-negeri Sosialis. Pinjaman
semi-komersiil itu sudah berkisar sekitar 4 milyar dollar.
Sementara pinjaman dalam kerangka IGGI, selama Repelita II,
tadinya diperkirakan hanya akan mendekati 6,2 milyar dollar.
Kemudian terungkap hutang Pertamina, yang kini secara resmi
diumumkan Menteri Pertambangan Sadli sampai 6,2 milyar dollar.
Dalam sidang pleno DPR-RI hari Jumat minggu lalu, yang mensahkan
RUU Tambahan/Perubahan APBN 1975/ 1976, fraksi PDI secara khusus
menyinggung soal hutang-hutang itu.
Gerardus Lalamentik selaku jurubicara F-PDI minta agar
pemerintah menjelaskan perincian hutang-hutang zaman Orde Baru
untuk dapat menentukan lajunya pembangunan. Juga ditekankan
perlunya pemerintah memberi tahu lebih dahulu kepada DPR tentang
pinjaman kredit dari fihak ketiga atau luar negeri, guna
mendapat persetujuan. Ini tentunya satu hal baru. Sebab selama
ini yang dipertanggungjawabkan pemerintah pada DPR hanyalah
penggunaan dana-dana dalam kerangka APBN, yang umumnya berasal
dari IGGI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini