Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Hutang: Wajib Bayar Berapa ?

Pinjaman Indonesia dari negara iggi berkurang. posisi utang tahun'73-74 menduduki paling atas setelah india. ketua iggi mengatakan pinjaman indonesia tak dikurangi, asal sanggup membayar pinjaman. (nas)

5 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Ekuin Widjojo Nitisastro belakangan ini lebih sering di mimbar internasional. Ia tampil di forum ASEAN, ia tampil pula dalam forum UNCTAD di Nairobi. Maklumlah: sebagai pendukung kesepakatan Manila antara negara-negara Kelompok 77, Indonesia juga gigih berusaha menggolkan rencana Dana Bersama bagi komoditi-komoditi negara berkembang. Di Samping itu lndonesia juga berkepentingan dengan tuntutan moratorium pembayaran hutang-hutang negara-negara berkembang sampai akhir 1979. Indonesia sendiri, minggu depan akan memasuki sidang IGGI yang ke-19. Makanya di tengah sengitnya perdebatan antara Kelompok 77 versus kebanyakan negara kaya, Menteri Widjojo buru-buru terbang kembali ke Jakarta. Di sini dia memimpin pertemuan para Dubes Indonesia di negara-negara IGGI minggu ketiga bulan lalu. Namun pers yang menantikan hasil rembukan prasidang IGGI itu dengan hati berdebar-debar, hanya memperoleh keterangan singkat dari Ketua Bappenas. Indonesia tidak akan meminta pinjaman devisa kredit lagi di Amsterdam nanti--yang memang sudah distop oleh IGGI sejak tahun lalu. Tapi permintaan bantuan pangan akan jalan terus -- walaupundi tengah-tengah protes Indonesia terhadap syarat bantuan pangan Amerika (TEMPO, 29 Mei). Jejak Australia Apakah kejutan Pertamina bakal mempengaruhi komitmen IGGI yang akan datang? Di depan wartawan di tangga Bina Graha, Widjojo hanya berkata: "Mungkin saja. Tapi yang pasti akan dibicarakan nanti adalah seluruh langkah-langkah yang telah diambil pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi kita. Termasuk peningkatan ekspr". Sehubungan dengan promosi ekspor itu, Menteri Ekuin mengumunkan rencana pendirian pusat-pusat promosi ekspor Indonesia di London, Hamburg, Jeddah dan New York Widjojo juga menghimbau negeri donor untuk mengikuti jejak Australia, yakni memberikan pinjaman sekaligus untuk beberapa tahun. Permintaan ini mungkin saja ada hubungannya dengan rencana percepatan investasi selama 6 tahun (1975-1980), yang sudah dikemukakan dalam sidang IGGI ke-18, Mei tahan lalu. Rencana investasi jangka panjang itu ditujukan untuk proyek-proyek yang dapat meningkatkan produksi dan memperlebar kesempatan kerja. Adapun soal jumlah bantuan yang mau diminta team Indonesia dalam sidang di hotel Amstel, Amsterdam, tidak disebutkan oleh Widjojo. Mungkin karena itu beberapa pengamat beranggapan, bahwa sidang tanggal 9-10 Juni nanti merupakan sidang IGGI "yang terberat" bagi Indonesia. Bukan karena perkiraan bahwa bantuan IGGI untuk Indonesia akan berkurang. Sebab pada TEMPO ketua IGGI J.P. Pronk baru-baru ini menduga, bahwa bantuan untuk Indonesia "tak akan kurang dari jumlah tahun lalu". Yang jadi soal adalah kesanggupan Indonesia untuk membayar kembali seluruh kewajiban pinjamannya-- bunga & angsuran. Soalnya, menurut perkiraan team ahli Bank Dunia, dalam 2-3 tahun lagi kewajiban Indonesia membayar hutang (debt service ratio) bisa menyita 19% dari penghasilan ekspornya. Ini dipandang sangat tinggi dan bisa menyulitkan ekonomi dalam negeri. Tingkat yang dianggap masih wajar adalah 10%.Tingkat itu dicapai tahun 1973. kemudian turun menjadi 4,5% di tahun 1974 (karena boom minyak ), lantas naik lagi sampai 10% tahun lalu, ketika ekspor kita turun. $ 1,5 milyar lebih rendah dari 1974. Padahal Presiden Soeharto pernah mengingatkan, agar "pengembalian hutang jangan melebihi. 5% dari pendapatan ekspor tahunan". Sebuah buku laporan tahunan ADB berjudul Trends In Developing Asia sementara itu menyebutkan bahwa posisi hutang Indonesia 1973 dan 1974 menduduki tangga paling atas sesudah India. Kalau 1973 hutang Indonesia sudah mencapai anak tangga $ 6,7 milyar, tahun berikutnya naik menjadi $ 8,7 milyar. Sedang hutang India selama tahun itu $ 13 milyar, dengan debt service ratio sekitar 12,5%. Tentu saja posisi Indonesia berbeda dengan India yang tidak punya petrodollar. Dengan dekking petrodollar itu. sejak 1974 Indonesia makin berani mencari pinjaman-pinjaman yang tidak ringan lagi di pasaran Eurodollar, Jepang, AS, bahkan tidak ketinggalan pula negeri-negeri Sosialis. Pinjaman semi-komersiil itu sudah berkisar sekitar 4 milyar dollar. Sementara pinjaman dalam kerangka IGGI, selama Repelita II, tadinya diperkirakan hanya akan mendekati 6,2 milyar dollar. Kemudian terungkap hutang Pertamina, yang kini secara resmi diumumkan Menteri Pertambangan Sadli sampai 6,2 milyar dollar. Dalam sidang pleno DPR-RI hari Jumat minggu lalu, yang mensahkan RUU Tambahan/Perubahan APBN 1975/ 1976, fraksi PDI secara khusus menyinggung soal hutang-hutang itu. Gerardus Lalamentik selaku jurubicara F-PDI minta agar pemerintah menjelaskan perincian hutang-hutang zaman Orde Baru untuk dapat menentukan lajunya pembangunan. Juga ditekankan perlunya pemerintah memberi tahu lebih dahulu kepada DPR tentang pinjaman kredit dari fihak ketiga atau luar negeri, guna mendapat persetujuan. Ini tentunya satu hal baru. Sebab selama ini yang dipertanggungjawabkan pemerintah pada DPR hanyalah penggunaan dana-dana dalam kerangka APBN, yang umumnya berasal dari IGGI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus