ANDA mungkin tidak cemas memikirkan nasib ikan paus. Tapi
dunia sedang kuatir. Binatang laut yang bernafas dengan
paru-paru itu di belahan bumi sebelah utara sudah punah sama
sekali. Tinggal yang bergentayangan mengikuti arus laut dingin
di belahan bumi selatan. Itupun jenis-jenis tertentu hanya
sedikit sekali. Misalnya jenis sperm whale, kabarnya tinggal 100
ekor. Makanya para ahli lingkungan dan pencinta satwa liar
lantas bikin gerakan menye]amatkan paus -- yang sesungguhnya
bukan ikan itu. Hasilnya, keluarlah satu konvensi internasional
yang melarang penangkapan ikan paus dengan cara-cara modern.
Namun belum seluruh anggota PBB mau menandatangani atau mematuhi
konvensi itu. Masing-masing dengan alasannya sendiri. Jepang
misalnya, yang sebagian besar kebutuhan protein rakyatnya
berasal dari laut--dan daging ikan paus (Cetaceanus) memberikan
andil besar. Juga Rusia menolak konvensi itu. Soalnya, menurut
penyelidikan para ahli FAO, minyak dari lemak ikan paus -
khususnya jenis sperm whale yang sangat langka itu - dipakai
sebagai minyak pelumas dalarn program antariksa Uni Soviet.
Sebab minyak hewani itu bisa tetap cair meskipun suhu dalam
sputnik atau satelit dingin atau panas sekali. Suatu ironi,
mengingat mahalnya cod liver oil alias levertraan alias minyak
ikan bagi jutaan anak miskin yang lapar di di Dunia Ketiga.
Flores Timur
Suara dari Indonesia jarang terdengar dalam perdebatan tentang
nasib binatang menyusui (mamalia) yang jutaan tahun lalu turun
ke laut itu. Malah sebaliknya, sejak 3 tahun terakhir Indonesia
menjadi sorotan negara-negara pelindung ikan paus. Biang
perkaranya: sejak 1972 anak organisasi FAO yang bernama Action
for Development (AD) alias reedom from Hurer Campaign (FFHC)
terlibat dalam proyek modernisasi penangkapan ikan paus di pulau
Lomblen. Kabupaten Flores Timur. Kerjasama dengan pemerintah RI
itu berakhir tahun lalu dan menghabiskan US$ 125 ribu sumbangan
badan swasta Jerman Misereor. Selama 3 tahun, FAO telah
menempatkan seorang ahli perikanan Norwegia, Paul Fjelstad di
desa nelayan Lamalera, p. Lomblen. Berikut satu kapal motor
penangkap ikan paus (FAO 82), lengkap dengan meriam harpunnya.
Di samping itu FAO juga memberikan beberapa perangkat alat
penangkapan ikan lainnya dan 2 perahu motor tempel.
Seperti diketahui, perairan sebelah selatan kepulauan Indonesia
secara teratur selalu dilewati berbagai jenis ikan paus. Kendati
demikian hanya dua desa nelayan di seluruh Indonesia dikenal
sebagai desa penangkap ikan paus. Kedua-duanya terletak di
kabupaten Flores Timur, propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Yakni desa Lamalera di pulau Lomblen--lokasi proyek FAO itu --
dan desa Lamalera di pulau Solor. Bulan Mei s/d pertengahan
Oktober, itulah musim lefa atau berburu ikan paus bagi nelayan
Lamalera. Kawanan ikan paus itu terbawa arus angin dari Kutub
Selatan yang menuju Katulistiwa. Terbentur pantai Barat benua
Australia, arus dingin itu terpantul "naik" melewati selat-selat
antara pulau-pulau Sawu, Rote dan Timor, terus berbelok ke Barat
karena "tertumbuk" lagi pada gugusan pulau-pulau di Timur Flores
(Solor, Adonara,Lomblen dan Alor). Akhirnya kawanan ikan paus
itu kembali lagi ke Kutub Selatan setelan melintasi Samudera
Hindia.
Semenjak kapal FAO-82 mulai beroperasi di Lamalera (Agustus
1973) sampai Nopember tahun lalu, sudah 20 ekor ikan paus
ditembak mati dengan meriaml harpun. Rata-rata berukuran 9 meter
lebih. Sembilan ekor di antaranya jantan dan 11 betina. Dua di
antaranya sedang bunting--dengan bayi ikan paus sepanjang 2,5
meter dan 3,60 meter dalam kandungannya. Ini sangat disayangkan,
sebab dapat mempercepat kepunahannya. Maklumlah, binatang
menyusui ini tidak berbiak secepat ikan-ikan yang dapat bertelur
ratusan atau ribuan butir.
Selain memburuu mangsanya sendiri, FA0-82 juga membantu membunuh
ikan-ikan paus yang nyaris lolos dari tempuling (Harpun) para
juru tikam (belawaing) Lamalera yang tradisionil. Selama proyek
FAO berlangsung, dari 29 peledang (perahu pemburu ikan paus
milik masing-masing marga) yang ada di sana, hanya 18 yang aktif
beroperasi, dan berhasil menangkap 21 ekor ikan paus. Jadi boleh
dikata, daya tangkap sutu kapal motor yan berawak sedikit
semula dengan 18 peledang yang masing-masing berawak 15
orang. Atau masing-masing peledang hanya mampu menangkap seekor
ikan paus dalam waktu 2 tahun lebih.
Kalap Sakaratul Maut
"Seandainya amunisi tersedia, kami akan dapat menangkap lebih
banyak ikan paus", tulis Paul Fjelstad dalam laporannya pada
kantor Program Pembangunan PBB (UNDP) di Jakarta. Amunisi yang
dimaksud adalah peluru meriam harpun yang diikat dengan kawat
panjang pada kapal. Itulah pengganti tempuling dan talinya yang
digunakan oleh belawaing di buritan peledang. Sekaligus
menghindarkan risiko nyawa belawaing, yang sigap bagaikan
matador harus loncat ke punggung paus, menikamnya
berulang-ulang, kemudian buru buru berenang kembali ke peledang
supaya tidak remuk terhempas ekor paus yang kalap sakaratul
maut.
Peluru harpun itu harus khusus di impor dari luar negeri.
Sebelumnya harus ada Surat izin Hankam, karena tertolong
kaliber besar. Tetapi dengan mklin santernya oposisi terhadap
penangkapan ikan paus dengan teknologi modern, perdagangan
amunisi itu makin sulit pula. Mungkin itu sebabnya kapa FAO-82
akan segera pensiun.
Bahan Bakar
Tetapi bakal pensiunnya kapal motor FAO-8Z itu tidak terlalu
diratapi penduduk Lamalera - berjumlah 2500 jiwa. Sebab kalau
penangkapan ikan paus terlalu banyak, mau dijual ke mana pula
daging dan minyak yang berlebihan? Memang, penduduk Lamalera
tidak makan sendiri itu daging Sebagian yang berlebihan
dikeringkan dan dibikin dendeng, kemudian dibarter dengan hasil
ladang penduduk pedalaman Lomblen. Dengan demikian mereka
memperoleh jagung dan ubi-ubian sebagai sumber karbohidrat
mereka. Tapi begitu hasil tangkapan para nelayan Lamalera
melebihi konsumsi mereka sendiri dan desa-desa tetangganya,
segera problim pemasaran tampil ke depan.
Perdagangan minyak ikan paus ke luar kabupaten, tertumbuk pada
problem yang sama. Padahal potensi itu sebenarnya dapat menolong
mengatasi penyakit lapar gizi dan kekurangan vitamin B bagi
anak-anak Indonesia di daerah lain. Namun selama hal itu masih
angan-angan, penduduk Lamalera akan terus memanfaatkan minyak
ikan yang amat berharga itu--hanya utuk menerangi gubuk-gubuk
mereka di malam hari. Kecuali bila Pertamina--atau siapa saja
dapat menyediakan bahan bakar lain bagi mereka.
Lampu Hijau
Kini, Bappenas telah menyalakan lampu hijau bagi tahap kedua
proyek kerjasama FAO dengan pemda Kabupaten Flores Timur, selama
3 tahun mendatang. Lokasinya tidak lagi di Lamalera, tapi di
ibukota kabupaten: Larantuka. Radiusnya kini meliputi seluruh
Flores Timur, dan diharapkan menjadi embrio bagi suatu Pusdiklat
nelayan seluruh NTT. Untuk itu Misereor telah melipatduakan
bantuannya menjadi US$ 250 ribu. Titik berat tahap kedua itu
bukan lagi modernisasi penangkapan ikan paus, melainkan
modernisasi dan motorisasi penangkapan ikan secara umum.
Sekurang-kurangnya seperti yang sudah dilaksanakan di Lamalera.
Yakni pemanfaatan gin net (jaring insang) untuk menangkap ikan
di dekat permukaan, pukat harimau (tawl) untuk menguras ikan
dan udang di dasar laut, dan long-line (pancing panjang) untuk
menangkap ikan tongkol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini