Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Preman datang, nasi habis

Pengeroyokan terhadap amlan, 29, di binjai serbangan sum-ut. awal kejadian pertengkaran antara preman dengan korban. persoalan jadi ramai karena tersangka pengeroyokan diperlakukan keras oleh polisi.(krim)

5 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESOSOK mayat yang dijumpai dalam parit di pinggir rel kereta api Kisaran -- Tanjung Balai, mengingatkan penduduk Kampung Binjai Serbangan, Sumatera Utara pada sebuah pesta kawin di rumah Ginem, seorang janda tua di situ. Tanggal 20 April malam. Biarpun bukan malam Minggu, tapi pesta tersebut cukup meriah dan ramai dikunjungi. Terutama oleh kaum muda-mudi. Habis, untuk para tetamu disuguhkan permainan Anna Group, sebuah band yang amat kesohor di kampung yang terletak di Kecamatan Air loman, Kabupaten Asahan itu. Sebagaimana lazimnya pada sebuah perhelatan, kebiasaan mengharuskan tuan rumah rempunyai petugas keamanan yang terdiri dan anak-anak muda lokal, preman namanya. Diangkatnya preman-preman ini jadi "panitia keamanan", pertama dengan harapan mereka sendiri tidak akan mengganggu pesta. Kedua, sebagai pemuda di kampung itu mereka merasa bertanggungjawab atas kemungkinan adanya gangguan dari kelompok preman kampung lain. Dengan begitu diharapkan perjamuan akan terhindar dari kemungkinan lemparan batu dan gangguan ala preman lainnya. Tamu-tamu yang tak diundangpun akan dapat dihindari masuk ke situ. Jenis tamu macam begini adalah anak-anak muda yang suka masuk ke suatu pesta secara berombongan - bisa berpuluh-puluh--kemudian menyantap hidangan, lalu keluar tanpa ada salam-salaman pada yang punya hajat apalagi meninggalkan salam tempel. Ini agak jamak di daerah tersebut, juga daerah-darah sekitar Medan. Jangan Bikin Rusuh Pada pesta malam Rabu itu, Arifin 30 tahun dan kawan-kawannya telah dipercayakan untuk mengemban tugas tersebut. Arifin, di samping cukup dikenal sebagai jagoan berkelahi, juga kebetulan adalah Kepala Lorong Pasar 10 kampung itu. Sekitar pukul 23, datanglah Amlan Panjaitan, 29 tahun juga bintang berkelahi dari Kampung Subur. Kecamatan Kisaran--bersama dua kawannya, Darwis, 21 dan Syahdan, 25. Tiga sekawan ini segera dicegat Arifin dengan alasan nasi sudah habis. Pertengkaran mulut segera menyusul. "Saya kepala keamanan di sini, jangan coba-coba bikin rusuh", gertak Arifin pada Amlan. Menunjukkan dia juga jagoan, Amlan segera menyerang Arifin dengan jotosan. Baku hantam terjadi, pestapun kacau. Peltu Muslim dari Kepolisian Air Joman yang kebetulan berada di keramaian itu segera turun tangan. Perkelahian dapat dihentikan, sementara. Sayangnya petugas keamanan yang benar-benar ini tak segera mengambil tindakan lanjutan. Mungkin dia menilai kegaduhan itu belum berkadar tinggi. Sedangkan Darwis mendapat kesan bahwa Peltu Muslim setelah berhasil melerai seakan turut melibatkan diri menyebelah pada Arifin. "Kamu dari Kampung Subur merusuh saja ke mari", serga Muslim kepada Amlan seperti dituturkan Darwis kepada pembantu TEMPO di sana. Begitulah. Entah karena mendapat lindungan seorang polisi, entah karena kurang puas lantaran sudah kena tinju Amlan, Arifin menganggap persoalan itu belum selesai. Lewat tengah malam sekitar pukul 01.00 (sudah 21 April) sehabis pesta, Amlan dan dua temannya bermaksud pulang ke rumah. Tapi di pinggir kampung rupanya Arifin dan kelompoknya sudah menunggu. Tak jelas berapa orang semuanya kawanan Arifin ini. Menurut Darwis dan Syahdan lebih dari 10 orang. Rantai Sepeda Suatu duel seru di kegelapan malam menjelang dinihari tak dapat dihindarkan. Darwis dan Syahdan dalam kesempatan pertama berhasil melarikan diri, setelah menilai bahwa perkelahian itu tidak seimbang dalam jumlah. Kedua teman Amlan itu sempat mengalami cedera ringan masing-masing pada pelipis dan tangan karena pukulan benda keras. Tinggallah Amlan yang dikerubuti eks petugas keamanan pesta, yang walaupun sudah menang banyak, tapi masih kurang puas sehingga mereka menggunakan senjata berupa kayu, rantai sepeda dan pisau. Persis di depan rumah Harun Hasibuan, si korban tersungkur dengan darah yang bercucuran. Atas perintah Arifin, Amlan yang sudah menjadi mayat itu diangkat beramai-ramai menuju rel kereta api. Maksudnya akan dibuang ke situ sehingga tubuh itu akan tergilas kereta api subuh yang datang dari Kisaran menuju Tanjung Balai. Diharapkan akan timbul kesan bahwa Amlan korban kecelakaan, atau bunuh diri. Sial, mereka terlambat. Ketika tiba di pinggir rel dari arah timur melintas seorang yang menuju stasiun, rupanya akan bepergian ke Tanjung Balai dengan kereta api subuh. Takut ketahuan, mayat tersebut segera mereka buang dengan tergesa-gesa ke dalam parit. Sedangkan kedua teman korban yang melarikan diri tadi, begitu sampai di kampung segera menggedor rumah kepala lorong. Mendengar laporan itu, Raja Hasyim, si--kepala lorong hanya menyuruh keduanya pulang saja, karena menurut Hasyim, Amlan tak akan sampai mendapat celaka pagi-pagi baru persoalannya akan diurus. Sampai saat pagi ketika mengetahui Amlan tak juga muncul di rumahnya dan mendengar ada mayat ditemukan kedua teman mendiang ini segera memburu kantor polisi untuk melaporkan kejadian sesungguhnya. Berbekal petunjuk Darwis dan Syahdan, Letnan Dua W. Simanjuntak, Komandan Sektor Polisi 20601 dan anak buahnya dengan mudah segera membongkar rahasia di balik tubuh tak bernyawa itu. Mula-mula ditangkap Arifin. Berdasar info dari orang ini diciduk pula Ngatino. Sudar, Syarifuddin, Abdul Karim dan Sakimin, semuanya anak buah Aririn yang bertugas di pesta malam sebelumnya. Dari pemeriksaan dokter Puskemas setempat diketahui bahwa si korban telah jadi sasaran kekerasan. Kedua belah matanya membengkak akibat pukulan benda keras, juga kepalanya ikut memar. Yang diduga segera menghadapkan nyawa si korban pada Tuhannya adalah tusukan benda tajam di lambung agak ke kiri. Masyarakat kampung di pesisir Sumatera Timur itu tentu meledak heboh oleh musibah itu. Sementara itu seorang dari para tersangka yang sudah di tangan para pengabdi hukum itu punya nasib mujur. Setelah ditahan selama empat hari, dia dilepaskan. Menurut keterangan yang diperoleh TEMPO orang ini lepas karena ada yang memberi "uang minum" pada polisi sebesar Rp 5 ribu. Tapi seorang dari keluarga tersangka yang bernasib baik ini mengatakan bahwa yang bersangkutan memang tak terlibat apa-apa. Ada juga yang paling sial, yaitu Abdul Karim, 20 tahun. Pada 1 Mei yang lalu tahanan terhadap dirinya terpaksa diteruskan ke bangsal Rumah Sakit Umum Kisaran karena kekerasan yang dialaminya sewaktu diperiksa polisi. Hingga herita ini dilaporkan, Karim masih mendekam di situ. Lontaran Tinju Ridwan, abang kandung Karim mnerangkan kepada TEMPO 3 Mei yang lepas bahwa polisi menemui jalan buntu untuk-mengetahui siapa sebenarnya yang menikamkan pisau pada Amlan. Segera terjadi tindak kekerasan ketika Abdul Karim yang dicurigai tidak mengaku. Pada 28 April, Karim dipukuli dengan kayu dan rantai -- barang-barang bukti yang kebetulan ditemui polisi di samping mayat Amlan selain lontaran tinju dan terjang. Ketika itu kepala Karim terhempas keras ke batu sehingga dia tak sadarkan diri setelah muntah-muntah. Sebelum dibawa ke rumah sakit, Karim sempat bertutur pada abangnya bahwa yang memukulinya adalah tiga orang polisi, yakni Peltu S, Sersan M dan Kopral SP. Setelah itu dua hari dua malam Karim tak sadarkan diri di tempat perawatan tersebut. Menurut dr Margono yang merawat Karim, besar kemungkinan yang bersangkutan akan dibawa ke rumah sakit jiwa di Medan. Karim mengalami gegar otak. Rekonstruksi yang dilakukan di tempat kejadian 4 Mei yang lalu terpaksa tanpa Karim dan seorang tersangka lainnya, karena yang disebut belakangan ini berhasil kabur. Situasi di Komando Resor 206.Asahan, Tanjung Balai, jadi panas ketika harian Wapada dan Sinar Pembangunan yang terbit di Medan pada 9 Mei membeberkan perlakuan keras polisi terhadap tersangka yang mengalami gegar otak itu. Rupanya, dan anehnya, kejadian aib itu baru diketahui polisi Asahan dari koran. Mayor Syamsul Bahri, Wakil Komandan Resor kepada para wartawan lokal yang menemuinya berkata: "Saya belum teruma laporan kejadian itu". Dapatkah diartikan, Komandan Sektor 20601 Air Joman Letda. Simanjuntak tak melaporkan peristiwa penganiayaan itu pada atasannya? Pembantu TEMPO dan beberapa wartawan yang mencoba menemui Simanjuntak di kantornya telah dihalang-halangi Kopral S. Pusuk. "Saudara-saudara tidak bermoral, pembunuhpun saudara bela", teriak Pusuk menanggapi berita korankoran itu. Situasi jadi tegang, ketika ditanya mengapa ada tersangka yang sudah dilepaskan dan dinyatakan tak bersalah, padahal belum dibawa ke pengadilan "Ah .... itu bukan urusan saudara. Disini pak Simanjuntak yang berkuasa, tahu!" sergahnya. Insiden tak sempat terjadi, karena para pemburu berita itu segera berlalu dari sana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus