SESOSOK mayat yang dijumpai dalam parit di pinggir rel kereta
api Kisaran -- Tanjung Balai, mengingatkan penduduk Kampung
Binjai Serbangan, Sumatera Utara pada sebuah pesta kawin di
rumah Ginem, seorang janda tua di situ. Tanggal 20 April malam.
Biarpun bukan malam Minggu, tapi pesta tersebut cukup meriah dan
ramai dikunjungi. Terutama oleh kaum muda-mudi. Habis, untuk
para tetamu disuguhkan permainan Anna Group, sebuah band yang
amat kesohor di kampung yang terletak di Kecamatan Air loman,
Kabupaten Asahan itu.
Sebagaimana lazimnya pada sebuah perhelatan, kebiasaan
mengharuskan tuan rumah rempunyai petugas keamanan yang terdiri
dan anak-anak muda lokal, preman namanya. Diangkatnya
preman-preman ini jadi "panitia keamanan", pertama dengan
harapan mereka sendiri tidak akan mengganggu pesta. Kedua,
sebagai pemuda di kampung itu mereka merasa bertanggungjawab
atas kemungkinan adanya gangguan dari kelompok preman kampung
lain. Dengan begitu diharapkan perjamuan akan terhindar dari
kemungkinan lemparan batu dan gangguan ala preman lainnya.
Tamu-tamu yang tak diundangpun akan dapat dihindari masuk ke
situ. Jenis tamu macam begini adalah anak-anak muda yang suka
masuk ke suatu pesta secara berombongan - bisa
berpuluh-puluh--kemudian menyantap hidangan, lalu keluar tanpa
ada salam-salaman pada yang punya hajat apalagi meninggalkan
salam tempel. Ini agak jamak di daerah tersebut, juga
daerah-darah sekitar Medan.
Jangan Bikin Rusuh
Pada pesta malam Rabu itu, Arifin 30 tahun dan kawan-kawannya
telah dipercayakan untuk mengemban tugas tersebut. Arifin, di
samping cukup dikenal sebagai jagoan berkelahi, juga kebetulan
adalah Kepala Lorong Pasar 10 kampung itu. Sekitar pukul 23,
datanglah Amlan Panjaitan, 29 tahun juga bintang berkelahi dari
Kampung Subur. Kecamatan Kisaran--bersama dua kawannya, Darwis,
21 dan Syahdan, 25. Tiga sekawan ini segera dicegat Arifin
dengan alasan nasi sudah habis. Pertengkaran mulut segera
menyusul. "Saya kepala keamanan di sini, jangan coba-coba bikin
rusuh", gertak Arifin pada Amlan. Menunjukkan dia juga jagoan,
Amlan segera menyerang Arifin dengan jotosan. Baku hantam
terjadi, pestapun kacau.
Peltu Muslim dari Kepolisian Air Joman yang kebetulan berada di
keramaian itu segera turun tangan. Perkelahian dapat dihentikan,
sementara. Sayangnya petugas keamanan yang benar-benar ini tak
segera mengambil tindakan lanjutan. Mungkin dia menilai
kegaduhan itu belum berkadar tinggi. Sedangkan Darwis mendapat
kesan bahwa Peltu Muslim setelah berhasil melerai seakan turut
melibatkan diri menyebelah pada Arifin. "Kamu dari Kampung Subur
merusuh saja ke mari", serga Muslim kepada Amlan seperti
dituturkan Darwis kepada pembantu TEMPO di sana.
Begitulah. Entah karena mendapat lindungan seorang polisi, entah
karena kurang puas lantaran sudah kena tinju Amlan, Arifin
menganggap persoalan itu belum selesai. Lewat tengah malam
sekitar pukul 01.00 (sudah 21 April) sehabis pesta, Amlan dan
dua temannya bermaksud pulang ke rumah. Tapi di pinggir kampung
rupanya Arifin dan kelompoknya sudah menunggu. Tak jelas berapa
orang semuanya kawanan Arifin ini. Menurut Darwis dan Syahdan
lebih dari 10 orang.
Rantai Sepeda
Suatu duel seru di kegelapan malam menjelang dinihari tak dapat
dihindarkan. Darwis dan Syahdan dalam kesempatan pertama
berhasil melarikan diri, setelah menilai bahwa perkelahian itu
tidak seimbang dalam jumlah. Kedua teman Amlan itu sempat
mengalami cedera ringan masing-masing pada pelipis dan tangan
karena pukulan benda keras. Tinggallah Amlan yang dikerubuti eks
petugas keamanan pesta, yang walaupun sudah menang banyak, tapi
masih kurang puas sehingga mereka menggunakan senjata berupa
kayu, rantai sepeda dan pisau. Persis di depan rumah Harun
Hasibuan, si korban tersungkur dengan darah yang bercucuran.
Atas perintah Arifin, Amlan yang sudah menjadi mayat itu
diangkat beramai-ramai menuju rel kereta api. Maksudnya akan
dibuang ke situ sehingga tubuh itu akan tergilas kereta api
subuh yang datang dari Kisaran menuju Tanjung Balai. Diharapkan
akan timbul kesan bahwa Amlan korban kecelakaan, atau bunuh
diri.
Sial, mereka terlambat. Ketika tiba di pinggir rel dari arah
timur melintas seorang yang menuju stasiun, rupanya akan
bepergian ke Tanjung Balai dengan kereta api subuh. Takut
ketahuan, mayat tersebut segera mereka buang dengan
tergesa-gesa ke dalam parit. Sedangkan kedua teman korban yang
melarikan diri tadi, begitu sampai di kampung segera menggedor
rumah kepala lorong. Mendengar laporan itu, Raja Hasyim,
si--kepala lorong hanya menyuruh keduanya pulang saja, karena
menurut Hasyim, Amlan tak akan sampai mendapat celaka pagi-pagi
baru persoalannya akan diurus.
Sampai saat pagi ketika mengetahui Amlan tak juga muncul di
rumahnya dan mendengar ada mayat ditemukan kedua teman mendiang
ini segera memburu kantor polisi untuk melaporkan kejadian
sesungguhnya. Berbekal petunjuk Darwis dan Syahdan, Letnan Dua
W. Simanjuntak, Komandan Sektor Polisi 20601 dan anak buahnya
dengan mudah segera membongkar rahasia di balik tubuh tak
bernyawa itu. Mula-mula ditangkap Arifin. Berdasar info dari
orang ini diciduk pula Ngatino. Sudar, Syarifuddin, Abdul Karim
dan Sakimin, semuanya anak buah Aririn yang bertugas di pesta
malam sebelumnya. Dari pemeriksaan dokter Puskemas setempat
diketahui bahwa si korban telah jadi sasaran kekerasan. Kedua
belah matanya membengkak akibat pukulan benda keras, juga
kepalanya ikut memar. Yang diduga segera menghadapkan nyawa si
korban pada Tuhannya adalah tusukan benda tajam di lambung agak
ke kiri. Masyarakat kampung di pesisir Sumatera Timur itu tentu
meledak heboh oleh musibah itu.
Sementara itu seorang dari para tersangka yang sudah di tangan
para pengabdi hukum itu punya nasib mujur. Setelah ditahan
selama empat hari, dia dilepaskan. Menurut keterangan yang
diperoleh TEMPO orang ini lepas karena ada yang memberi "uang
minum" pada polisi sebesar Rp 5 ribu. Tapi seorang dari
keluarga tersangka yang bernasib baik ini mengatakan bahwa yang
bersangkutan memang tak terlibat apa-apa. Ada juga yang paling
sial, yaitu Abdul Karim, 20 tahun. Pada 1 Mei yang lalu tahanan
terhadap dirinya terpaksa diteruskan ke bangsal Rumah Sakit Umum
Kisaran karena kekerasan yang dialaminya sewaktu diperiksa
polisi. Hingga herita ini dilaporkan, Karim masih mendekam di
situ.
Lontaran Tinju
Ridwan, abang kandung Karim mnerangkan kepada TEMPO 3 Mei yang
lepas bahwa polisi menemui jalan buntu untuk-mengetahui siapa
sebenarnya yang menikamkan pisau pada Amlan. Segera terjadi
tindak kekerasan ketika Abdul Karim yang dicurigai tidak
mengaku. Pada 28 April, Karim dipukuli dengan kayu dan rantai --
barang-barang bukti yang kebetulan ditemui polisi di samping
mayat Amlan selain lontaran tinju dan terjang. Ketika itu kepala
Karim terhempas keras ke batu sehingga dia tak sadarkan diri
setelah muntah-muntah. Sebelum dibawa ke rumah sakit, Karim
sempat bertutur pada abangnya bahwa yang memukulinya adalah tiga
orang polisi, yakni Peltu S, Sersan M dan Kopral SP. Setelah
itu dua hari dua malam Karim tak sadarkan diri di tempat
perawatan tersebut. Menurut dr Margono yang merawat Karim, besar
kemungkinan yang bersangkutan akan dibawa ke rumah sakit jiwa di
Medan. Karim mengalami gegar otak. Rekonstruksi yang dilakukan
di tempat kejadian 4 Mei yang lalu terpaksa tanpa Karim dan
seorang tersangka lainnya, karena yang disebut belakangan ini
berhasil kabur.
Situasi di Komando Resor 206.Asahan, Tanjung Balai, jadi panas
ketika harian Wapada dan Sinar Pembangunan yang terbit di Medan
pada 9 Mei membeberkan perlakuan keras polisi terhadap tersangka
yang mengalami gegar otak itu. Rupanya, dan anehnya, kejadian
aib itu baru diketahui polisi Asahan dari koran. Mayor Syamsul
Bahri, Wakil Komandan Resor kepada para wartawan lokal yang
menemuinya berkata: "Saya belum teruma laporan kejadian itu".
Dapatkah diartikan, Komandan Sektor 20601 Air Joman Letda.
Simanjuntak tak melaporkan peristiwa penganiayaan itu pada
atasannya? Pembantu TEMPO dan beberapa wartawan yang mencoba
menemui Simanjuntak di kantornya telah dihalang-halangi Kopral
S. Pusuk. "Saudara-saudara tidak bermoral, pembunuhpun saudara
bela", teriak Pusuk menanggapi berita korankoran itu. Situasi
jadi tegang, ketika ditanya mengapa ada tersangka yang sudah
dilepaskan dan dinyatakan tak bersalah, padahal belum dibawa ke
pengadilan "Ah .... itu bukan urusan saudara. Disini pak
Simanjuntak yang berkuasa, tahu!" sergahnya. Insiden tak
sempat terjadi, karena para pemburu berita itu segera berlalu
dari sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini