DI bawah bimbingan pengadilan, kata Hakim Soegondo R.
Kartanegara SH dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur, kasus
PT Nindya Karya akhirnya beres juga. Pelelangan tanah dan
bangunan perseroan milik negara tersebut batal. Sebab telah
tercapai "persesuaian faham" antara NK (pihak yang kalah) dengan
lawannya, Fadjaruddin Tamar dari CV Fajar Raya dan Kraton
(pemenang).
Minggu 18 Juli, tepat 25 bulan setelah persengketaan masuk
pengadilan, NK mulai mengangsur sepertiga dari Rp 309 juta lebih
-- seperti diwajibkan pengadilan (TMPO, 23 Juni) kepada
Fadjaruddin. Duapertiga bagian lainnya, yang telah dibayarkan
berupa cek mundur, dapat ditarik Fadjar pada 11 Oktober dan 22
Desember mendatang.
Dalam pertemuan-pertemuan antara dua perusahaan yang bersengketa
tersebut sejak akhir bulan lalu, duduk pula pejabat Bank Dagang
Negara (BDN). "Secara potensial NK mampu membayar, tapi karena
tak bisa tunai, perlu campur tangan bank," kata Hakim Soegondo,
selaku tuan rumah pertemuan.
Di samping sempat menimbulkn persoalan hukum (libat box), kasus
NK juga menunjukkan sesuatu yang lagi-lagi merugikan keuangan
negara -- meskipun omsetnya yang hampir Rp 350 jua (termasuk
bunganya) itu mungkin tidak terlalu menyolok dibanding kasus
lain.
Menurut bekas Kepala Proyek Peningkatan Jalan Daan Mogot
(Grogol, Jakarta), ir. Ridwan Jacob, kericuhan timbul karcna CV
Fajar sebagai subpemborong "beritikad tidak baik," ditambah
"ketidakberesan administrasi NK sendiri." Dari awal, menurut
Ridwan, dia sudah mengusulkan secara lisan agar pimpinan NK
mengoper pekerjaan CV Fajar kepada orang lain saja. Karena
dianggap tak mampu. Juga diusulkannya agar pemborong tersebut
dituntut ke pengadilan untuk beberapa hal yang dianggap
merugikan perusahaan. Tapi kedua usul Ridwan ditolak.
Di atas kertas, ujar Ridwan, CV Fajar tetap sebagai rekanan NK.
Tapi, asal tahu saja, katanya pekerjaan ditangani oleh NK
sendiri. Aneh? Memang. Karena sejak pagi-pagi pihak NK sudah
tahu bahwa CV Fajar sebenarnya tidak bonafid: tak cukup
bermodal, tak punya peralatan, tak punya tenaga pelaksana dan
bahkan tak punya bahan untuk bekerja. Pokoknya, seperti
dikemukakan Ridwan belakangan, NK sejak semula memang
mendudukkan CV Fajar dan Kraton hanya sebagai "pemborong
formalitas saja."
Dengan demikian, sesuai kontrak, pembayaran prestasi resminya
dilakukan melalui kwitansi penagihan Fajar Raya -- sebagai
formalitas belaka. Hubungan kerja yang begitulah yang
menimbulkan kericuhan.
Kasus NK pertama muncul sebagai perkara pidana. Ridwan bersama
Kepala NK Cabang Jakarta, ir Yul Ahyar, dituduh Fadjaruddin
menggelapkan uang tagihan. Hakim membebaskan Yul dari tuduhan.
Sedangkan Ridwan, meskipun terbukti ada menerima uang dari NK,
tapi dibebaskan dari tuntutan hukum. Karena memang ia tak
berkewajiban meneruskannya kepada Fadjar -- dalam rangka
penagihan formalitas tadi. "Sepintas lalu bisa disangka uang
tagihan masuk ke kantong saya sendiri," ujar Ridwan. Padahal?
"Semua orang tahu, deh!" begitu saja katanya.
Untuk Kelancaran Tugas
Mengapa bisa ada "pemborong formalitas" begituan, agaknya tak
masuk hitungan yang berwajib untuk dipersoalkan. Padahal seperti
pernah dikemukakan Ridwan di pengadilan, ada sesuatu yang tak
beres dalam hubungan antara NK dengan Fadjaruddin. Sebagai
bukti, seperti diketengahkan Ridwan dalam pembelaannya, dia
pernah mendengar Fadjaruddin mengucapkan kalimat demikian: "Pak
Ridwan tolong sampaikan pada Pak Yul (pimpinan NK Cabang Jakarta
waktu itu -- red), saya berniat untuk memberi sebuah Honda Civic
. . . " Dalam hubungan apa pesan tersebut, memang tak
dijelaskan. Tapi Ridwan memang ada melihat sebuah Civic baru
nomor B-1127-Z dipegang pimpinan perusahaannya.
Kepada TEMPO, Fadjaruddin membantah pernyataan Ridwan. Katanya,
perusahaannya telah melaksanakan dengan baik semua pekerjaannya
sebagai sub-kontraktor NK. Jadi ia tak mau disebut sebagai
"pemborong formalitas." Dia juga membantah memberi "pelicin",
sebuah Honda Civic misalnya, untuk menjalin hubungan dengan NK.
Fajar tak merasa pernah memberi "servis yang besar" kepada
pejabat yang memberinya pekerjaan. Yang dilakukannya, katanya,
hanya memberi sesuatu "untuk kelancaran tugas mereka." Misalnya,
menyediakan mobil, "untuk dipinjam saja" dan sekedar uang
transpor.
Gagal mempidanakan pejabat NK, Fadjaruddin ternyata berhasil
memenangkan perkara secara perdata -- yang hampir saja memaksa
pengadilan melelang kekayaan NK. Lelang memang batal. Tapi
melalui perkara ini negara harus mengeluarkan uang tidak
sedikit. Kekalahan NK, menurut Ridwan, "berarti perusahaan harus
membayar tiga kali." Pertama, membayar pembiaaan proyek jalan
Daan Mogot yang dikerjakannya sendiri. Kedua, untuk membiayai
persengketaan dengan Fadjar -- NK telah membayar "lebih dari Rp
100 juta." Dan terakhir, untuk menghindari lelang, NK harus
memenuhi "tagihan" bekas rekanannya sesuai dengan jadwal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini