Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Batal Lelang, Tapi Tetap Rugi

Persengketaan antara 2 perusahaan yaitu PT. Nindya Karya, yang tak jadi dilelang, dengan CV. Fajar Raya dan Kraton, sebagai sub pemborong, sempat dibawa ke pengadilan dan merugikan uang negara. (hk)

21 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI bawah bimbingan pengadilan, kata Hakim Soegondo R. Kartanegara SH dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur, kasus PT Nindya Karya akhirnya beres juga. Pelelangan tanah dan bangunan perseroan milik negara tersebut batal. Sebab telah tercapai "persesuaian faham" antara NK (pihak yang kalah) dengan lawannya, Fadjaruddin Tamar dari CV Fajar Raya dan Kraton (pemenang). Minggu 18 Juli, tepat 25 bulan setelah persengketaan masuk pengadilan, NK mulai mengangsur sepertiga dari Rp 309 juta lebih -- seperti diwajibkan pengadilan (TMPO, 23 Juni) kepada Fadjaruddin. Duapertiga bagian lainnya, yang telah dibayarkan berupa cek mundur, dapat ditarik Fadjar pada 11 Oktober dan 22 Desember mendatang. Dalam pertemuan-pertemuan antara dua perusahaan yang bersengketa tersebut sejak akhir bulan lalu, duduk pula pejabat Bank Dagang Negara (BDN). "Secara potensial NK mampu membayar, tapi karena tak bisa tunai, perlu campur tangan bank," kata Hakim Soegondo, selaku tuan rumah pertemuan. Di samping sempat menimbulkn persoalan hukum (libat box), kasus NK juga menunjukkan sesuatu yang lagi-lagi merugikan keuangan negara -- meskipun omsetnya yang hampir Rp 350 jua (termasuk bunganya) itu mungkin tidak terlalu menyolok dibanding kasus lain. Menurut bekas Kepala Proyek Peningkatan Jalan Daan Mogot (Grogol, Jakarta), ir. Ridwan Jacob, kericuhan timbul karcna CV Fajar sebagai subpemborong "beritikad tidak baik," ditambah "ketidakberesan administrasi NK sendiri." Dari awal, menurut Ridwan, dia sudah mengusulkan secara lisan agar pimpinan NK mengoper pekerjaan CV Fajar kepada orang lain saja. Karena dianggap tak mampu. Juga diusulkannya agar pemborong tersebut dituntut ke pengadilan untuk beberapa hal yang dianggap merugikan perusahaan. Tapi kedua usul Ridwan ditolak. Di atas kertas, ujar Ridwan, CV Fajar tetap sebagai rekanan NK. Tapi, asal tahu saja, katanya pekerjaan ditangani oleh NK sendiri. Aneh? Memang. Karena sejak pagi-pagi pihak NK sudah tahu bahwa CV Fajar sebenarnya tidak bonafid: tak cukup bermodal, tak punya peralatan, tak punya tenaga pelaksana dan bahkan tak punya bahan untuk bekerja. Pokoknya, seperti dikemukakan Ridwan belakangan, NK sejak semula memang mendudukkan CV Fajar dan Kraton hanya sebagai "pemborong formalitas saja." Dengan demikian, sesuai kontrak, pembayaran prestasi resminya dilakukan melalui kwitansi penagihan Fajar Raya -- sebagai formalitas belaka. Hubungan kerja yang begitulah yang menimbulkan kericuhan. Kasus NK pertama muncul sebagai perkara pidana. Ridwan bersama Kepala NK Cabang Jakarta, ir Yul Ahyar, dituduh Fadjaruddin menggelapkan uang tagihan. Hakim membebaskan Yul dari tuduhan. Sedangkan Ridwan, meskipun terbukti ada menerima uang dari NK, tapi dibebaskan dari tuntutan hukum. Karena memang ia tak berkewajiban meneruskannya kepada Fadjar -- dalam rangka penagihan formalitas tadi. "Sepintas lalu bisa disangka uang tagihan masuk ke kantong saya sendiri," ujar Ridwan. Padahal? "Semua orang tahu, deh!" begitu saja katanya. Untuk Kelancaran Tugas Mengapa bisa ada "pemborong formalitas" begituan, agaknya tak masuk hitungan yang berwajib untuk dipersoalkan. Padahal seperti pernah dikemukakan Ridwan di pengadilan, ada sesuatu yang tak beres dalam hubungan antara NK dengan Fadjaruddin. Sebagai bukti, seperti diketengahkan Ridwan dalam pembelaannya, dia pernah mendengar Fadjaruddin mengucapkan kalimat demikian: "Pak Ridwan tolong sampaikan pada Pak Yul (pimpinan NK Cabang Jakarta waktu itu -- red), saya berniat untuk memberi sebuah Honda Civic . . . " Dalam hubungan apa pesan tersebut, memang tak dijelaskan. Tapi Ridwan memang ada melihat sebuah Civic baru nomor B-1127-Z dipegang pimpinan perusahaannya. Kepada TEMPO, Fadjaruddin membantah pernyataan Ridwan. Katanya, perusahaannya telah melaksanakan dengan baik semua pekerjaannya sebagai sub-kontraktor NK. Jadi ia tak mau disebut sebagai "pemborong formalitas." Dia juga membantah memberi "pelicin", sebuah Honda Civic misalnya, untuk menjalin hubungan dengan NK. Fajar tak merasa pernah memberi "servis yang besar" kepada pejabat yang memberinya pekerjaan. Yang dilakukannya, katanya, hanya memberi sesuatu "untuk kelancaran tugas mereka." Misalnya, menyediakan mobil, "untuk dipinjam saja" dan sekedar uang transpor. Gagal mempidanakan pejabat NK, Fadjaruddin ternyata berhasil memenangkan perkara secara perdata -- yang hampir saja memaksa pengadilan melelang kekayaan NK. Lelang memang batal. Tapi melalui perkara ini negara harus mengeluarkan uang tidak sedikit. Kekalahan NK, menurut Ridwan, "berarti perusahaan harus membayar tiga kali." Pertama, membayar pembiaaan proyek jalan Daan Mogot yang dikerjakannya sendiri. Kedua, untuk membiayai persengketaan dengan Fadjar -- NK telah membayar "lebih dari Rp 100 juta." Dan terakhir, untuk menghindari lelang, NK harus memenuhi "tagihan" bekas rekanannya sesuai dengan jadwal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus