Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Mengayuh sepeda, menolong bayi

Zulfachmi wahab memenangkan lomba inovasi teknologi, diselenggarakan pemda d.i. ypgyakarta. karyanya penyedot lendir di saluran nafas bayi & pemasok oksigen. umar n.r. menawarkan pendeteksi yodium.

14 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KELUAR-masuk meninjau puskesmas adalah salah satu mata ajaran wajib bagi mahasiswa kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Lewat program itu, Zulfachmi Wahab, 22 tahun, jadi mafhum gangguan pernapasan terhadap para bayi merah (afiksia neonatal) sering membuahkan situasi genting di puskesmas "Karena keterbatasan sarana," ujar mahasiswa kedokteran UGM semester delapan itu. Gambaran buruk itu pun diolah oleh Zul bersama empat kawan sekelasnya untuk merancang alat, guna memerangi gangguan afiksi neonatal itu. Hasilnya, dua perkakas sederhana: penyedot lendir di saluran napas bayi, dan pemasok oksigen. Kedua perkakas kedokteran itu dirampungkan awal Februari silam. Lantas, kedua alat itu dikirim ke Lomba Inovasi Teknologi yang diadakan oleh Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasilnya Sabtu dua pekan lalu, Zul dkk, menggondol gelar juara I, dan berhak atas hadiah Rp 500 ribu. "Gagasan mereka memang orisinal," kata Dr. Radjiman, penanggung jawab penelitian mahasiswa FK UGM. Alat pengisap lendir buatan Zul dkk. wujudnya sederhana. Tenaga isapannya berasal dari kayuhan pedal sepeda, yang membuat sebuah roda gir berputar. Berikutnya, roda menggerakkan torak, kemudian torak menendang tuas pompa isap sehingga bergerak maju-mundur. Pompa itu dihubungkan dengan tabung pengisap. Ketika tuas bergerak mundur, udara dalam tabung pengisap itu ditarik keluar lewat sebuah pipa yang disekat klep searah. Lantas ketika torak merangsak maju, tekanannya dibelokkan lewat saluran pembuang. Begitu seterusnya, setelah sekian kali genjotan, tekanan udara dalam tabung pengisap menjadi negatif. Sebuah perkakas kerja yang terkesan tradisional. Tapi lihat hasilnya. Jika pedal itu digenjot dengan laju 60 rpm, dalam tempo semenit tekanan pada tabung pengisap itu akan minus 25-60 mm Hg. Hasil ini lebih baik dibanding pompa isap manual bola karet yang cuma berkekuatan -- 15 mm Hg. Pompa isap manual itulah yang menjadi andalan puskesmas kendati kurang bisa diandalkan. Jika dibanding dengan alat pengisap elektrik yang dimiliki rumah sakit besar yang bisa mencapai -- 300 mm Hg, memang pompa buatan Zul dkk. ini kalah kelasnya. Namun, pompa isap Zul boleh dibilang cukup efektif lantaran kekuatan -- 20 mm Hg sudah memadai untuk menarik lendir penyumbat di leher bayi. Namun, pertolongan terhadap penderita afiksia sering tak cukup hanya dengan membebaskan jalur pernapasan si bayi. Si kecil ini masih perlu bantuan oksigen agar kemungkinan hipoksia (kekurangan zat asam di tingkat jaringan) bisa teratasi. Karena itu, Zul dkk. juga membuat perkakas pemasok oksigen. Untuk penambahan zat asam itu, Zul dkk. hanya menggunakan teknik elektrolisa terhadap larutan asam sulfat (H2SO4). Caranya, larutan asam sulfat itu ditempatkan pada satu cawan yang dipasangi dua buah elektrode. Lantas muatan listrik dari aki 12 volt dialirkan lewat kedua elektrode, dan akan mendorong terjadinya reaksi kimia yang menghasilkan oksigen. Untuk menghindari penguapan air dari permukaan larutan itu, sebelum ditampung, gas dari cawan H2SO4 itu diembunkan agar uap airnya tertinggal. Setelah itu, barulah gas oksigen itu ditampung dalam sebuah tangki mini. Memang, Zul belum mencoba alat itu untuk memberikan pertolongan kepada bayi yang mengalami sesak napas. Tapi angka-angka yang diperlihatkannya cukup menggembirakan. Oksigen dalam tangki itu antara 20% dan 80%, jauh di atas oksigen udara bebas, yang menurut pengukuran Zul antara 13% dan 16%. Memang, ada keanehan pada gas yang dihasilkan oleh elektrolisa model anak UGM itu. Oksigen dalam tangki itu tercampur dengan gas nitrogen (20-69%) dan uap air (7-11%). Asal-usul uap air itu jelas: penguapan dari larutan asam sulfat. Terus nitrogen itu? "Secara teoretis elektrolisa itu tak menghasilkan nitrogen, barangkali ada bagian yang bocor, dan nitrogen masuk," kata Zul. Betapapun masih belepotan, menurut Dr. Radjiman, orisinalitas kreasi Zul dkk. patut dihargai. Setahu dia, teknik sederhana itu tak pernah dilakukan orang. Kalaupun pernah dibuat orang, Radjiman yakin bahwa anak didiknya itu tak menyontek. "Itu semata-mata karena kebetulan," ujarnya. Di kalangan mahasiswa kedokteran UGM, Zul dkk. bukannya kelompok satu-satunya yang memperoleh penghargaan ilmiah. Umar Nur Rahman, 22 tahun, kawan sekelas Zul, menggaet pula gelar juara I pada lomba karya inovatif-produktif tingkat nasional, yang diadakan di IPB Januari lalu. Karyanya: Deteksi Defisiensi Yodium melalui Urine dengan Metode Yodogama. Singkat kata, Nur menawarkan cara baru mendeteksi kekurangan yodium. Caranya dengan memeriksa urine, bukan darah seperti yang dilakukan banyak rumah sakit besar dengan perkakas mahalnya. Mula-mula, dalam metode Yodogama (Yodo dari asal kata iodium, dan Gama akronim dari Gadjah Mada), sampel urine diambil 5 ml ditambah kaliumiodida (KI) 0,01 M sebanyak 05 ml, lalu dikocok. Kemudian larutan tadi ditambah lagi dengan asam klorida (HCl), dicampur lagi dengan natrium nitrit (NaNO2), lantas ditetesi dengan larutan kanji. Jika timbul warna biru, berarti si pemilik urine itu tak kekurangan yodium. Namun, bila tak terjadi perubahan warna, itu indikasi adanya kekurangan zat yodium. Diakui oleh Dr. Radjiman, reaksi-reaksi kimia Yodogama itu telah diketahui orang. "Tapi Nur yang pertama membuat eksperimennya, dan dia yang memformulasikannya," ujarnya. Maka, Radjiman tak ragu mendaftarkan karya Nur dan Zul ke Paptek (Penapisan Adaptasi Pengembangan Ilmu dan Teknologi Kedokteran), badan yang bernaung di bawah Departemen P & K dan Depkes. Jika lolos dari Paptek, kata Radjiman, "bisa saja karya mereka dibawa sampai puskesmas, praktis murah." Aries Margono (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus