KASUS pembunuhan Kapolsek Wara Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan Letda. Pol. Novi Herawadi, 27 tahun semakin terkuak. Perwira muda lulusan Akademi Kepolisian tahun 1985 yang dinilai berprestasi baik itu dalam pemeriksaan Pengadilan Negeri Palopo di Luwu, ternyata dihabisi oleh para anak buahnya sendiri, dibantu empat orang sipil, dengan janji imbalan Rp 1 juta. Sabtu pekan lalu, majelis hakim yang dipimpin Suradiman memvonis tiga terdakwanya, H. Hammade, Lama, dan Nurdin, masing-masing dengan hukuman penjara seumur hidup, 20 tahun, dan 15 tahun. Ketiga terdakwa, menurut hakim di persidangan terbuka itu, bersama La Tahang, Hermanto, Burhanuddin -- dua nama terakhir anggota polisi dan anak buah korban -- terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap Novi pada 8 Mei lalu. "Perbuatan mereka terhitung sadistis, tidak berperikemanusiaan, sehingga bisa meresahkan masyarakat," kata ketua majelis. Novi baru ditemukan meninggal di rumahnya, asrama Polres Luwu, sore hari, menjelang beduk buka Puasa 8 Mei 1988. Keadaan tubuhnya amat menyedihkan, dengan luka memar di kepala dan lehernya terbelit ikat pinggang. Kematian ayah seorang anak itu mengundang teka-teki. Isu yang segera beredar ialah Novi bunuh diri karena sering cekcok dengan istrinya. Banyak orang, termasuk para polisi, hampir saja terkecoh kabar burung yang menyesatkan itu. Sebab, sebuah tim penyidik, terdiri dari para letnan, menyimpulkan kasus itu memang semata-mata bunuh diri. Kebetulan, dalam tim itu, ada Serda. Pol. Hermanto, orang pertama yang menemukan jasad mendiang dengan mencongkel kaca nako. Misteri itu baru terkuak setelah Kapola Sulawesi Selatan dan Tenggara (Sulseltra), ketika itu Brigjen. Pol. Putra Astaman, membentuk tim gabungan yang terdiri dari para reserse berpangkat mayor, provost, dan intelijen polisi. Hasil kerja tim itu cukup mengagetkan: kematian Novi akibat pembunuhan. Kemudian satu per satu tersangka pembunuhnya dibekuk. Yang pertama adalah Hermanto. Di persidangan, Burhanuddin mengaku menghabisi Novi selaku atasannya karena tersinggung. Ia merasa malu dituduh komandannya ikut melindungi pencurian kayu hitam, jenis kayu langka yang mahal harganya. Kebetulan, bulan-bulan terakhir sebelum kematiannya, Letda. Novi memang giat memberantas berbagai kejahatan di wilayahnya. Hanya saja, upaya Novi selalu menemui jalan buntu. Anak buahnya sering melipatnya. Burhanuddin, karena dipermalukan menceritakannya kepada rekannya, Hermanto. Keduanya sepakat merencanakan pembantaian itu dengan meminta bantuan H. Hammade, Lama, Nurdin, serta La Tahang. Pada dinihari waktu kejadian, rombongan Hermanto pun menyelinap masuk rumah Novi. Kebetulan, ketika itu Novi makan sahur di rumah tetangganya. Istri dan anaknya sedang berada di Jakarta. Begitu Novi masuk rumah, Lama, yang bersembunyi di balik pintu, menyambutnya dengan tendangan. Novi jatuh terjerambab. H. Hammade langsung menghantamkan kunci roda mobil ke kepala bagian belakang. Nurdin memegangi kedua kaki korban sembari memukul dengan batu besar. Leher korban dicekik La Tahang dengan kain biru. Sementara itu, Hermanto memukuli korban dengan pipa besi dan menghantamkan gagang pistol ke kepala. Ketiga terdakwa telah diganjar hukuman. Mereka menyatakan naik banding atas putusan tersebut. Sedangkan La Tahang, Hermanto, dan Burhanuddin sedianya akan diadili secara terpisah bulan ini. Selain keenam orang yang disebut di atas, belakangan Komandan Satserse Polres Luwu, Lettu. Pol. S.M. Kope -- mertua Hermanto -- juga diperiksa. Ia diduga ikut terlibat. Sebab, dalam keterangan tersangka Hermanto, kunci rumah Novi didapat dari mertuanya. Tapi di persidangan, Kope membantah keras tudingan sang mantu. Apa yang diucapkan Hermanto adalah fitnah. "Hermanto sengaja membuat cerita itu untuk memaksa Kope turun tangan meredam kasus," ujar Nyonya Ester, istri Kope. Sementara itu, Kope hanya berkata pelan, "Saya seperti orang tidur, tak boleh bicara banyak. Benar tidaknya keterlibatan anggota Polri itu dalam pembunuhan, masih perlu ditunggu dalam sidang berikutnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini