Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjadi tersangka jelas merupakan kabar buruk bagi Izedrik Emir Moeis. Tapi status baru itu bukan hal yang sama sekali di luar dugaan dia. Soalnya, Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat itu sebelumnya sudah bolak-balik diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi.
Yang mengagetkan, menurut politikus kawakan PDI Perjuangan itu, dirinya justru menjadi tersangka dalam perkara yang sudah lama pamit dari ingatannya. "Seperti disambar petir di siang bolong," kata Emir kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Pada 20 Juli lalu, KPK menetapkan Emir sebagai tersangka kasus dugaan korupsi lelang proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Tarahan, Lampung. Dalam proyek itu, KPK menduga Emir menerima uang lebih dari US$ 300 ribu atau Rp 2,8 miliar.
Sebelumnya, Emir berkali-kali diperiksa KPK dalam kasus lain yang heboh di media. Misalnya kasus suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia dan kasus korupsi di Badan Anggaran DPR. Tapi, dalam kasus-kasus terdahulu, Emir selalu lolos. Jangankan masuk bui seperti beberapa koleganya, menjadi tersangka pun Emir tak pernah.
Menurut Emir, dia baru percaya menjadi tersangka kasus Tarahan ketika penyidik KPK menggeledah rumahnya di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, pada 26 Juli lalu. Sebelum berjam-jam menyisir rumah itu, penyidik KPK menunjukkan surat perintah penggeledahan yang juga menyebutkan status hukum Emir.
Sebelum menjadi tersangka kasus Tarahan, Emir memang tidak pernah diperiksa KPK. Biasanya, sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka, KPK memeriksa dulu saksi lain. Tapi, soal ini, juru bicara KPK, Johan Budi S.P., punya alasan. Dalam hukum acara pidana, kata dia, tak ada keharusan seseorang harus diperiksa sebagai saksi sebelum menjadi tersangka.
Menurut Wakil Ketua KPK Bambang WidjoÂjanto, pengusutan kasus Emir memang tergolong tertutup. Di lingkungan KPK pun hanya kalangan terbatas yang mengetahui detail penyelidikan seperti itu. Yang pasti, kata Bambang, kasus Tarahan bukan karbitan. Kasus ini sudah diusut sejak KPK dipimpin Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah pada 2009-2010. "Kami tak mungkin sembarangan," kata Bambang kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Dugaan korupsi proyek Tarahan tak masuk radar KPK sebagai kasus berdiri sendiri. KPK mengendus bau busuk dalam proyek ini ketika mengusut dugaan korupsi alih daya (outsourcing) proyek sistem informasi pelanggan di PLN Distribusi Jakarta Raya-Tangerang pada 2004-2007. Kasus itu telah menyeret bekas Direktur Utama PLN Eddie Widiono ke penjara.
Nah, dalam rangkaian pemeriksaan saksi dan bukti kasus itulah nama Emir muncul. Transaksi keuangan mencurigakan di rekening dia pun sedikit demi sedikit terkuak. Tapi Emir tak terkait langsung dalam pusaran kasus korupsi sistem informasi itu.
Jejak hitam Emir justru terlacak lebih jelas dalam tender proyek PLTU Tarahan unit 3 dan 4 pada 2004. Saat itu ada sejumlah perusahaan swasta lokal dan asing yang berminat menggarap proyek pembangunan konstruksi dan pengelolaan pembangkit listrik yang ditawarkan PT PLN tersebut. Mereka, antara lain, Alstom Indonesia, Marubeni, Mitsubishi, dan Foster Wheeler.
Tender pembangkit berkapasitas 200 megawatt ini sampai empat kali dievaluasi. Dalam tiga evaluasi awal, konsorsium Alstom Indonesia dan Marubeni kalah karena menawar lebih tinggi, yaitu US$ 126 juta, US$ 157 juta, dan US$ 142 juta. Pesaing utamanya, Konsorsium Mitsubishi dan Foster Wheeler, menawarkan harga US$ 118 juta.
Atas permintaan manajemen PLN, penilaian lelang dilakukan sampai empat putaran. Pada evaluasi keempat, PLN pun mengganti panitia tender. Kali ini konsorsium Alstom menurunkan tawaran menjadi US$ 118 juta. Anehnya, tawaran konsorsium Mitsubishi membengkak jadi US$ 121 juta. Alhasil, di babak final, Alstom keluar sebagai pemenang lelang proyek yang dibiayai pinjaman lunak dari Japan Bank for International Cooperation itu.
Menurut sumber Tempo, Alstom Indonesia sejak awal memang paling ngiler mendapat proyek PLTU Tarahan. Masalahnya, mereka tak punya jalur langsung ke penentu keputusan lelang, baik di DPR maupun di pemerintah. Mereka lalu menyewa perusahaan konsultan internasional untuk memuluskan jalan.
KPK tak hanya mengantongi nama perusahaan konsultan itu. Nilai kontrak dan detail kewajiban perusahaan konsultan itu pun sudah di laci penyidik. Termasuk kewajiban mereka, menurut sumber Tempo, menggalang dukungan Emir dan kawan-kawan untuk memenangkan Alstom dalam lelang.
Rupanya, Alstom pun tak melepas begitu saja urusan lobi para politikus kepada konsultan. Buktinya, utusan Alstom berkali-kali menemui Emir. Selain di Jakarta, Emir bertemu dengan perwakilan Alstom di Amerika dan Prancis.
Kepada Tempo, Emir mengakui pernah beberapa kali bertemu dengan utusan Alstom. Saat mendatangi kantor Emir di Jakarta, utusan Alstom memaparkan teknologi yang mereka kembangkan. "Biasa, membagus-baguskan teknologi mereka dibanding perusahaan lain," ujar Emir.
Emir pun mengiyakan pertemuan dia dengan orang Alstom di Amerika. "Namanya Bill. Saya lupa nama lengkapnya," kata Emir. Tapi Emir mengaku ke Amerika bukan untuk urusan pemenangan Alstom. Waktu itu, pada 2003, Emir sedang mengurusi bisnis ekspor konsentrat tanah sekaligus menemui teman semasa kuliahnya. Setelah lulus dari Institut Teknologi Bandung, Emir, yang dibesarkan di kawasan elite Menteng, Jakarta Pusat, pernah kuliah di Massachusetts Institute of Technology, Boston, Amerika.
Dari Amerika, Emir bertolak ke Paris, Prancis. "Saya mau menemui seorang profesor ekonomi di Universitas Sorbone," katanya. Tapi di Paris, kata Emir, dia diundang orang kantor pusat Alstom. Mereka makan malam di Restoran Lido di kawasan Chandelles, Paris. "Di situ ada pertunjukan kabaret. Dia (orang Alstom) datang bersama istrinya," ujar Emir. Ia membantah kabar yang menyebutkan dia menikmati hiburan khusus lelaki dewasa di tempat itu.
Meski mengaku berulang kali bertemu dengan orang Alstom, Emir menyangkal membantu perusahaan itu menang lelang. Alasannya, pertemuan itu terjadi setelah Emir tidak lagi menjadi Ketua Komisi Energi di DPR. Pada periode itu, Emir sudah hijrah di Komisi Keuangan dan Perbankan DPR. "Saya tak tahu-menahu tender Tarahan," kata Emir.
Itu versi Emir. Menurut sumber Tempo, kendati tak lagi memimpin Komisi Energi DPR, saat proyek Tarahan dilelang, pengaruh Emir di PLN serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral masih sangat kuat. "Dia politikus partai berkuasa. Dia paling paham urusan listrik," kata sumber ini. Saat di Komisi Energi, Emir memang pernah menjabat ketua tim pembenahan listrik swasta.
Emir menyangkal menerima fasilitas dan uang dari Alstom. Dia mengklaim membayar sendiri ongkos perjalanan dan penginapan selama di Amerika dan Prancis. "Tak ada uang sepeser pun dari Alstom," kata Emir. Soal aliran dana ini, pengakuan Emir barangkali ada benarnya. Tapi bukan berarti dia tak menerima. Soalnya, menurut sumber di KPK, transaksi yang terlacak memang tidak langsung dari Alstom ke rekening Emir. Uang mengalir ke rekening Emir secara bertahap melalui perantara. Totalnya lebih dari US$ 300 ribu. "Ada juga uang yang masuk melalui orang dekat Emir," kata si sumber.
Untuk mempermudah penyidikan, sejak 26 Juli, KPK pun melarang Emir bersama dua pengusaha bepergian ke luar negeri. Kedua pengusaha itu Zuliansyah Putra Zulkarnain, Direktur Utama PT Artha Nusantara Utama, dan Reza Roestam Moenaf, General Manager PT Indonesian Site Marine.
Emir mengaku mengenal Zuliansyah, tapi tidak mengenal Reza. Zuliansyah pernah menjadi anggota staf ahli Emir di DPR. Sejak tiga tahun lalu, dia melanjutkan sekolah ke Jerman. Adapun Reza, menurut sejumlah staf di Indonesian Site Marine, pernah bekerja di salah satu anak perusahaan Alstom Indonesia, Alstom Power.
Menurut sumber Tempo, Zuliansyah dan Reza hanya pelaksana lapangan dalam lobi-lobi proyek Tarahan. Tapi mereka termasuk dalam lingkaran inti. Adapun tokoh utamanya, ya, tetap Emir.
Meski belum menahan Emir, KPK sudah menyiapkan pasal berlapis untuk menyeret dia ke pengadilan. Penyidik antara lain memakai pasal 5 ayat 2 serta pasal 12 huruf a dan b Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Pasal ini melarang pegawai negeri atau pejabat negara menerima janji dan hadiah yang bertentangan dengan tugas dan kewajibannya. Ancaman hukumannya maksimal penjara seumur hidup dan denda Rp 1 miliar. Dengan status tersangka, Emir memang tinggal menunggu waktu untuk menuju meja hijau.
Jajang Jamaludin, Anton Aprianto, Ira Guslina, Subkhan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo