Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penyebutan Pemerintah Singapura “mendeportasi” Ustad Abdul Somad atau UAS oleh Kementerian Luar Negeri dianggap kurang tepat. Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia Kemenlu Judha Nugraha mengatakan UAS bukan dideportasi tetapi mendapat not to land notice atau penolakan masuk ke Singapura.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deportasi berarti pembuangan, pengasingan, atau pengusiran seseorang ke luar suatu negara sebagai hukuman, atau karena seseorang itu tak berhak berdomisili di wilayah tersebut, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Membahas soal deportasi, lalu bagaimana prosedur deportasi di Indonesia?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengutip dari publikasi Universitas Udayana, Bali, deportasi erat kaitannya dengan bidang keimigrasian dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Deportasi merupakan suatu tindakan administratif keimigrasian yang dilaksanakan secara paksa untuk mengeluarkan Warga Negara Asing atau WNA. Deportasi dapat dilakukan apabila WNA melakukan ataupun diduga melakukan kegiatan berbahaya atas ketertiban umum dari wilayah Republik Indonesia. Adapun deportasi ini pelaksanaannya hanya diberikan wewenangnya kepada pejabat keimigrasian.
Deportasi, selain untuk menghindari ancaman terhadap ketertiban umum di negara terkait, dilakukan agar negara asal WNA yang melakukan kejahatan dapat melanjutkan pelaksanaan hukum yang seharusnya diselenggarakan di negara asal WNA tersebut. Menurut buku Pengantar Hukum Internasional oleh Mochtar Kusumaatmadja, suatu negara berhak untuk mendeportasikan WNA, tetapi juga dibatasi oleh prinsip-prinsip hukum internasional terhadap perlakuan WNA berdasarkan perjanjian internasional.
Meski deportasi merupakan suatu tindakan paksa, tetapi implementasinya tak boleh melanggar nilai-nilai kemanusiaan dan HAM. Hak sipil dan politik seseorang kemungkinan dilanggar apabila seseorang dideportasi dengan cara sewenang-wenang dan tidak manusiawi. Indonesia menjamin hak asasi manusia dengan memiliki Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia khususnya dalam pasal 34 bahwa “Setiap orang tidak boleh diasingkan atau dibuang secara sewenang-wenang” yang bersumber dari Pasal 9 Universal Declaration of Human Rights.
Menurut buku Pendetensian dan Deportasi, Teknis Substantif Pengawasan Keimigrasian oleh Oldarina Asri Herawaty dan Sugiyo menjelaskan bahwa seseorang yang dideportasi dapat ditempatkan di Rumah Detensi atau Ruang Detensi Imigrasi. Tetapi, pelaksanaan deportasi terhadap WNA yang melakukan pelanggaran keimigrasian tidak selalu berjalan mulus.
Adapun beberapa permasalahan yang dihadapi oleh petugas pada saat dilakukan proses pelaksanaan deportasi, antara lain mereka menolak untuk dideportasi ke negara asalnya dan mengancam akan melakukan aksi mogok makan dan bunuh diri. Hal ini dapat terjadi bila deteni atau orang yang dideportasi karena kejahatan tersebut akan dikenakan tindakan persekusi di negara asalnya.
Selain itu, deteni yang tidak memiliki Dokumen Perjalanan mengalami kesulitan dalam penerbitan Dokumen Perjalanan karena tidak ada perwakilan negara asalnya di Indonesia. Status kewarganegaraan deteni tidak diakui oleh perwakilan negara asalnya di Indonesia sehingga perwakilan negara asalnya tidak menerbitkan Dokumen Perjalanan berupa Emergency Travel Document (ETD).
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.