Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Berkas perkara tersangka mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong dan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) Charles Sitorus akan dilimpahkan ke pengadilan pekan ini. “Insyaallah dalam minggu ini akan dillimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk disidangkan,” ujar Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar di gedung Kartika Kejaksaan Agung, Rabu, Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tom Lembong dan Charles merupakan tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan 2015–2016. Selain mereka, Kejaksaan juga menetapkan tersangka sembilan orang lainnya dari pihak swasta. Berdasarkan hitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kerugian negara akibat korupsi ini ditaksir Rp 578 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus yang melibatkan Tom Lembong berawal dari pengusutan kejaksaan perihal adanya kebijakan impor gula di tengah surplus gula nasional pada 2015-2016. Kebijakan ini seharusnya dilakukan dalam bentuk impor gula kristal putih (GKP), bukan gula kristal mentah (GKM). Yang berwenang mengimpor adalah badan usaha milik negara yang ditunjuk pemerintah, bukan swasta. Dalam hal ini adalah PT PPI. Namun PT PPI justru menunjuk delapan perusahaan swasta atas persetujuan Tom Lembong agar mengimpor GKM.
Kejaksaan Agung menyebut persetujuan impor itu terbit tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian serta dilakukan tanpa adanya rapat koordinasi dengan instansi terkait. Setelah impor terjadi, perusahaan swasta mengolah GKM menjadi GKP.
Dalam praktiknya, PT PPI seolah-olah membeli gula dari 8 perusahaan swasta yang ditunjuk. Kenyataannya gula dijual oleh perusahaan ke pasar lewat distributor dengan harga lebih tinggi dari harga ecer tertinggi. Sementara PPI mendapat imbalan Rp 105 per kg dari perusahaan swasta yang mengolah GKM menjadi GKP. Kebijakan ini, selain diklaim melanggar berbagai prosedur, juga dianggap menguntungkan swasta dan membuat negara rugi.