Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SERIBU jalan bisa ditempuh buat menghindari jeratan hukum di negeri ini. Orang bisa bermain mata dengan jaksa, polisi, dan hakim. Bahkan, sesudah keluar putusan dari Mahkamah Agung pun, masih tersedia jalan untuk menghindari bui. Caranya antara lain menggunakan celah lambannya eksekusi dan jurus sakit.
Itulah yang mungkin dicoba oleh Beddu Amang, bekas Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog). Dalam kasus tukar guling Bulog dan PT Goro Batara Sakti, Selasa pekan lalu ia telah divonis hukuman 4 tahun penjara oleh MA. Putusan ini menguatkan vonis di pengadilan ban-ding yang memutusnya dengan hukuman yang sama. Hanya, putusan tersebut tidak bisa segera dieksekusi dengan alasan klise: salinan vonisnya belum diterima oleh kejaksaan. Peliknya lagi, pengacara Beddu menyatakan bahwa kliennya sekarang dalam keadaan sakit.
Tapi rupanya polisi berpendapat lain. Sabtu lalu, Markas Besar (Mabes) Kepolisian Republik Indonesia memasukkan Beddu ke dalam daftar pencarian orang (DPO) alias buron. Wakil Direktur II Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Komisaris Besar Marsoedi Hanafi, mengatakan, daftar itu telah dikirim ke sejumlah ke-polisian daerah. Dalam waktu dekat, kata Marsoedi, Mabes juga akan mencekal Beddu, agar tidak kabur ke luar negeri. "Kita usahakan secepatnya," janji Marsoedi.
Selain dihukum 4 tahun penjara dalam perkara ruilslag dengan PT Goro, Beddu juga mesti mem-bayar ganti rugi Rp 5 miliar dan denda Rp 5 juta kepada negara. Menurut Toton Suprapto, hakim agung yang menangani perkara ini, putusan tersebut langsung bisa dieksekusi karena sudah berkekuatan hukum tetap. Eksekusi juga tetap bisa dilaksanakan kendati pengacara Beddu berupaya mengajukan peninjauan kembali.
Soal korupsi yang menyeret Beddu diduga terjadi pada 1995, tak lama setelah dia diangkat menjadi Kepala Bulog. Tiba-tiba ia memutuskan kebijakan yang belakangan penuh kontroversi: menukar tanah yang ditempati gudang Bulog di Kelapa Gading, Jakarta, seluas 50 hektare dengan tanah pengganti di Marunda, Bekasi, seluas 125 hektare yang disediakan PT Goro Batara Sakti. Perusahaan milik Tommy Soeharto ini kemudian menggunakan tanah bekas gudang Bulog tersebut.
Dalam prakteknya, tukar guling tersebut tidak berjalan mulus karena proses pembebasan tanah di Marunda tersendat. Selain itu, Bulog harus menyediakan dana berdasarkan pinjaman dari Bank Bukopin sebesar Rp 20 miliar, jaminan deposito sebesar Rp 23 miliar, dan sejumlah jaminan lainnya. Dari bukti-bukti yang dikumpulkan kejaksaan, diperkirakan negara di-rugikan Rp 95,4 miliar. Beddu Amang juga dipersalahkan karena tukar guling semacam itu mestinya melalui tender.
Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael, Direktur Utama PT Goro, sudah diadili. Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung, akhirnya putra bungsu Soeharto itu divonis hukuman 18 bulan penjara. Putusan inilah yang kemudian mendorong Tommy melarikan diri dan belakangan terlibat dalam kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin.
Kini apakah Beddu menerima putusan tersebut? Pengacaranya, Djoko Prabowo Saebani, menyatakan akan mengajukan peninjauan kembali. "Bukti-bukti barunya masih di- siapkan," ujarnya. Ia juga menuturkan bahwa kliennya saat ini dalam keadaan sakit. Hal ini dikuatkan dengan selembar surat keterangan sakit dari dokter. Djoko tak menjelaskan apa penyakit yang di- sandang kliennya. Hanya, sopir pribadi Beddu mengatakan kepada TEMPO, selama ini majikannya mengidap penyakit gula.
Tapi bukan sakitnya Beddu yang membuat putusan kasasi tersebut tidak bisa segera dieksekusi. Sampai akhir pekan lalu, Kejaksaan Negeri Jakarta belum menerima salinan putusan itu. Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Kemas Yahya Rahman, selama salinan putusan itu belum diterima, eksekusi tidak bisa dilakukan. "Itu syarat yang ditentukan hukum acara," katanya.
Diakui oleh Yahya, keadaan sakit tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak eksekusi. Hal ini telah diatur dalam pe- tunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Jika terhukum atau tahanan sakit, ia bisa dirawat di rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan. Jadi, "Meski (terhukum) sakit, kami akan tetap mengeksekusi," ujarnya.
Yang jadi soal, bagaimana jika ter- hukum diam-diam melarikan diri ke luar negeri? Apalagi sekarang Beddu Amang menghadapi pukulan ganda. Selain menghadapi vonis kasasi, ia menjadi tersangka korupsi kasus pengadaan pakan ternak (lihat Terpeleset Bungkil Kedelai).
Dikhawatirkan terhukum akan mengikuti jejak Samadikun Hartono. Ketika diputus 4 tahun penjara oleh Mahkamah Agung, terdakwa kasus penyalahgunaan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia ini diduga telah kabur ke luar negeri. Sebelumnya, bekas Komisaris Utama PT Bank Modern ini mendapat izin dari kejaksaan untuk berobat ke luar negeri dengan alasan sakit. Setelah putusan kasasi keluar, saat itu kejaksaan juga tidak segera mengeksekusi dengan alasan belum menerima salinan putusan. Namun, ke- tika eksekusi dilakukan, Samadikun tidak berada di rumahnya dan sampai sekarang tidak jelas kabur ke mana.
Kasus Beddu juga rawan. Kendati dia berstatus dicegah pergi ke luar negeri (berlaku sampai 24 Februari mendatang), paspornya masih belum diserahkan ke Imigrasi. Jadi, sewaktu-sewaktu, bila aparat keimigrasian lengah, Beddu bisa melenggang ke negara lain.
Hampir habisnya masa pencekalan juga membuka celah untuk kabur. Itu sebabnya juru bicara Direktorat Jenderal Imigrasi, Ade Endang Dachlan, meminta agar pihak Kejaksaan Agung segera memutuskan apakah pencekalan Beddu diperpanjang. "Ini untuk menghindari agar dia tidak melarikan diri," ujarnya.
Buat menepis sejumlah kecurigaan tersebut, Djoko Prabowo telah berjanji bahwa kliennya akan menaati putusan MA.
Hanya, harap diingat, janji semacam ini dulu juga pernah dilontarkan oleh pengacara Samadikun.
Endri Kurniawati, Juli Hantoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo