Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KARTUN yang sarat sindiran itu terlihat mencolok: tiga orang sedang menghadap bendera setengah tiang. Dipasang pada papan tulis di sebuah ruangan Komisi Hukum Nasional (KHN), gambar itu melukiskan keadaan yang terjadi pada lembaga ini. Apalagi, di sana juga terdapat tulisan "Good bye KHN" dan "KHN out of order".
Kesenyapan pun membekap kantor yang berada di Jalan Diponegoro 64, Jakarta, itu pekan lalu. Hanya satu-dua karyawan yang datang. Tidak terdengar lagi suara orang mengetik di atas papan komputer atau orang sedang berdiskusi. Yang ada cuma kursi-kursi kosong. Jam dinding berlatar tulisan KHN, yang biasanya digantung di ruangan, kini pun telah ditumpuk di antara dokumen yang berserakan di samping lemari.
Gara-gara kehabisan dana, KHN terancam bubar. Akhir Desember lalu, pimpinan lembaga ini telah mengumpulkan sekitar 30 karyawannya. Intinya, pimpinan Komisi meminta keikhlasan se- bagian besar karyawannya untuk mengundurkan diri per Januari ini. Lembaga ini sudah tak punya cukup biaya untuk menggaji mereka. Soalnya, anggaran untuk tahun 2004 yang diajukan ke pemerintah, sebesar Rp 5,1 miliar, sampai detik itu tak ada tanda-tanda akan mengucur. Hanya beberapa karyawan, menurut sumber TEMPO, yang diper- tahankan untuk menyelesaikan kegiatan administrasi.
Tanda-tanda "bangkrut"-nya komisi tersebut sudah tercium lama. Suara keras sempat dilontarkan Frans Hendra Winarta, salah seorang anggota KHN, per- tengahan Desember silam. Ia meminta agar pemerintah bersikap tegas. "Kami minta dilikuidasi. Bukan maksudnya kami menyerah. Toh, kami bergantung pada keputusan presiden karena kami diangkat lewat keppres," ujarnya saat itu kepada Koran Tempo.
Dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 15 Tahun 2000 di era pemerintahan Abdurrahman Wahid, lembaga ini tampak merana di zaman Megawati. Menurut Frans Hendra, Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra sendiri menganggap fungsi Komisi bertubrukan dengan tugas Badan Pembinaan Hukum Nasional yang bernaung di bawah Departemen Kehakiman. Selain itu, saran-saran yang direkomendasi oleh KHN tidak pernah didengar oleh presiden. "Kami pernah proaktif memberi masukan, tapi tak pernah ada reaksi," kata Frans Hendra ketika itu.
Pernyataan Frans tersebut segera menyulut kontroversi yang akhirnya membuat kalangan KHN sendiri tak enak hati. Dua hari kemudian, Sekretaris KHN, Mardjono Reksodiputro, buru-buru melayangkan surat kepada Menteri Sekretaris Negara Bambang Kesowo untuk meluruskan berita tersebut. Intinya, surat itu menjelaskan tentang seputar isu "likuidasi" KHN dan hubungan dengan Presiden Megawati. Selama ini lembaga tersebut mendapat kucuran dana dari pemerintah lewat Sekretariat Negara.
Dalam surat tersebut diakui adanya pembicaraan kemungkinan KHN "tutup kantor" di kalangan pimpinan lembaga ini. Hanya, tidak ada niat melikuidasinya. Toh, dalam suratnya, Mardjono meminta agar lembaga itu (kinerja) dinilai oleh presiden. Bahkan, para anggota KHN (jika perlu) bersedia mengundurkan diri untuk diganti orang lain.
Memang baru kali ini kucuran dana dari pemerintah macet. Sebelumnya, aliran dana buat KHN lancar. Pada tahun 2000 lembaga ini mendapat dana Rp 356 juta, tahun 2001 memperoleh Rp 796,7 juta, dan pada 2002 Rp 598 juta. Terakhir, pada 2003 lalu KHN memperoleh dana Rp 1,5 miliar dari pemerintah. Dana ini amat minim dibanding anggaran yang didapat KHN dari bantuan asing. Se- bagai contoh, untuk tahun 2002 bantuan dari United Nations Development Programme (UNDP) mencapai dua kali lipatnya, yakni Rp 3,7 miliar. Tapi, yang terjadi tahun ini, dana bantuan asing (UNDP dan Asian Foundation) juga tidak mengucur buat KHN sehingga lembaga ini kelimpungan.
Selama ini Ketua KHN, J.E. Sahetapy, tampak sering berbeda pendapat dengan Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra, terutama soal keberadaan lembaga tersebut. Menurut Sahetapy, fungsi KHN berbeda dengan BPHN karena lembaga yang dipimpinnya bertugas membantu (langsung) presiden. "Setelah kami beri penjelasan, banyak yang mau mengerti, kecuali Yusril," ucapnya.
Apakah gara-gara pertentangan ini dana dari pemerintah tak juga turun? Sahetapy mengaku tidak tahu-menahu. Sementara itu, Yusril Ihza Mahendra tidak mau berkomentar. "Jangan mengadu-adu saya," ujarnya.
Yang menarik, Bambang Kesowo sempat menyangkal bahwa penyaluran dana tersebut berasal dari Sekretariat Negara. "Penyalurannya mungkin lewat Departemen Kehakiman dan HAM," ujar Kesowo, yang ditemui Deddy Sinaga dari Tempo News Room akhir tahun lalu.
Hanya, setelah pihak KHN melayangkan surat klarifikasi ke Sekretariat Negara, angin segar mulai berembus. Menurut Mardjono Reksodiputro, anggaran sekarang sudah ada loncatan besar. Pihak Sekretariat Negara mengakui adanya keterlambatan mengurus hal itu karena adanya puasa, Lebaran, dan ke- sibukan lain. KHN sendiri juga mengakui kelambanannya mengajukan proposal anggaran. Kini, anggaran buat KHN tengah dibicarakan dengan Dirjen Anggaran. "Permintaan anggaran kami sebesar Rp 5 miliar, insya Allah, bisa turun," ujarnya.
Andaikata dana tersebut benar-benar turun, bukan berarti persoalan yang dihadapi anggota lembaga tersebut selesai. Mereka tetap harus berupaya keras agar presiden memperhatikan rekomendasi mereka.
Juli Hantoro, Sunariah (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo