MOBIL buatan Indonesia, yang sepenuhnya menggunakan komponen bikinan dalam negeri, belum tentu bisa menggelinding tahun 1986. Seharusnya di awal tahun depan itu, kendaraan kategori I (Daihatsu Hi-Jet dan Suzuki Carry) dan kategori V (Toyota Kijang) sudah memakai sekrup sampai transmisi buatan pabrik lokal - sekalipun hanya merupakan hasil rakitan. Tapi makin menciutnya penjualan, di tengah masih ramainya jumlah merk mobil di sini, mengakibatkan sasaran itu mungkin tak tercapai. Kenyataan itu rupanya menggoda Menteri Negara Riset dan Teknologi Prof. B.J. Habibie, pekan lalu, memberikan komentar sesudah membuka Konperensi ketiga Ahli Otomotif se-Pasifik diJakarta. Supaya bisa berkembang baik, katanya, industri mobil perlu dibatasi dua sampai tiga perusahaan saja. Karena itu, 21 agen tunggal, yang kini memegang 28 merk mobil pelbagai jenis, dianjurkannya bergabung. Pengembangan industri mobil hingga kini dilihatnya hanya menitikberatkan aspek bisnisnya, bukan teknologinya, karena yang menangani kebanyakan hanya para pengusaha. Sebagai pengusaha yang tidak ingin rugi, para agen tunggal itu memang selalu memperhitungkan efisiensi dan skala ekonomi, bila akan mendirikan pabrik komponen untuk memenuhi jadwal full manufacturing. Perakitan komponen gandar belakang (rearaxle) dan sumbu putar (propeller shaft) untuk kendaraan kategori I dan V, misalnya, didirikan secara patungan antara Toyota, Mitsubishi, Suzuki, dan Daihatsu. Tempatnya juga masih nebeng. Apa boleh buat, cara itu terpaksa mereka tempuh, karena penjualan mobil melorot tiga tahun terakhir. Pada tahun 1981 penjualan seluruh mobil bisa mencapai 207 ribu unit lebih, tapipada 1982, 1983, dan 1984, merosot jadi 188 ribu, lalu 151 ribu, dan akhirnya naik sedikit jadi 152 ribu. Tahun ini, menurut dugaan Soebronto Laras, Ketua Gabungan Agen Tunggal dan Asembler Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaakindo), jumlahnya berada di bawah 150 ribu. Padahal, di tahun 1976 pemerintah memperkirakan, kebutuhan mobil tiap tahun akan tumbuh antara 15% dan 20%, hingga 1985 ini volumenya mencapai 350 ribu. Kenyataannya, sesudah harga dan penerimaan paiak migas mulai goyah, penjualan kendaraan bermotor itu cenderung menciut. Kendaraan komersial jenis truk (kategori II dengan berat 2 ton-2,5 ton, dan kategori III antara 3,5 ton dan 5 ton), penjualannya turun paling tajam. Tahun ini, menurut dugaan Soebronto, penjualan seluruh truk itu tidak akan melebihi 6.000 unit. Padahal, ketika penjualan mobil mencapai masa puncak ditahun 1981, penjualan truk itu sampai 50.500 unit. Suramnya penjualan truk itu rupanya berakibat cukup buruk bagi truk Toyota D.A. Sebelumnya produksi truk jenis ini masih bisa 60 unit per bulan, lalu susut jadi 5 unit, tapi produksinya tahun lalu terpaksa di hentikan sama sekali. Untuk jenis truk ini pihak Toyota Astra Motor masih mempunyai persediaan 160 unit yang akan dihabiskannya secara berangsur. "Program lokalisasi komponen itu tidak bisa dipaksakan,"kata Soemitro Soerachmad, Direktur Toyota Astra. "Kalau dipaksakan, malah akan menaikkan harga." Dan kenaikan itu memang sudah terjadi. Truk Hino misalnya, tahun ini, harganya terpaksa naik jadi Rp 19,5 juta sampai Rp 23 juta sesudah National Motor mengusahakan perakitan mesinnya di sini. Padahal, ketika mesinnya masih diimpor secara utuh, harga truk itu masih Rp 14,5 juta sampai Rp 16 juta. Tambahan biaya terpaksa dikeluarkan agen tunggal itu karena mereka harus membayar buruh dan menambah investasi untuk mendirikan unit perakitan mesin. "Nah, bagaimana kalau transmisi (seharusnya dirakit mulai 1986), dan gandar (mulai Januari 1985) juga dirakit di sini?" tanya Soebronto. Tapi, di pihak lain, mereka tak ingin kehilangan kesempatan. Betapapun mahal harga usaha lokalisasi itu, tahun depan Suzuki Carry sudah akan menggunakan transmisi, sistem kemudi, dan sistem kopling rakitan lokal - menyusul pemakaian mesin. Langkah serupa juga akan dilakukan agen tunggal Mitsubishi di sini. "Jadwal pemakaian komponen lokal sesuai dengan anjuran pemerintah tetap kami laksanakan," ujar Herman Latif Direktur Krama Yudha Tiga Berlian. Selain menghadapi rendahnya skala produksi, para agen tunggal juga harus berhadapan dengan masih belum baiknya industri pendukung, yang mengerjakan pembuatan sejumlah komponen di luar pabrik (subkontraktor). Pada akhirnya, memang, usaha ini belakangan lebih banyak dimasuki pemegang merk (principal) yang berpatungan dengan perusahaan lokal. Tahap paling kritis dari usaha menghasilkan mobil dengan komponen lokal adalah usaha mendirikan pabrik pengecoran mesin dan industri kempa. Salah urus, bukan mustahil, kantung bisa bolong dibuatnya. Pemerintah Malaysia, karena dikejar ambisi menjadi negara industri baru, terpaksa membayar mahal untuk mendirikan pabrik mobil Proton yang berpatungan dengan Mitsubishi. Sedan Proton Saga, yang dijual sekitar Mœ 20 ribu (Rp 9 juta) itu, konon, biaya produksmya sangat tinggi. Supaya terjangkau dan bisa bersaing, mobil ini dijual dengan subsidi hampir MX 16 ribu atau Rp 7 juta lebih. "Volume komponen lokal yang dipakai sekitar 40% saja," kata seorang pengusaha mobil di Jakarta. Bagi pemegang merk sendiri, soal lokalisasi itu harus dilakukan ekstra hati-hati, dan karena itu investasi mereka tidak besar. Honda Motor misalnya, baru bisa beruntung di Belgia, sesudah bersusah payah melakukan program lokalisasi 20 tahun lamanya. Di Amerika, Honda baru memutuskan mendirikan pabrik mesinnya di Ohio, sesudah produksinya mencapai 125 ribu setahun. Tapi di Indonesia, Honda terpaksa masuk mendirikan pabrik mesin, supaya merknya tidak dicoret. "Di Indonesia kami hati-hati dalam memasarkan mobil," kata seorang pejabat Honda di Tokyo. Eddy Herwanto Laporan Budi Kusumah & Rudy Novrianto (Jakarta) dan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini