Sebuah yayasan pendidikan di Jakarta bersitegang urat leher dengan kontraktor. JOHN Hamenda, yang membangun kampus Universitas Wiraswasta Indonesia (UWI) di Jalan Achmad Yani, Jakarta Timur, sedang mengantungi perkara. Ia menggugat Yayasan Pendidikan Wiraswasta Indonesia (YPWI), Kamis pekan lalu. Direktur PT Adi Sari Agung Abadi itu menyatakan, sebagai kontraktor, ia belum menerima sepeser pun dari YPWI. Ini menarik. Sebab bangunan biang ribut itu kini sudah lenyap. Areal 1,5 hektare yang strategis di pinggir bay pass itu justru sudah bersalin nama. Selingkarnya dipagari seng bercat biru, dan dibubuhi tulisan "Universitas Jayabaya". John Hamenda menuding YPWI melakukan tindak pidana penipuan. Pengusaha muda itu menuntut agar yayasan yang diketuai Halim Susanto itu mengembalikan biaya pembangunan gedung, plus bunga dan biaya material. Total Rp 2 milyar. Ceritanya, PT Adi Sari Agung Abadi melaksanakan pembangunan kampus UWI di lokasi tersebut, 1986. Hingga bangunan berdiri, menurut John, pembayaran masih macet meski ia rajin menagih. Halim merasa terdesak, kata John, "Lalu menawari saya duduk sebagai wakil ketua yayasan." Dengan perhitungan menyelamatkan uangnya, John bersedia. "Tapi saya keluar, 1989, karena tak ada kecocokan lagi," kata lelaki berpenampilan dandy itu. Namun, soal utang tadi belum tuntas, Halim malah menjual tanah itu kepada Yayasan Jayabaya. Semula Yayasan Jayabaya, menurut ketuanya, Dr. Muslim Taher, ditawari Halim tanah beserta bangunannya. Pihak Jayabaya hanya mau tanahnya. Karena permintaan itu, Halim membongkar bangunan kampus di areal tersebut. "Jadi, yang saya beli bukan kampus, tapi tanah kosong seharga Rp 7,5 milyar," kata Muslim. Menanggapi gugatan John Hamenda, Halim tenang saja. Lelaki tinggi besar dan mengaku lulusan Akademi Pelaut Indonesia itu menyebut tuntutan John tidak wajar. Bentuk bangunannya ketika itu, katanya, hanya berupa bedeng. Dindingnya tripleks, lantai plester semen, dan beratap seng gelombang. "Paling tinggi seluruh bangunan itu nilainya Rp 60 juta," katanya. Halim menduga John didesak kongsinya soal duit yang dipakainya. "Saya kaget ketika dia menagih Rp 557 juta sebagai biaya membangun bedeng plus bunganya. Padahal untuk membangun kampus itu dia hanya bermodal kolor," katanya. Pangkal keributan, menurut Halim, sebelum membangun kampus itu, John telah meminjam uang ke Bank Tani. Jaminannya, sertifikat tanah milik Zakaria, kawan baik Halim. Dalam daftar penjamin pinjaman itu, Halim ikut meneken. Utang John di Bank Tani, kata Halim, mencapai Rp 150 juta. John tak mampu menarik kembali sertifikat dari bank, hingga rumah Zakaria kini hampir disita. "Saya tawarkan kompromi untuk menebus sertifikat di Bank Tani dan mengembalikan ke Zakaria. Setelah itu, baru saya bayar utang bangunan itu Rp 134 juta. Tapi John menolak," katanya. Halim merasa sudah membayar uang bangunan itu sebesar Rp 50 juta. Ini dibantah John. Karena, katanya, "Uang itu sebagian komisi mengurus penjualan tanah milik Halim di Jalan Pemuda, Jakarta." "Kalau pembayaran sebagai komisi, ya, kebesaran dong," ujar Halim, dan menyatakan siap berunding dengan John, asalkan uang pembayaran yang pernah diberinya dihitung, sertifikat Zakaria ditebus, dan uang bangunan dinilai Rp 126 juta. "Kalau tidak, saya siap menghadapinya di pengadilan," katanya. Ternyata, John juga siap perang di persidangan. "Pokoknya, akan saya bongkar kejelekannya," ia berseru. Gatot Triyanto dan Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini