Janji komisi dua juta dolar AS akhirnya menjadi urusan pengadilan. DOLAR berjuta lumayan menggoda. Apalagi bisa diraih dalam tempo singkat pula. Hingga Erry Prayudi Soenaryo, 30 tahun, pun terperosok. Direktur PT Dina Frimindo Indah yang Master of Business Administration ini diajak kongsi berniaga 50 metrik ton platina senilai 900 juta dolar AS, tahun silam. Ia tergiur komisi dua juta dolar AS, dan ringan saja menurunkan modalnya Rp 240 juta. Cerita berawal dari kantor kakak iparnya, Indra Sumardjono, Mei 1990. Seperti tertulis dalam Berita Acara Pidana, Indra ditelepon koleganya, Sukma Natadiningrat, yang menawarkan proyek penjualan platina. Jika berminat, katanya, silakan datang ke rumah Budiono -purnawirawan ABRI -tetangga Sukma di Jalan Kwitang, Jakarta Pusat. Bersama Budiono, mereka menemui Basya Sihombing, pialang dari Bank Swiss yang menangani proyek tersebut, di Jalan Cendana. Sihombing menyebutkan, penyandang dana kelak boleh ikut ke Swiss. Syaratnya: tidak ikut aktif dalam penjualan. "Penjualan itu dilakukan pejabat Departemen Keuangan dan Bakin," kata Sihombing. Erry juga dilarang membocorkan rahasia ini. Sihombing lalu memperlihatkan fotokopi dokumennya. Di situ, tercantum penjualan platina milik pemerintah zaman Orla ini antara Sunarto Soedono, 41 tahun, selaku "wakil pemerintah" dan Bank Swiss. Sunarto yang insinyur itu, waktu berkenalan dengan Erry, mengaku intel dan bekerja di Yayasan Harapan Kita. Serangkaian pembicaraan lalu berlangsung sambil makan siang di Hotel Borobudur, dan di sebuah kamar di Hotel Hilton. "Jangan takut, uang kamu tidak akan hilang," kata Sunarto, seperti diulangi Erry di depan polisi. Ia lebih tergoda setelah Sunarto memperlihatkan fotokopi sertifikat tanah 9.000 m2 di Pulogadung, yang dapat dijadikan agunan pada penyandang dana. "Dana operasi harus cepat disetor. Kalau tidak batal," Sunarto memburu. Erry mulai menyetor Rp 10 juta ke City Bank atas nama Sunarto. Setoran Erry bertahap sesuai dengan kebutuhan. Dan Agustus, ketika dicek ke Singapura, Sunarto memang tengah mengurus penjualan di sana. "Transaksi nanti akhir Agustus di Swiss," kata Sunarto di Hotel Hilton, Singapura. Ia mengajak mereka bertiga menandatangani Memorandum of Understanding di depan notaris Chia Choo Yang. Sunarto membawa Redzwan bin Abdullah, yang disebutnya penjual platina, sebagai saksi. Akhir Agustus, Erry telah menyetor Rp 240 juta, tapi transaksi tak kunjung ada. Bahkan, ketika disusul ke Singapura, Sunarto raib. "Jangankan menemui saya, kontak pun tidak," Erry menggerutu. Sunarto kemudian bertemu di Jakarta. Yang didapat Erry cuma sepotong janji, "Tunggu bulan depan." Tapi justru di bulan janji itu, Erry beroleh info tentang Sunarto bikin transaksi di Singapura dan Hong Kong. Disusul ke sana, eh, nol besar. Atas tuduhan penipuan, Sunarto ditangkap polisi di Bandara Soekarno-Hatta ketika akan berangkat ke Singapura, akhir April lalu. Ia membantah mengaku intel dan pegawai Yayasan Harapan Kita. "Saya memperkenalkan diri selaku orang yang diserahi memperdagangkan precious metal oleh penjualnya," katanya. Ia berkelit urusan pengembalian uang Erry. Dalam pengakuannya pada polisi, menurut Sunarto, ia cuma bilang, sebulan setelah platina terjual akan membayar komisi 0,0625%. "Jadi, tak betul kalau saya mesti mengembalikan uang Rp 240 juta. Itu saya tegaskan sejak pertemuan pertama," katanya. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang diketuai Monang Siringoringo, memvonis Sunarto 14 bulan penjara, Kamis dua pekan lalu. Baik terhukum maupun Jaksa M. Daud, yang menuntut 18 bulan penjara, menyatakan naik banding. Namun, ikhwal ada tidaknya si platina, ya, masih tanda tanya juga hingga kini. Sri Pudyastuti R. dan Reza Rohadian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini