Sepuluh pengusaha yang diduga mencuri listrik diperiksa Kejaksaan Agung. ORANG boleh takut mendengar kursi listrik, tapi doyan makan listrik. Dan yang lebih lahap memangsanya ternyata industri besar. "Lima puluh persen lebih kasus pencurian listrik dilakukan oleh industri," ujar Artono Arismunandar, Dirjen Listrik dan Energi Baru Departemen Pertambangan dan Energi. Setrum hilang akibat pencurian, menurut Artono, ditaksir sekitar 5 persen. Jangan dikira itu jumlahnya kecil, sebab nilai rupiahnya meliputi Rp 175 milyar tiap tahun. Sedangkan yang dilakukan industri saja diduga 3 persen. Berarti negara kecolongan Rp 105 milyar. "Nilai itu bisa melistriki 3.000 desa," katanya kepada TEMPO, pertengahan Oktober lalu. Pencurian itu dilakukan melalui sekitar 20 cara. Misalnya, ada yang memanipulasi pembayaran pemakaian tenaga listrik atau menyedot beban. Akal-akalan mengurangi bea bisa berlangsung tanpa merusak segel, seperti memasukkan cairan atau benda padat ke dalam KWH meter. Atau menyelipkan film, hingga piringan macet, atau dengan sinar laser, supaya piringan membengkak. Pokoknya, jalan meteran menjadi lebih lambat. Cara lain, menurut Artono, langsung mencantol kabel di tiang distribusi. Tanpa melewati meteran, kabel langsung dihubungkan dengan mesin pabrik. Bahkan ada pencurian yang dilakukan dengan memalsu kunci gardu listrik. Suatu penelitian di Medan menunjukkan, dari 117 konsumen rumah tangga, 69% melakukan pencurian. Di sektor industri persentasinya lebih kecil. Tapi jumlah Wattnya jauh melebihi total pencurian di rumah tangga. Misalnya, PLN (Perusahaan Listrik Negara) menangkap basah PT Medan Plaza Centre, Mei 1986. Kecurigaan terhadap pusat perbelanjaan mewah ini sudah berlangsung empat bulan. Waktu itu PLN melihat bahwa tagihan yang biasanya Rp 40-50 juta sebulan tiba-tiba turun drastis. Maka, Tim OPAL (Operasi Penertiban Arus Listrik) dari PLN pun diterjunkan. Mulanya memang tak ditemukan kejanggalan. Tapi berulang kali diperiksa ketemu juga lubang pencurian itu. Permainan rupanya dilakukan di gardu PLN di lingkungan Medan Plaza. Oknum pegawainya memasuki gardu lewat lubang ventilasi yang berjeruji besi itu. Kemudian mereka menggarap KWH meter, hingga berputar separuh lebih lambat. Selain di Medan, pencurian listrik juga terjadi di Jawa Timur. Di sini pernah dilancarkan operasi Pijar, 1985. Hasilnya, ketika itu ditemukan lebih dari 50 perusahaan mencuri listrik. (TEMPO, 8 April 1989). Tentu saja ulah para pencuri itu membuat aparat penegak hukum tak mungkin berdiam diri. Pencantolan setrum secara liar itu, selain membahayakan pencurinya sendiri, juga menurunkan jatah distribusi. Apalagi saat kemarau panjang seperti belakangan ini, tentu membuat PLN repot mengatur penjatahan setrum. Untuk mengamankan setrum supaya tidak menguap di tengah jalan, kini Departemen Pertambangan dan Energi menyiapkan 20 aparatnya menjadi petugas penyidik pegawai negeri sipil khusus menangani listrik. Di lapangan, petugas itu akan bekerja sama dengan pihak kepolisian. Mungkin tim penyidik itu masih belum dirasa cukup bergigi, kemudian sebuah tim khusus dari Kejaksaan Agung juga dibentuk. Tim ini dikoordinasikan oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus dan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen, dan kini tengah mengadakan penyelidikan mendalam terhadap kasus-kasus pencurian listrik, terutama oleh industri besar. Hingga Sabtu lalu, sudah 10 pemilik pabrik yang diperiksa Kejaksaan Agung. Beberapa yang ketahuan menyedot setrum itu sebagian besar adalah perusahaan seperti industri tekstil, sepatu, es, dan plastik. Nama-nama pabrik yang diperiksa itu hingga kini masih dirahasiakan. Perusahaan tersebut berlokasi di sekitar Jakarta dan Tangerang. Teknik pencurian yang dilakukan para pengusaha itu, menurut sumber TEMPO di Kejaksaan Agung, paling besar dengan cara mengutak-atik meteran. "Segel dibuka, kemudian meteran diperlambat atau ada yang putarannya dibalik," kata sumber itu. Barang bukti yang sudah dibawa ke Kejaksaan Agung, katanya, berupa beberapa meteran listrik yang sudah dirusak. Para pengusaha yang melakukan pencurian itu, katanya, tidak ditahan. Namun, mereka diancam dengan tuduhan korupsi. Pabrik mereka juga boleh berjalan seperti biasa. Tentu saja dengan meteran listrik yang sudah diperbaiki. Sekarang, kesulitan yang ditemui pihak PLN adalah menentukan berapa besar negara dirugikan akibat ulah segelintir pengusaha itu. Kalau sekarang teropong penegak hukum diarahkan terhadap industri, tentu nanti sedikit demi sedikit bakal diperluas lagi, misalnya ke arah perhotelan. Di balik menguapnya setrum itu, PLN agaknya perlu lebih jeli melirik aparatnya sendiri. Sebab, selama ini sudah menjadi rahasia umum bahwa pencurian listrik yang dilakukan konsumen rumah tangga serta industri dimungkinkan berkat adanya main mata dengan oknum petugas PLN sendiri. Apalagi dengan banyaknya peminat jasa pencurian setrum dari kalangan industri, menurut Djiteng Marsudi, Kepala PLN Distribusi Jakarta dan Tangerang yang pernah mengatakannya kepada TEMPO, ternyata diimbangi pula dengan semakin tumbuhnya jasa konsultan pencurian listrik. Bahkan konsultan itu berasal dari oknum petugas PLN sendiri. Gatot Triyanto, Iwan Qodar H, dan Bambang Sudjatmoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini