Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terpaut jarak separuh lingkar bumi, apa yang terjadi di Karakas, 7 Oktober nanti, akan berpengaruh pada keputusan yang diambil di Jakarta. Pilihan rakyat Venezuela dalam pemilihan presiden untuk periode sampai 2019 itu akan jadi pertimbangan penting bagi para petinggi PT Pertamina (Persero).
Jika Hugo Chavez kembali terpilih, Pertamina harus memikirkan ulang rencananya membeli 32 persen saham Petrodelta SA. "Ya, kita tahu bagaimana gaya kepemimpinan Chavez selama ini," kata Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina Afdal Bahaudin, Selasa pekan lalu. "Untuk sementara, kami hanya bisa menunggu."
Presiden beraliran kiri yang sudah berkuasa 14 tahun ini dianggap memperbesar risiko politik yang mungkin terjadi pada investasi asing di negeri itu. Tak seperti rival utamanya, Henrique Capriles, yang dijuluki "calon dari kaum borjuis" dan probisnis, Chavez tak segan mengusir dan menasionalisasi perusahaan asing yang sudah puluhan tahun beroperasi di negaranya.
Belasan perusahaan minyak, pertambangan, pembangkit listrik, dan telekomunikasi milik asing telah merasakan kebijakan keras Chavez itu pada 2007. Kebanyakan di antaranya milik Amerika Serikat, seperti ExxonMobil, ConocoPhillips, Gold Reserve Inc, CMS Energy, dan Verizon. Sebagian besar dari mereka menggugat lewat International Chamber of Commerce, tapi tak ada yang bisa mengembalikan bisnis mereka di sana seperti semula.
Pertengahan Juni lalu, Pertamina mengumumkan rencananya membeli saham Petrodelta, yang dikantongi Harvest Natural Resources Inc. Ketika itu, mereka mengatakan transaksi dengan perusahaan minyak yang tercatat di bursa saham New York tersebut diperkirakan bakal menambah cadangan dan menjamin pasokan minyak mentah Pertamina.
Petrodelta merupakan salah satu anak perusahaan milik pemerintah Venezuela, Petroleos de Venezuela SA. Mereka memegang hak konsesi hingga 2027 di lapangan Uracoa, Bombal, Tucupita, El Salto, El Inseno, dan Temblador.
Total konsesi itu kurang-lebih 1.000 kilometer persegi, dan diperkirakan berisi cadangan 486 juta barel ekuivalen minyak bumi (mmboe). "Bandingkan dengan Blok Cepu, yang hanya 250 juta mmboe," kata Mochamad Harun, Juni lalu, saat masih menjabat Wakil Direktur Komunikasi Korporat Pertamina.
Nilai 32 persen saham Petrodelta itu diperkirakan mencapai US$ 725 juta atau setara dengan Rp 6,5 triliun. "Tapi kami baru menandatangani kesepakatan jual-beli saja. Transaksi penutupnya masih harus melihat beberapa syarat dan kondisi yang kami ajukan," Afdal menjelaskan. "Salah satunya soal pemilu itu. Jadi, sejauh ini kami baru setor tanda keseriusan ke rekening penampung, sekitar US$ 5 juta. Kalau tak jadi, bisa ditarik lagi."
Pengamat perminyakan Kurtubi mengatakan langkah mengakuisisi perusahaan minyak yang sudah berproduksi merupakan tindakan penting dan strategis. "Kita memang terpaksa mencari jaminan pasokan ke luar negeri karena di dalam negeri sudah telanjur salah kelola. Produksi minyak kita turun terus dari waktu ke waktu," katanya.
Sampai pertengahan tahun ini, lifting atau produksi minyak nasional tercatat hanya 867.553 barel per hari. Angka itu jauh di bawah target lifting dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2012, yang dipatok sebesar 930 ribu barel per hari.
Tapi, mengingat besarnya risiko yang bakal dihadapi, transaksi itu harus dipayungi dengan kesepakatan kerja sama pemerintah kedua negara. "Yang penting dipastikan dulu apakah kita bisa dapat minyaknya. Harus dihitung dengan jeli. Kalau tidak, kita akan buang-buang uang," Kurtubi menambahkan.
Soal kepastian perolehan minyak itu pula yang dipertanyakan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi (ReforMiner Institute) Pri Agung Rakhmanto. Sistem investasi yang berlaku di Venezuela, menurut dia, tak mengenal model bagi hasil minyak. Semua kontraktor diperlakukan sebagai penyedia jasa, yang dibayar berdasarkan fee atau imbalan tertentu sesuai dengan kontrak.
Pri Agung mengatakan, dengan sistem itu, bisa dipastikan Pertamina tak akan dapat membawa pulang minyak dari negeri di Amerika Selatan tersebut. Jika perusahaan untung, paling banter mereka akan kebagian dividen. "Jika demikian, apa bisa Pertamina mengklaim bahwa akuisisi itu menambah cadangan minyak kita?" ujarnya.
Dukungan penuh pemerintah, yang diperlukan, agaknya masih jauh dari harapan. "Pertamina baru lapor secara lisan. Namun yang Venezuela malah saya belum tahu dan belum saya proses," kata Deputi Menteri Bidang Usaha Strategis dan Manufaktur Kementerian Badan Usaha Milik Negara Dwijanti Tjahjaningsih, dua pekan lalu.
Setiap rencana akuisisi dan aksi korporasi di luar negeri oleh Pertamina, Dwijanti menambahkan, harus memperoleh persetujuan pemegang saham. "Pertamina mau kaji dulu karena negara yang akan dituju masih berubah-ubah. Yang saya tahu, dalam waktu dekat ini adalah Irak, yang lain belum tahu," ujarnya. "Jadi belum ada persetujuan."
Langkah Pertamina membeli saham Petrodelta itu, menurut Pri Agung, tak sejalan dengan misi mereka sebagai perusahaan penyedia energi. "Kalau tak dapat minyak, lalu apa bedanya ini dengan investasi biasa di lantai bursa?" katanya. "Kok, kayak kelebihan uang saja mereka."
Pri Agung menjelaskan, akan lebih baik jika Pertamina menggunakan dana itu untuk mengembangkan ladang-ladang minyak di dalam negeri, yang dianggapnya lebih pasti. Apalagi risiko politik di Venezuela terlalu tinggi. "Perusahaan Amerika saja diusir. Memangnya Pertamina lebih istimewa daripada mereka?"
Y. Tomi Aryanto
Saatnya Rig Buatan Sendiri
Kendati aktif berburu minyak ke Kazakstan, Irak, Nigeria, Libya, dan Venezuela, PT Pertamina tak hendak melupakan lahan di negeri sendiri. Melalui anak perusahaannya di bidang jasa pengeboran, PT Pertamina Drilling Services Indonesia (PDSI), mereka akan segera mengoperasikan rig baru buatan dalam negeri di Blok Cepu.
"Pengoperasiannya dimulai 10 Oktober nanti dan akan diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono," kata Linus Setiadi, Wakil Direktur Komersial dan Marketing PDSI, Rabu pekan lalu. "Untuk rig dengan kapasitas 1.500 tenaga kuda, ini adalah yang pertama dibuat di sini."
Linus, yang ditemani Arief Widodo dari bagian komunikasi korporat, menjelaskan beberapa kelebihan rig yang sudah 90 persen selesai dibangun di pabrik Citra Tubindo Engineering di Batam itu. "Yang pasti akan jauh lebih murah. Sebab, biaya mobilisasi dari Batam ke Cepu akan menghemat jutaan dolar Amerika dibanding jika harus mengangkut dari Kanada atau Amerika Serikat," katanya. "Hanya perlu dua pekan, dari biasanya berbulan-bulan."
Kelebihan lain adalah kemampuan perangkat yang disebutnya sebagai walking rig, yang bisa digeser dari sumur ke sumur di satu ladang tanpa harus membongkarnya. Rig ini mengandung 70 persen komponen dalam negeri. "Pembangunnya juga kebanyakan insinyur kita sendiri. Hanya ada beberapa tenaga asing," ujar Arief.
Rig Pertamina itu merupakan bagian dari dua unit rig yang dibangun PDSI bersama KS Energy Limited. Dua rig kembar hasil joint operation ini menelan investasi US$ 30 juta untuk masing-masing rig. Satu unit rig milik PDSI dan satu unit lagi menjadi kepunyaan KS Energy.
Untuk tahap awal, kedua perusahaan mendapat kontrak senilai US$ 98 juta dalam dua tahun dari Exxon untuk pengerjaan pengeboran sebanyak 40 sumur. Nilai kontraknya pun dibagi dua, masing-masing perusahaan memperoleh US$ 45 juta. Jika sukses, rig buatan dalam negeri itu akan menambah koleksi PDSI, yang sekarang sudah mengoperasikan 36 unit.
Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo