Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Tiga Pakar Hukum: Kasus Polisi Memeras Penonton DWP 2024 Harus Dibawa ke Pengadilan

Kasus polisi memeras penonton DWP 2024 tidak boleh berhenti di sidang etik tapi juga dibawa ke pengadilan. Sarat pelanggaran pidana.

12 Januari 2025 | 20.53 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Disjoki (DJ) sekaligus produser musik asal Jerman, Zedd, tampil pada panggung utama Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024 di Jiexpo, Jakarta, 13 Desember 2024. TEMPO/Defara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Fakultas Hukum dari Universitas Indonesia, Febby Mutiara Nelson, mengatakan kasus pemerasan penonton konser Djakarta Warehouse Project atau DWP 2024 oleh anggota polisi semestinya diproses dalam peradilan karena sarat akan tindakan pelanggaran pidana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Tapi seringkali karena pengawasan terhadap ini sepertinya kurang, kadang kala ada yang hanya berhenti di sidang etik saja,” kata Febby saat dihubungi, pada Ahad, 12 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut dia, ada dua penyebab tidak terlaksananya tindak pidana dalam kasus yang menjerat kepolisian termasuk pemerasan ini.

Mandeknya proses pidana bisa dipengaruhi oleh kurangnya pelaporan resmi dari korban dan atau lemahnya dorongan penegakan hukum dari internal kepolisian.

Febby menuturkan, dalam beberapa situasi, penanganan berupa tindakan etik sebagai bentuk pendisiplinan dianggap sebagai cara yang digunakan untuk menjaga nama baik institusi.

Pendekatan ini, kata Febby, rentan akan kritik karena memberikan kesan impunitas atau perlakuan khusus bagi anggota kepolisian yang bertentangan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan di muka hukum.

Di lain pihak, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia atau UII, Mudzakkir, mendorong agar kasus pemerasan itu perlu diadili di pengadilan umum.

Ia juga menyatakan sanksi hukum dari pidana pemerasan dinilai lebih berat daripada pendisiplinan etik. 

Musababnya, tindak pemerasan memiliki unsur pemaksaan. Terlebih pelanggaran pidana itu dilakukan oleh anggota institusi penegak hukum yang semestinya melindungi masyarakat.

“Dalam konteks ini merusak image lembaga kepolisian sebagai pelindung rakyat,” kata Mudzakkir saat dihubungi.

Mudzakkir mengatakan proses sidang etik juga perlu digelar untuk menguak adanya indikasi hingga menyatakan perbuatan melawan hukum pidana.

Sementara itu, pengajar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, meyakini akan ada proses pidana yang berlangsung setelah sidang etik selesai.

“Kita minta perhatian Kapolri untuk ada prosesnya supaya di masyarakat terasa ada keadilan,” ujar Fickar. 

Sebelumnya, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Inspektur Jenderal Abdul Karim, mengatakan pemerasan ini terjadi saat festival musik DWP 2024 yang digelar di Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta Pusat pada 13-15 Desember 2024 lalu. 

Karim menyatakan terdapat 18 anggota Polri yang terdiri atas personel Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat, dan Polsek Kemayoran terbukti melanggar kode etik. Dari hasil penyelidikan, Propam Polri menyita barang bukti berupa uang tebusan sebanyak Rp 2,5 miliar.

Pemerasan ini dilakukan dengan cara tes urine secara acak kepada para penonton DWP 2024. Polisi pada saat itu mengancam akan menahan mereka, apabila tidak membayar uang tebusan. 

Baik yang hasilnya positif mengkonsumsi narkobaataupun tidak. Menurut Abdul Karim, nominal uang tebusan tersebut berbeda-beda. 

"Total ada 45 warga negara Malaysia yang menjadi korban pemerasan dengan nilai barang bukti yang diamankan Rp 2,5 miliar," ucapnya di Gedung Mabes Polri, Selasa, 24 Desember 2024.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus