PIHAK penuntut suatu perkara atau jaksa memang berhak menolak berita acara pemeriksaan yang dibuat penyidik untuk diperbaiki. Tapi yang dialami Keamanan Laut (Kamla) 14, Tanjungbalai, Asahan, Sum-Ut, termasuk luar biasa. Sebuah berita acara perkara penangkapan ikan dengan pukat songko tanpa izin, yang dibuat instansi itu, 10 kali ditolak Kejaksaan Negeri Tanjungbalai. Akibatnya, perkara itu, sejak dua tahun lalu sampai pekan ini, belum bisa diteruskan ke pengadilan dan hanya bolak-balik antara kamla dan kejaksaan. "Sampai-sampai saya pernah bentak-bentakan dengan jaksa, Iho," ujar Komandan Kamla Tanjungbalai, Letda. TNI-AL Soemardjono. Pada Oktober 1986, kapal patroli Kamla 14 menangkap 15 perahu motor penangkap ikan di perairan Tanjungleidong, Labuhan Batu. Berdasarkan pemeriksaan kamla, nelayan-nelayan itu bersalah menggunakan pukat songko alias lanei tanpa izin dari Dinas Perikanan seperti diatur dalam Perda Sum-Ut No. 8/1973. Tak sampai sebulan, Kamla pun melimpahkan berkas ke-15 tekong (nakoda) perahu bermesin itu ke pihak kejaksaan. Ternyata, Kejaksaan Negeri Tanjungbalai memulangkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) perkara itu dengan alasan materi perkara belum lengkap karena tidak dilengkapi surat-surat ke-15 kapal itu. Menurut Soemardjono, pihaknya segera melengkapi syarat yang diminta kejaksaan. Tapi ditolak lagi oleh instansi penuntut itu. Kali ini dengan alasan kamla tak mencantumkan bentuk dan ukuran perahu motor itu. Tapi ketika itu pun dipenuhi, persoalan belum selesai. Kamla rupanya dianggap salah karena hanya menyebutkan ukuran kapal dengan DWT (dead eight tonnage), sementara kejaksaan meminta dengan ukuran gross ton. DWT adalah berat kapal di darat atau bobot matinya, sedang yang terakhir adalah berat bersih di laut. Kamla lagi-lagi mengalah. Toh semua itu tidak membuat perkara berjalan mulus. Terakhir pihak kejaksaan meminta penyidik melengkapi surat bukti lumpuhnya seorang pemilik perahu bermotor itu, seperti disebutkan di BAP. Kembali Soemardjono terpaksa memerintahkan anak buahnya meminta surat lumpuh itu ke Tanjungleidong, sekitar 8 jam pelayaran dari TanJungbalai. "Macam-macam saja yang mereka minta. Bagai mobil, mula-mula mereka tanya ukuran bannya, lalu warna mobil, kemudian tetek-bengek lainnya sampai 10 kali," kata Soemardjono. Ternyata, yang meragukan pihak kejaksaan itu, menurut Soemardjono, adalah status kamla sebagai penyidik. Itu tentu saja karena baik KUHAP maupun peraturan pemerintah tentang itu tidak menyebutkan bahwa di luar polisi masih ada penyidik dari angkatan lainnya. Tapi keraguan itulah yang membuat Soemardjono berang. Sebab, berdasarkan Undang-Undang Perikanan dan Zona Ekonomi Eksklusif, serta Surat Keputusan Pangab, TNI-AL diberi wewenang menyidik untuk kejahatan di lautan. Dalam praktek pun perkara dari kamla sudah berkali-kali maju ke pengadilan. "Lho, saya ini sudah ditunjuk atasan sebagai perwira penyidik," katanya. Soemardjono lebih berang, ketika pihak kejaksaan meminta BAP yang sudah ditandatanganinya harus diteken lagi oleh atasannya di Belawan. Untuk permintaan yang satu ini, Soemardjono bertekad tidak akan melayaninya. "Saya 'kan , yang sah," katanya, geram. Sumber TEMPO di kejaksaan daerah itu membantah pihaknya meragukan keabsahan kamla melakukan penyidikan. Menurut sumber itu, sebenarnya kejaksaan hanya keberatan karena BAP kamla itu ditandatangani seorang petugas berpangkat sersan dua. "Padahal, sesuai dengan undang-undang, yang berwenang menjadi penyidik adalah perwira berpangkat letda.," kata sumber di Kejaksaan Tinggi Sum-Ut itu kepada TEMPO. Kepala Humas Kejaksaan Tinggi Sum-Ut, Sentosa Sinulingga, juga membantah pihak keJaksaan mengada-ada dengan berulang-ulang menolak BAP kamla itu. Masalahnya, kata Sentosa, bila dakwaan disusun berdasarkan materi BAP yang tak lengkap, dikhawatirkan nantinya hakim memvonis terdakwa lepas dari tuntutan (onstlag). "Kalau itu sampai terjadi, kami bisa mendapat eksaminasi (hukuman jabatan) dari atasan," tambah Sentosa. Tapi kasus bolak-baliknya perkara kamla itu agaknya tidak lama lagi akan selesai. Sebab, pihak kejaksaan, kabarnya, pekan lalu telah menghubungi Soemardjono, dengan janji akan menerima perkara tersebut apa adanya. Menariknya, perdamaian antara dua instansi itu terjadi bertepatan dengan diangkatnya Soekarton, seorang perwira tinggi Angkatan Laut, menjadi jaksa agung. B.L. & Irwan E. Siregar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini