PERCERAIAN yang terjadi 20 tahun lalu ternyata bisa dibatalkan. Itulah yang dialami seorang kakek, Muhammad Aini, 56 tahun. Menurut vonis Pengadilan Agama Banjarmasin, baru-baru ini, proses perceraian Aini dengan istrinya Nurjennah alias Enur, 53 tahun, tidak sah. Sebab itu, si kakek, yang kini pensiunan PLN Banjarmasin, diwajibkan membayar nafkah Enur selama 20 tahun. Aini dan Enur sebenarnya masih saudara sepupu. Pada usia yang masih muda, 1951, mereka bertemu di pelaminan. Tapi perkawinan antarkeluarga itu hanya berusia 15 tahun. Pada 1967 mereka bercerai setelah dikaruniai seorang putri, Ratna, yang ketika itu berusia 10 tahun. Enur tetap menjanda sementara Aini menikah lagi dengan wanita lain, Sarkamriah. Setelah 20 tahun berpisah, awal tahun ini, Aini dan Nur yang sudah menjadi kakek dan nenek bertemu lagi. Mereka bukan bernostlagia, tapi malah membuka sengketa ke pengadilan. Nenek Enur, yang kini punya tiga cucu dari putri tunggalnya, tiba-tiba mempersoalkan ulah Aini di masa lalu. Menurut Enur, Aini, 20 tahun lalu itu, telah meninggalkannya tanpa alasan yang sah. Padahal, ia merasa tidak pernah melalaikan kewajibannya sebagai istri. Sebab itu, Enur menganggap perpisahan mereka itu hanya sebagai cara Aini mengawini Sarkamriah. Selama masa berpisah, yang tak jelas statusnya itu, menurut Enur, Aini tidak memenuhi kewajibannya memberikan nafkah. Sebab itu, Enur menuntut ganti rugi berupa nafkah yang seluruhnya berjumlah Rp 11.017.500,00 (Rp 1.500,00 x 7.345 hari). Tapi mengapa baru menuntut sekarang "Itu semata untuk menjaga nama baik Aini sebagai pegawai negeri," kata Enur, yang ketika mudanya konon sangat cantik. Tentu saja gugatan itu membuat kaget Aini, yang sejak akhir tahun lalu menikmati masa pensiun bersama Sarkamriah, tanpa anak. "Waktu itu, saya sudah menceraikannya di bawah tangan dengan tiga saksi wanita," ujar Aini Hanya saja kakek itu menyesal karena tidak mempunyai bukti-bukti dari perceraian tersebut. Hakim Muhammad Hasif, yang mengadili perkara itu, ternyata memang mengabulkan gugatan Enur. "Status mereka masih suami istri," kata Hasif pekan lalu. Karena itu, Aini tetap harus memenuhi kewajiban memberi nafkah, "yang merupakan utang, dan tidak pernah kedaluwarsa," sambung Hasif. Tapi Hasif hanya mengabulkan ganti rugi separo dari tuntutan Enur. Nafkah Rp 750,00 per hari, kata Hasif sesuai dengan standar biaya hidup puluhan tahun lalu, dan juga kemampuan Aini sekarang sebagai pensiunan. Aini ternyata menerima vonis hakim itu. Hanya saja, katanya, ganti rugi itu akan dilunasinya dari penjualan rumahnya, yang selama ini justru menjadi tempat kediaman Enur bersama Ratna, yang ditaksirnya berharga sekitar Rp 11 juta. "Itu sudah lebih dari cukup untuk memenuhi putusan," kata Aini. Kecuali itu, karena hakim menganggap Enur masih istrinya, ia kini berniat menggugat perceraian. "Saya akan menceraikannya," ujar sang kakek. Sebaliknya, Enur masih belum puas atas vonis hakim. Ia menganggap jumlah uang nafkah yang diputuskan hakim terlalu kecil. "Mau makan apa dengan uang Rp 750,00 sehari?" kata pengacara Enur, Djumadi Nursalim. Tentang kemungkinan rumah yang ditempatinya akan dijual Aini untuk membayar ganti rugi itu Enur tenang saja. "Tapi dia 'kan harus membayar kewajiban nafkah, baru bicara soal rumah itu," kata si nenek. "Itu pun setelah perceraian terjadi nanti," tambahnya. Perkara kilas balik semacam itu pernah pula diadili di Pengadilan Negeri Bandung. Nyonya Maria Unawati, 45 tahun, menggugat ganti rugi Rp 62,4 juta kepada "bekas suaminya", Benny Burnawan Widjaja, 46 tahun, setelah mereka berpisah ranjang selama 13 tahun (TEMPO, 26 Desember 1987). Bedanya, dengan kasus Ain, Benny beranggapan selama ini justru Maria yang meninggalkannya. Tapi memang, karena belum resmi cerai, hakim mengabulkan gugatan Maria sebesar Rp 48,9 juta. Bahkan hakim melakukan sita jaminan atas harta Benny. Kini Benny menyatakan banding atas vonis itu. Happy Sulistyadi (Jakarta) dan Aimin Hatta (Banjarmasin)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini