Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Boy siapa punya ?

Boy Mahendra, 5, seorang anak hasil kumpul kebo diperebutkan kedua orang tuanya yang berbeda warga negara. santhi mangelle, 32, kewarganegaraan Indonesia bersengketa dengan Das Dewatas, warga negara Malaysia.

2 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG anak hasil hubungan "kumpul kebo" jelas hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. Tapi dari Ujungpandang, pekan-pekan ini, muncul kasus unik. Dua bocah laki-laki, Boy Mahendra (5 tahun) dan Aswin (3 tahun) diperebutkan ibu bapaknya, yang melakukan "kumpul kebo" di Sabah Malaysia. Repotnya, si ibu, Santhi Mangeile, 32 tahun, berkewarganegaraan Indonesia, sementara "si ayah " Das Dewatas, 41 tahun, berkewarganegaraan Malaysia. Santhi, yang kelahiran Tana Toraja, pada 1980, merantau ke Negeri Jiran Sabah, dan bekerja sebagai pelayan toko. Di situ pula ia bertemu dengan Das, seorang lelaki keturunan India berkewarganegaraan Malaysia. Hubungan pasangan berbeda bangsa dan ras itu belakangan meningkat menjadi hubungan suami-istri tapi tanpa nikah. Hasilnya, dua orang anak lelaki, Boy Mahendra dan Aswin. Pada 1987, Santhi terpaksa kembali ke Toraja, guna menghadiri pemakaman salah seorang saudaranya. Sebulan di Toraja, Das tak kunjung menjemputnya, seperti dijanjikan. Sebab itu, ia berangkat sendiri ke Sabah. Tapi ia kaget, di situ sudah ada seorang wanita Filipina yang mengaku Istri Das. Ia dengan kecewa pulang membawa Boy, dan menetap di Ujungpandang. Belakangan, Desember lalu, Das menyusul ke kota itu. Santhi menerima bekas pasangan kumpul kebonya itu menginap di rumahnya. Sembilan hari hidup bersama lagi, Das membawa anaknya ke Pasar Sentral Ujungpandang. Tapi setelah beberapa jam berlalu, Santhi curiga, Das dan Boy tak kunjung muncul. Ia segera menghubungi polisi, dan memburu mereka ke Bandara Mandai, Ujungpandang. Ternyata, lelaki itu sudah siap meninggalkan Indonesia. Keberangkatan Das dan Boy dapat digagalkan Santhi. Tapi Das tak mau menyerahkan Boy kembali kepada wanita itu. Perkara terpaksa diurus Poltabes Ujungpandang. Di kantor polisi, justru Santhi yang terpojok. Ia diminta polisi menandatangani pernyataan dengan sukarela menyerahkan Boy kepada Das. Alasan polisi, si anak, yang lahir di Malaysia, dianggap sebagai pendatang gelap di Indonesia. Santhi terpaksa menandatangani penyerahan Boy tersebut. Tapi sebelum berpisah dengan anaknya, ia minta izin diperkenankan tidur semalam dengan Boy. Permintaannya dikabulkan Das. Ternyata, sejak itu ia tidak bersedia melepaskan lagi anak yang sudah kembali ke pelukannya itu. "Biar saya mati, Boy tak akan saya serahkan," ujar Santhi. Kendati Das terpaksa pulang ke Malaysia dengan tangan hampa, ia kini menuntut Santhi melalui jalur hukum, dan akan kembali ke Ujungpandang untuk mengurus perkara itu. Ia melapor ke polisi karena ditipu Santhi. Ia juga merasa lebih berhak terhadap anak itu, karena sudah mengantungi akta kelahiran Boy dengan nama Mahenderen, yang dikeluarkan The Registration of Birth and Death Ordinance State of Sabah. Sementara itu, Santhi, melalui Pengacara Chaidir Hamid, sudah lebih dulu memasukkan permohonan ke Pengadilan Negeri Ujungpandang, agar Boy disahkan sebagai anaknya. Ia mendasarkan permohonannya itu ke hukum perdata yang menyebutkan setiap anak yang lahir di luar perkawinan mengikuti ibunya. Kecuali itu, menurut Chaidir, hukum kewarganegaraan Indonesia menganut pula asas sanguinis (keturunan). Karena Santhi WNI, Boy - menurut hukum perdata ikut dia - otomatis pula WNI. Di persidangan, Chaidir melengkapi lagi pendapatnya dengan surat Direktur Pengendalian Orang Asing Ditjen Imigrasi, tertanggal 8 Februari, yang - berdasarkan pasal 1 ayat d, Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 62, 1958 - menegaskan Boy dan Aswin sebagai WNI. Pasal itu memang menyebutkan, seorang anak luar kawin dari ibu Indonesia dengan lelaki asing mengikuti kewarganegaraan ibunya, bila si anak tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya. Tapi sengketa tentu tidak dimenangkan Santhi segampang itu. Sebab, Das Dewantas mempunyai bukti akta kelahiran yang dikeluarkan pemerintah Sabah tadi. Artinya, kalau akta itu sah, ia mempunyai hubungan hukum dengan si anak. Persoalan itu kini masuk ke bidang Hukum Antar-Tata Hukum. Hakim Wagiman, yang mengadili sengketa itu, agaknya mendapat ujian - lumayan berat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus