Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bila pak hakim alpa

Hakim sugriwa memvonis 3 tertuduh pencurian getah karet di padangsidempuan tanpa membuat pertimbangan hukumnya. di pn raba-bima hakim memvonis tertuduh pembunuhan tanpa menyebut satuan waktu.

24 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAKIM, tampaknya, makin sering alpa. Terbukti beberapa vonis pengadilan dianggap tak lengkap alias cacat. Kejadian ini bukan saja membuat perkara harus diperiksa ulang, tapi kesalahan serupa itu ternyata melanggar KUHAP. Akhir bulan lalu misalnya, majelis hakim tinggi di Medan terpaksa membatalkan sebuah vonis dan sekaligus memerintahkan pemeriksaan ulang berkas perkara yang diterimanya dari Pengadilan Negeri Padangsidempuan, Sumatera Utara. Perkara yang diperiksa di tingkat banding itu adalah vonis Hakim I Ketut Sugriwa, yang dinilai sama sekali tak memuat pertimbangan hukumnya. "Jika tak memuat pertimbangan hukum, berarti telah melanggar pasal 197 ayat I KUHAP, dong," kata Nurazman, hakim tinggi yang mengembalikan perkara itu. Ini kasus pertama yang dijumpainya, dan membuatnya tak habis pikir. "Kok, bisa-bisanya begitu, ya," kata alumnus FH USU tahun 1981 ini, sambil tertawa. Sebab, buat para penegak hukum, adanya pertimbangan hukum dalam sebuah vonis merupakan hal yang elementer. Perkara yang ditangani Hakim Sugriwa memang bukan kasus besar. Kisahnya menyangkut Mariati boru Regar, 25 tahun, Nurjani boru Regar, 45 tahun, dan Arman Hasibuan, 17 tahun, yang dituduh telah mencuri getah karet milik Lokot Fajar Pulungan di Desa Batuhulla, Kecamatan Batang Toru, Padangsidempuan. Pencurian itu dilakukan dua kali pada Januari 1987. Hasilnya 12 kg getah. Dalam kasus ini Sugriwa, dalam vonis 22 Juni lalu, menghukum ketiga terdakwa itu masing-masing 3 bulan penjara dalam percobaan setahun. Merasa tidak mencuri karena kebun itu peninggalan orangtua mereka, ketiganya naik banding. Hasilnya, vonis Sugriwa dibatalkan. Pembatalan vonis ini disambut tawa oleh penasihat hukum terdakwa, Siti Rusma Ritonga. "Bagaimana mereka disebut pencuri kalau ternyata menyadap kebun karet sendiri?" kata Siti Rusma. Apa kata Sugriwa? "Namanya manusia, ya, bisa saja silap," katanya tenang. Lho kok bisa? "Yah, begitulah. Saya silap, dan Pengadilan Tinggi berhak mengoreksinya. Itu hak mereka," kata Sugriwa polos. Dan ia pun mengakui kesilapan itu kerap terjadi, tanpa ingat angka persisnya. Berkas perkara yang sudah di tangannya kembali itu, janjinya, akan diluruskan hingga sesuai dengan KUHAP. Tapi kapan? "Yah, nantilah, akan saya atur waktunya," kata hakim yang juga Ketua Pengadilan Negeri Padangsidempuan itu. Hakim alpa bukan cuma menimpa Suriwa. Satu amar vonis yang telah dijatuhkan Pengadilan Negeri Raba-Bima, Nusa Tenggara Barat, atas Kepala Desa Jamaluddin H. Mansyur, tampaknya juga tak sempurna. Bahkan kasus yang satu ini menyangkut vonis hakim. Vonis itu hanya menyebut menghukum tertuduh 5 (lima) tanpa ada satuan waktu, misalnya tahun bulan, atau cuma hari saja. Vonis yang dibacakan Hakim Arbani Soeprapto, S.H., itu jelas cacat. Mochamad Fadil, S.H., pengacara dari LBH Jakarta, yang mendampingi terdakwa heran atas amar vonis tak jelas itu. Ia sempat mengecek kepada pengunjung, siapa tahu ia salah dengar. Ternyata, pengunjung pun tak mendengar satuan waktu itu. Lebih celaka lagi, ketika ia menerima salinan vonis resmi, isinya persis sama seperti yang diucapkan hakim. Jamaluddin, yang dituduh terlibat pembunuhan dengan memberi upah Rp 250 ribu kepada pembunuh bayaran itu, semula oleh jaksa dituntut 15 tahun penjara. Vonis "aneh" yang dijatuhkan 12 Oktober itu juga mengundang reaksi kalangan ahli hukum. "Demi hukum, putusan itu batal. Sebab, tak memenuhi syarat yang tersebut di KUHAP," kata pengacara beken Harjono Tjitrosoebono, S.H. "Jadi, kalau di dalam putusan tidak disebut dengan jelas angka lama hukuman, berikut bulan atau tahunnya, maka putusan itu menyalahi ayat 1 dan ayat 2 KUHAP. Artinya, batal demi hukum," kata Harjono. Artinya lagi, tak bisa naik banding atau kasasi. Kalau mau memprosesnya lagi, dan diajukan lagi ke pengadilan, perkara tak boleh sama. "Yang untung, si terdakwa," kata Harjono lagi. Putusan yang cacat atau tidak lengkap, ketika sedang dibacakan oleh hakim, memang tak boleh disela oleh siapa pun. Itu bisa mengganggu ketertiban. "Salah atau tidak putusan adalah tanggung jawab hakim. Jika hal itu dibolehkan, pengadilan bisa jadi pasar," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus