SEORANG perwira menengah, Letnan Kolonel Tulus Parda Siahaan, 43, kepala Biro Rapat Kopkamtib Jakarta, mati terbunuh di Desa Talago Mundam, Kecamatan Batang Anai, Padang Pariaman, Sumatera Barat, Jumat pekan lalu. Menurut siaran pers Kapendam III/17 Agustus, korban meninggal akibat penganiayaan berat yang dilakukan sejumlah orang bersenjata tajam. Ayah lima anak yang baru tiga tahun bertugas di Jakarta itu terluka berat di bagian tengkuk, pundak, perut, pinggang, dan kaki, serta kedua tangannya. Sedangkan Yos, putranya yang kedua, mengalami luka-luka, dan kini dirawat di rumah sakit di Padang. Seorang tersangka sebagai pembunuh, K, dikabarkan telah menyerahkan diri ke Polsek Lubuk Alung, 9 km dari tempat kejadian. Ibu K, Nurcahya, beserta empat anaknya yang lain, ikut diamankan Polres Pariaman, untuk menghindarkan kemungkinan yang tak diharapkan. Sedangkan enam pelaku pengeroyokan lainnya, menurut Kapolda Sumatera Barat, Brigadir Jenderal Poedy Samsudin, seperti ditulis Sinar Harapan, melarikan diri dan masih terus dilacak. Apa motif atau latar belakang pembunuhan terhadap Tulus masih belum jelas. Diduga, tindakan nekat itu berlatar belakang soal sebidang tanah yang sejak lama disengketakan Tulus dengan keluarga Nurcahya. "Pertumpahan darah sebenarnya tak perlu terjadi, kalau saja Bapak dari Jakarta itu mau menyelesaikannya dengan cara mengikutsertakan ninik mamak dan tetua di kampung ini," ujar salah seorang pemuka masyarakat di Talago Mundam kepada TEMPO. Peristiwa tragis yang cukup mengagetkan itu terjadi sekitar pukul 12.30, pada saat sembahyang Jumat. Di desa yang terletak sekitar 30 km dari Padang, ketika itu, suasana Lebaran masih terasa. Korban beserta istri dan kelima anaknya berada di Padang dalam rangka cuti. Ia beserta istri dan tiga anaknya berangkat dari Jakarta naik jip pada hari Kamis, 28 Juni lalu, atau dua hari sebelum Idulfitri. Dua anaknya yang lain sudah berangkat lebih dahulu naik kapal Kambuna. Cuti Lebaran dan pulang ke kampung istrinya di Lubuk Alung, menurut keluarganya di Jakarta, biasa dilakukan sejak lima tahun yang lalu. Pada hari naas, Jumat 6 Juli itu, menurut sumber TEMPO di Talago Mundam, korban bersama Yos (anaknya), seorang pengemudi, dan dua petugas Agraria Pariaman berkunjung ke rumah Nyonya Nurcahya. Karena waktu sembahyang Jumat tiba, dua petugas Agraria yang diajak korban minta izin pergi ke masjid. Korban sendiri, bersama anaknya dan pengemudi, langsung menemui Nyonya Nurcahya. Ketika itu, kata sumber itu, korban membawa semen dan tonggak-tonggak kecil untuk memancang batas tanah. Nurcahya rupanya tak senang, karena korban dinilai kurang menuruti tata krama. Keluarganya di Tebet, Jakarta Pusat, juga mengakui bahwa, "Pak Tulus memang terkadang berperangai agak kasar, maklum orang Batak. Tapi hatinya baik." Sebab itu, Nurcahya lalu melaporkan kejadian itu kepada Iskandar, kepala desa Talago Mundam. Korban, yang tampaknya merasa berhak mematok tanah yang dinilai telah menjadi haknya, rupanya tak begitu peduli. Ia terus saja hendak melaksanakan niatnya. Zahir, salah seorang anak Nurcahya, kata sumber itu, merasa tak senang. Ia terlibat pertengkaran, dan diteruskan dengan perkelahian dengan pihak Tulus. Tapi Zahir rupanya kalah gesit. Lalu muncul adiknya, K, membantu. Ia naik pitam karena sempat dihantam gagang cangkul oleh pengemudi Tulus. K segera berlari masuk rumah dan mengambil parang. Dengan senjata tajam itu ia menghampiri Tulus. Menurut versi sumber TEMPO ini, K itulah yang menghabisi korban, seorang diri. Setelah membuat korban tergeletak berlumur darah, ia lari melintasi hutan dan menyerahkan diri ke Polsek Lubuk Alung. Kepada petugas, ia konon mengaku melukai korban di bagian tengkuk, perut, paha, dan pinggang. "Saya sudah membunuh seorang tentara, Pak," begitu konon ia berkata ketika menyerahkan diri sembari membawa parang dan tongkat milik korban. Tanah yang disengketakan itu, menurut sumber tadi, seluas 2,5 hektar. Yang 1,5 hektar hak Tulus, sedangkan yang satu hektar kepunyaan mertuanya, seorang pensiunan camat di Padang Pariaman. Areal tanah itu jatuh ke tangan Tulus sebagai balas jasa dari Mohamar Nur, yang berhasil memenangkan sengketa melawan Mohamad Aris. Tapi Nurcahya merasa, bagian tanah untuk Tulus bukanlah di lokasi tanah yang kini didiaminya. Oleh karena itulah ia bertahan. Lokasi tanah di Talago Mundam itu menjadi berharga, karena di situ kelak akan dibangun lapangan terbang baru, pengganti bandar udara Tabing, Padang, yang sekarang digunakan. Bagaimana duduk soal sebenarnya, kasus pembunuhan itu kini masih dalam penyidikan. Tapi, bila dikatakan Tulus seolah tak tahu adat setempat, tampaknya kurang masuk akal. Pria bertubuh sedang berkulit sawo matang itu, sebelum bertugas di Jakarta, telah 20 tahun bertugas di Sumatera Barat. "Ia fasih sekali bahasa Minang," kata seorang kenalannya di Jakarta. Tulus, setelah tamat Secapa, bertugas di Yon 130 Padang Panjang. Lalu pindah bertugas di Solok. Sebelum ke Jakarta, jabatannya terakhir di Kodam III adalah wakil Kapendam. Ia menikah dengan Evi Nora Firdaus, kini 38, pada 1963, dan dikaruniai lima anak. Yang terbesar, Butet, duduk di kelas II SMA. Sedangkan Yos, yang terluka itu, siswa kelas I SMA. Mery, anak ketiga, masih di SMP. Dan dua adiknya yang lain, Rea serta si bungsu Ucok, masih di bangku SD. Menurut kerabatnya di Jakarta, hubungan Tulus dengan anak-anaknya itu dekat sekali. Lebih-lebih dengan Ucok. "Walaupun sudah kelas III SD, ia masih sering digendong-gendong ayahnya," ujar kerabat itu. Tak hanya dengan anak-anaknya, dengan para pemuda di sekitar tempat tinggalnya di Tebet Dalam, Jakarta Selatan, Tulus juga akrab. Rumah kediaman keluarga Tulus di Tebet Timur Dalam itu, yang dihuni sejak setahun lalu, tampak sederhana dan tak terlalu besar bagi ukuran seorang perwira menengah. Itu pun bukan milik pribadi, melainkan rumah kontrakan. Karena itu, istrinya, Nyonya Evi - yang kini masih berada di Padang menjadi bingung. Ia kabarnya memutuskan untuk kembali menetap di Padang. Yang menjadi persoalan adalah kelima anaknya, yang selama ini sekolah di Jakarta. Letnan Kolonel Tulus Parda Siahaan sendiri, yang gemar mendengarkan musik tenang, Sabtu pekan lalu telah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Lolong, Padang, Sumatera Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini