PERAMPOKAN itu berlangsung dengan cepat. Nyonya Lamria Marpaung, 46, pedagang emas yang sedang berkemas hendak pulang ke rumah tiba-tiba terkesiap. Dua lelaki muda tahu-tahu sudah berada di dekatnya. Yang satu langsung menodongkan pistol. Satunya lagi dengan sigap mencoba menarik tas cukup besar berisi uan tunai, emas, dan permata. Terjadi tarik menarik sebentar. Rupanya, kawan perampok yang satu lagi tak sabar. Ia segera memuntahkan peluru ke arah Lamria. Wanita yang sudah 20 tahun berkecimpung dalam dunia jual-beli emas permata, dan dijuluki big boss oleh rekan-rekannya itu, terkapar berlumur darah. Ia meninggal sesaat setelah tiba di Rumah Sakit Gatot Soebroto, yang hanya beberapa ratus meter dari tempat kejadian. Kedua perampok, setelah berhasil membunuh dan menjarah barang rampasan, segera meloncat ke atas dua sepeda motor yang sejak tadi mesinnya di hidupkan oleh rekan mereka. Sebelum tancap gas mereka masih sempat membuang tembakan membuat para pedagang emas rekan-rekan korban ketakutan. Peristiwa perampokan yang disertai pembunuhan itu terjadi Jumat petang 28 Juni lalu, menjelang malam takbiran. Mcnurut laporan keluarga korban kepada Polres Jakarta Pusat, dalam tas yang digaet penjahat itu terdapat uang tunai Rp 20 juta, 20 kilo emas, dan sejumlah permata yang kesemuanya bernilai sekitar Rp 650 juta. Kalau jumlah ini benar, bisa jadi inilah perampokan terbesar yang pernah terjadi di Indonesia, yang berlangsung dengan begitu cepat dan mudah. Dalam sejarah perampokan di negeri ini, jarahan yang dibawa kabur penjahat umumnya hanya puluhan juta rupiah. Eddy Sampak, misalnya, anggota Kodim Cianjur yang merampok uang gaji kantornya, hanya menggaet Rp 21 juta 20 Agustus 1979. Sebagian besar hasil rampokan kemudian bahkan bisa ditemukan kembali. Padahal, ia sudah menghabisi lima nyawa dengan Karl Gustaf-nya, dan membakar sebuah mobil. Sedangkan kawanan perampok yang merajalela pada 1981 - yang menggunakan senjata api sewaan - hanya mampu mengumpulkan Rp 95 juta. Itu pun lewat enam kali operasi. Kawanan ini berhasil digulung awal Januari 1982. Kapolda waktu itu, Mayor Jenderal Anton Sudjarwo - kini Kapolri - mengungkapkan keterlibatan oknum ABRI dalam perampokan itu. Oknum itu diketahui menyewakan senjata api untuk merampok. Maka, tak kurang dari Presiden Soeharto sendiri dan Pangkopkamtib (waktu itu Laksamana Sudomo) memberikan ucapan selamat kepada Anton atas suksesnya itu. Tapi dalam kasus yang menimpa Lamria, polisi agak meragukan jumlah kerugian seperti dilaporkan keluarga korban. Jumlah itu dinilai agak fantastis. "Mana mungkin. Ibu itu hanya punya pangkalan di pinggir jalan. Kalau dia mempunyai omset sampai ratusan juta, kenapa tidak membuka kios?" tutur Kapolres Jakarta Pusat Letnan Kolonel Riyanto, dengan nada kurang percaya. Lamria setiap harinya memang hanya mangkal di pinggir Jalan Kwini I, persis di muka Kantor Pegadaian Cabang Senen, Jakarta Pusat. Ia biasa menunggui "kios"nya yang tak berdinding, berupa sebuah meja kecil berukuran 1 x 0,75 meter setinggi satu meter, terbuat dari bekas peti sabun. Di atasnya teronggok sebuah timbangan emas yang dilindungi lemari kaca, seperti dimiliki rekan-rekannya yang mangkal scpanjang Jalan Pasar Senen sampai Jalan Kwini I itu. Dengan penampilan begitu, sepintas orang bakal mengira, ia hanya seorang pedagang emas kelas kecil yang hanya melakukan transaksi paling satu-dua gram dengan orang yang sedang kepepet. Ternyata, "Nyonya Lamria sering melakukan jual beli atau melayani pesanan nyonya-nyonya penggede dalam nilai puluhan, bahkan sampai ratusan juta rupiah," ujar Victor Simanjuntak, adik Lamria, yang juga pedagang emas pinggir jalan itu. Rekannya, Siahaan, 30, menimpali, "Di sini, biarpun di pinggir jalan, transaksi Rp 50 juta sampai Rp 100 juta biasa terjadi. Dan Lamria-lah satu-satunya yang biasa menutupnya. Sedangkan saya, dan teman lain, kalau mendapat order sampai bernilai jutaan rupiah, biasanya kami serahkan kepadanya. Kami cuma mendapat komisi." Karena itu, di kalangan pedagang emas di bilangan Senen, Lamria dijuluki big boss. Dia memang tak hanya menutup transaksi besar, tapi juga sering memberi pinjaman modal kepada sesama pedagang. Dia juga menerima barang gadaian, dengan bunga 2 1/2% sebulan. Kemenonjolan Lamria rupanya memang tak bisa hanya dilihat dari tempatnya biasa mangkal di depan kantor pegadaian itu. Berbeda dengan pedagang yang lain, ibu tujuh anak asal Tapanuli itu selalu diantarjemput oleh anaknya dengan sedan Mercy. Rumahnya yang bertingkat dua di Kramat Jaya Baru, Jakarta Pusat, pun cukup mentereng dan besar. Di halamannya senantiasa terparkir empat mobil pribadi yang tergolong mewah. Perlengkapan yang ada di dalam rumah pun tampak mewah. Orang tak bakal membayangkan bahwa pemiliknya hanya membuka bisnis di kaki lima. Memang ada suami korban, yaitu Yahya Marpaung. Tapi ia, seperti diakuinya sendiri, praktis hanya membantu bisnis istrinya. Sebagai pedagang emas dan permata, Lamria memang cukup menguasai bidangnya. Wanita itu, yang lahir di Sigumpar tahun 1938, setamat SGB pernah menjadi guru. Tapi pada 1964 ia beralih profesi menjadi pedagang emas permata, yang terus digelutinya sampai akhir hayatnya. Ia mempunyai relasi dan hubungan yang sangat luas. Tapi mengapa ia tetap bertahan di kaki lima? "Kalau membuka toko emas permata, mungkin dia khawatir pajaknya gede," ujar Siahaan. Salah seorang keluarganya menyebutkan, alasannya bukan itu. "Dia mulai berdagang di kali lima, dan karena itu ia tak hendak meninggalkannya walau sekarang sudah sukses," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini