Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bolehkah Polisi Menggunakan Kekerasan untuk Memeriksa Tersangka?

Polisi tak boleh menggunakan kekerasan untuk mendapatkan pengakuan tersangka. Harus menerapkan scientific crime investigation.


5 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana penemuan mayat Dul Kosim di wilayah Desa Sumur Bandung, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, 24 Juli 2023. Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Delapan polisi didakwa menganiaya seorang warga bernama Dul Kosim hingga tewas.

  • Polisi masih mempraktikkan cara-cara kekerasan untuk mendapatkan pengakuan tersangka.

  • Polisi seharusnya mendapatkan pembuktian secara ilmiah, bukan sekadar pengakuan tersangka.

JAKARTA – Pengadilan Negeri Jakarta Timur sedang mengadili delapan polisi yang diduga menganiaya seorang warga bernama Dul Kosim hingga tewas. Polisi-polisi itu sebelumnya tercatat sebagai anggota Unit 1 Subdirektorat 2 Direktorat Reserse Narkoba Kepolisian Daerah Metro Jaya. Mereka menangkap Dul Kosim pada 22 Juli 2023 atas dugaan mengedarkan narkoba jenis sabu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam surat dakwaan disebutkan bahwa polisi-polisi tersebut menganiaya pria asal Madura, Jawa Timur, itu karena tak kunjung memberitahukan tempat penyimpanan barang bukti, yaitu sabu dan alat timbangan. Dul Kosim kemudian diduga disekap di sebuah rumah di Jakarta Timur hingga mengembuskan napas terakhir. Jasadnya ditemukan tiga hari kemudian di Jalan Raya Purwakarta, Kampung Cirangrang, Desa Sumur Bandung, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keluarga merasa janggal atas kematian Dul Kosim. Apalagi sebelumnya mereka menerima informasi bahwa pria 38 tahun itu ditangkap polisi. Mereka juga sudah mencari keberadaan Dul Kosim di sejumlah kantor polisi. Alih-alih menemukan Dul Kosim di ruang tahanan, mereka justru mendapati pria itu tewas di Cipatat.

Komisioner Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti

Kejanggalan yang ditemukan keluarga itulah yang belakangan menyeret delapan polisi ke meja hijau. Mereka adalah Abriansyah, Ahmad Jais, Yongki Pratama, Ripki Permana, Jati Arya Utama, Franz Enrico Sitorus, Edwan Purwanda Heru Saputra, dan Suhartono. Para perwira dan bintara Polri itu didakwa dengan pasal pembunuhan berencana hingga penganiayaan yang menyebabkan kematian.

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, mengatakan polisi tidak dibenarkan menggunakan kekerasan untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka tindak pidana. Aturan itu terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan reformasi kultural Kepolisian RI. "Kerangka berpikirnya juga harus menghormati presumption of innocence (praduga tak bersalah)," kata Poengky, kemarin, 4 Maret 2024.

Menurut Poengky, semua anggota kepolisian harus tunduk pada Peraturan Kepala Polri (Perkapolri) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Penyidik kepolisian yang menangani kasus narkotik juga harus berpedoman pada Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, khususnya Pasal 34 dan 35. "Dalam melakukan penyidikan tindak pidana, penyidik harus didukung bantuan teknis penyidikan untuk pembuktian secara ilmiah atau scientific crime investigation," ujarnya.

Bantuan teknis itu antara lain penelusuran digital forensik, laboratorium forensik, identifikasi, kedokteran forensik, dan psikologi forensik. Dengan begitu, penyidik tidak bergantung pada pengakuan tersangka sebagai sumber utama. "Penyidik perlu serius menggunakan pembuktian secara ilmiah demi menghentikan kekerasan," kata Poengky. "Dengan scientific crime investigation, kerja-kerja penyidik menjadi lebih profesional dan hasilnya valid."

Dalam kasus Dul Kosim, kata Poengky, Kompolnas mendukung pengadilan memberikan hukuman paling berat kepada para terdakwa jika memang terbukti bersalah. "Agar ada efek jera," ucapnya. "Jangan ada lagi polisi-polisi lain yang melakukan perbuatan serupa."

Untuk pengawasan, kata Poengky, anggota yang bertugas di lapangan sebaiknya diwajibkan mengenakan body camera (kamera badan). Upaya ini dianggap bisa mencegah pelanggaran yang dilakukan anggota kepolisian yang bertugas di luar kantor.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menegaskan, setiap kekerasan yang dilakukan terhadap tersangka kejahatan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Apalagi kekerasan itu dilakukan oleh polisi. "Kekerasan oleh kepolisian selalu terulang karena tidak ada upaya serius dari pemerintah untuk mencegah dan menangani masalah ini," kata Koordinator Bidang Eksternal Kontras Andi Muhammad Rezaldy.

Menurut Andi, ada dua aspek yang bisa dianggap melanggengkan budaya kekerasan di institusi kepolisian. Pertama adalah aspek kultural, di mana personel belum memahami prinsip-prinsip HAM dalam kerja kepolisian. Bahkan Kontras menemukan kecenderungan sesama polisi saling melindungi jika terjadi praktik penyiksaan dalam penyelidikan dan penyidikan. Anggota kepolisian yang terbukti menjalankan praktik itu juga hanya dikenai sanksi etik. "Padahal tindak penyiksaan merupakan tindak kejahatan yang harus diproses melalui mekanisme peradilan umum," ujar Andi.

Kedua, aspek institusional. Andi menilai belum ada lembaga pengawas independen yang bisa menindak personel kepolisian yang terindikasi menjalankan praktik penyiksaan terhadap tersangka kejahatan. Saat ini Polri hanya mengandalkan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) untuk mengadili anggotanya yang bermasalah dalam hal kode etik.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mengatakan rata-rata anggota kepolisian masih punya kerangka berpikir dan budaya lama. Begitu juga dengan sistem peradilan di Indonesia. Pengakuan dari seseorang yang diduga pelaku kejahatan masih menjadi prioritas utama. Dampaknya, penyidik mengejar pengakuan itu dengan menghalalkan segala cara. "Mereka menganggap pengakuan terduga pelaku sebagai alat bukti utama," katanya. "Padahal, di negara-negara maju, pengakuan tersangka tanpa disertai alat bukti dianggap lemah."

Karena itu, kata Bambang, tidak mengherankan di Indonesia kerap terjadi kasus salah tangkap. Bahkan tak jarang orang-orang yang tidak bersalah terpaksa harus mengakui kejahatan yang sebenarnya tidak dilakukan. Pengakuan itu dibuat hanya karena mereka tidak tahan dengan siksaan selama diperiksa polisi. "Ini juga diperparah oleh belum memadainya infrastruktur pengamanan di kepolisian," ucapnya.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto. Antara

Infrastruktur yang dia maksudkan adalah kamera pengawas (CCTV) di ruang penyidikan dan minimnya ruang tahanan. Selain itu, pendampingan hukum terhadap orang-orang yang diduga berbuat jahat masih minim. Dengan demikian, hak-hak tersangka sebagai manusia menjadi terabaikan.

Menurut Bambang, perlu ada aturan yang mengharuskan proses interogasi dilakukan secara transparan. Setiap tersangka kejahatan juga wajib didampingi pengacara dalam memutus rantai kekerasan selama penyidikan. Selain itu, perlu ada reformasi sistem peradilan pidana, yaitu pengakuan tersangka bisa diabaikan jika tidak disertai alat bukti lain yang menguatkan. "Dengan begitu, kepolisian tidak lagi bisa memaksa seseorang membuat pengakuan," ujarnya.

Bambang menekankan bahwa asas praduga tidak bersalah harus menjadi pegangan dalam proses penegakan hukum. Namun di lapangan asas ini sering diabaikan. Karena itu, perlu dibangun sistem yang benar-benar bisa menerapkan asas hukum tersebut.

Wakil Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra mengatakan kasus yang terjadi pada Dul Kosim adalah fenomena gunung es dari budaya kekerasan di institusi kepolisian. Imparsial mencatat terjadi 32 kasus kekerasan oleh kepolisian selama 2023. Jumlah itu baru sebatas yang diliput media massa. Sedangkan jumlah kasus yang tidak muncul di permukaan ada kemungkinan lebih besar lagi. 

Ardi mengatakan pemahaman terhadap HAM harus terus diberikan kepada semua anggota Polri di setiap jenjang, terutama bagian reserse dan Sabhara. Dua bagian itu kerap berinteraksi dengan masyarakat. Reserse bertugas di lingkup penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, sedangkan Sabhara di lingkup keamanan dan ketertiban masyarakat.

Menurut Ardi, pada perkara pidana, keterangan pelaku memang masih menjadi salah satu alat bukti dalam KUHAP. Padahal aturan itu bertentangan dengan prinsip non-self incrimination, yaitu orang tidak boleh dikriminalkan berdasarkan keterangannya sendiri.

M. FAIZ ZAKI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
M. Faiz Zaki

M. Faiz Zaki

Menjadi wartawan di Tempo sejak 2022. Lulus dari Program Studi Antropologi Universitas Airlangga Surabaya. Biasa meliput isu hukum dan kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus