Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantai sembilan gedung perkantoran PT Senayan Trikarya Sempana, Jakarta Pusat, biasanya tenang. Tapi Kamis pekan lalu, suasana di sana agak gaduh. Beberapa karyawan perusahaan pengelola kompleks Senayan Square itu terlihat sibuk menyiapkan ruangan. Hari itu, mereka mendadak akan kedatangan tamu penting.
Tak lama kemudian, rombongan tamu itu datang. Salah satu dari mereka adalah Jerry B. Rumpen, juru sita dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Di sebelahnya, berjalan dua saksi dari pengadilan yang sama, diikuti seorang polisi dan satu petugas dari Pemerintah Kota Jakarta Pusat. Suasana pun hening. "Kami menyita delapan gedung di kawasan ini," kata Jerry tegas. Tak ada reaksi. Penyitaan berjalan mulus, tanpa menarik perhatian orang yang lalu-lalang.
Sejak hari itu, Senayan Square secara resmi berstatus di bawah pengawasan pengadilan. Termasuk yang disita adalah tanah hak guna bangunan yang dikelola Senayan Trikarya Sempana seluas 20 hektare, juga pertokoan mewah Plaza Senayan. Menurut Jerry, meski disita, kompleks tersebut bisa menjalankan kegiatan seperti biasa. "Pengadilan menitipkan kompleks ke pengelola," kata Jerry.
Bagaimanapun, penyitaan tetaplah penyitaan. Pihak Senayan Trikarya tak urung menyatakan kekagetannya. "Kami terkejut dengan penetapan sita jaminan ini," kata Teguh Budiono, Manager Legal and General Affairs PT Senayan Trikarya Sempana. Apalagi, proses penyitaan berasal dari gugatan Badan Pengelola Gelora Bung Karno yang tak lain adalah salah satu pemegang saham Senayan Trikarya. "Sudah 15 tahun kami bekerja sama," kata Teguh.
Gugatan ini berawal dari perseteruan Badan Pengelola Gelora Bung Karno dengan mitranya, Kajima Overseas Asia Pte. Limited, anak perusahaan Kajima Corporation, Jepang, yang berdomisili di Singapura. Alkisah, pada 24 April 1989, BP Gelora Bung Karno yang masih bernama Badan Pengelola Gelora Senayan mengikat kerja sama dengan Kajima untuk membangun kawasan Senayan.
Dalam kerja sama ini, disepakati untuk membentuk perusahaan pengelola bernama PT Senayan Trikarya Sempana. Dalam perusahaan baru ini, Kajima menguasai 70 persen saham, 20 persen lagi dimiliki PT Aditya Wira Bakti (perusahaan patungan Siti Hediati Harijadi, putri Presiden (ketika itu) Soeharto dengan Hashim Djojohadikusumo), lalu 10 persen saham sisanya milik BP Gelora Bung Karno.
Menurut Yasidi Hambali, Ketua Direksi Pelaksana BP Gelora Bung Karno, kerja sama berawal dari perintah Presiden Soeharto pada 1984 kepada pihak Gelora agar mengelola kawasan seluas 279 hektare tersebut. Yang jadi masalah, pemerintah tak menyediakan dana pengelolaan, apalagi pembangunan sarana. Karena itu, pihak Gelora kemudian melirik investor untuk bekerja sama.
Salah satu investor yang tertarik adalah Kajima Overseas Asia. Awalnya, ini terlihat sebagai pilihan tepat. Kajima, perusahaan yang berdiri sejak 1840, terkenal jagoan di bidang desain, konstruksi, dan industri pengembangan real estate di Asia Tenggara. Kepada Kajima, pihak Gelora menawarkan 20 hektare lahan di kawasan Senayan yang kini dikenal sebagai Senayan Square. Kajima pun tertarik bekerja sama model bangun-operasi-transfer (built-operation-transfer) selama 40 tahun.
Tanpa proses rumit, perjanjian kerja sama pun diteken. Menurut perjanjian itu, Kajima antara lain wajib membangun Wisma Atlet setaraf hotel berbintang tiga (kini Hotel Atlet Century Park). Selain itu, mereka harus menyerahkan uang tunai US$ 3 juta pada saat penandatanganan perjanjian pelaksanaan naskah kesepakatan. Di luar itu, mereka juga wajib membayar lagi US$ 2 juta saat penyerahan hak guna bangunan tanah. Total jenderal, kompensasi yang harus dibayar Kajima bernilai US$ 25,22 juta. Kajima juga masih harus membayar US$ 400 ribu setiap tahun ke pihak Gelora setelah kawasan tersebut berfungsi secara komersial.
Tahun demi tahun berlalu, kerja sama berjalan mulus. Dan sekarang, setelah 15 tahun perjanjian diteken, kawasan Senayan telah berubah menjadi kawasan mewah. Selain pertokoan barang-barang mahal Plaza Senayan, di sini berdiri apartemen, perkantoran, sarana parkir, juga pusat kegiatan olahraga. Total nilai investasi membangun kawasan ini mencapai US$ 250 juta.
Siapa nyana, di balik kemegahan itu tersimpan luka yang kian lama kian membesar. Belakangan, pihak Gelora merasa tidak mendapat pembagian keuntungan yang layak. Benar, mereka tetap menerima US$ 400 ribu, sesuai dengan kesepakatan. Tapi dividen 10 persen saham senilai US$ 45,9 juta ternyata tak mereka terima.
Pihak Gelora juga mempersoalkan 8 hektare sisa lahan yang tak kunjung dibangun. Gara-gara lahan kosong ini, pada Juni 2003, DPR sempat mempersoalkan dan meminta pihak Gelora mengupayakan pengembalian lahan itu kepada negara. Tak kurang, Menteri Sekretaris Negara waktu itu, Bambang Kesowo, selaku Ketua Badan Pengelola Gelora Bung Karno, turun tangan. Ia mendesak Senayan Trikarya segera membangun lahan yang kosong selambat-lambatnya 31 Agustus 2004. Nyatanya, tenggat ini tak juga terpenuhi.
Juga ada soal lain, yaitu pihak Gelora merasa diremehkan perannya oleh Kajima. "Mereka bertindak seenaknya. Padahal, kamilah pemilik lahan," kata Yasidi. Ia memberi contoh, Kajima membuat sendiri keputusan bisnis tanpa melibatkan pihak Gelora. Yasidi membantah bahwa setelah 15 tahun berjalan, baru kali ini mempersoalkan ketidakberesan itu. "Kami tidak tidur. Bukan juga dulu karena kami takut ada putri Soeharto di sana. Kami sudah mencoba berdialog, tapi tidak pernah ditanggapi," kata Yasidi kesal.
Kekesalan itulah yang membuat mereka menggugat secara perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 15 Oktober lalu. Dalam gugatannya, mereka menuntut ganti rugi ke Kajima dan Senayan Trikarya senilai US$ 225 juta. Nilai gugatan itu sudah termasuk kerugian pengelolaan tanah dan dividen. Di luar itu, mereka juga menggugat kerugian moril sebesar Rp 3 triliun karena merasa diremehkan. Atas dasar gugatan inilah pengadilan kemudian menetapkan sita jaminan.
Menanggapi gugatan tersebut, pihak Kajima dan Senayan Trikarya mengaku tak gentar. "Kami tidak melanggar perjanjian bisnis," kata Budiono. Soal dividen, misalnya, Budiono mengaku memang mereka belum pernah membayar ke pemegang saham. "Tapi itu karena kami belum mendapat keuntungan," katanya. Menurut dia, pendapatan Plaza Senayan digunakan untuk membayar utang dan bunga guna membangun kawasan tersebut.
Kuasa hukum Kajima, Gamal Resmanto, membenarkan pernyataan kliennya. Bahkan menurut pengacara dari Kantor Law Firm Ihza dan Ihza ini, Kajima tidak perlu menyelesaikan pembangunan Plaza Senayan, karena semua kewajiban sudah terpenuhi. "Termasuk membayar sewa tahunan US$ 400 ribu," kata Gamal.
Kepada Tempo, Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra mengakui ada kelemahan dalam perjanjian awal yang diteken pihak Gelora. "Terutama yang menyangkut batas akhir pembangunan yang harus dilakukan Kajima," kata Yusril. Tetapi, menurut pendiri Kantor Law Firm Ihza dan Ihza ini, Kajima tetap wajib membangun kawasan itu dan menyerahkannya kepada Badan Pengelola dalam waktu 40 tahun. Ia berharap bisa mengajak kedua belah pihak untuk berunding. "Kalau nanti tercapai kesepakatan, kasus itu selesai. Ini kan kasus perdata biasa."
Nurlis E. Meuko, Multazam, dan Sapto Pradityo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo