Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masa pensiun bukanlah saat yang tenang bagi bekas Jaksa Agung Muhammad Abdur Rachman. Hanya sepekan setelah ia menyerahkan jabatannya ke Jaksa Agung yang baru, Abdul Rahman Saleh, kabar mengejutkan muncul dari Markas Besar Kepolisian. Isinya: polisi berencana memeriksa kembali kasusnya yang sempat tenggelam. "Dalam waktu dekat kami akan memanggil dia," ujar Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Suyitno Landung.
Menurut Landung, selama ini pihaknya tak bisa meneruskan kasus yang membelit Rachman lantaran terganjal izin Presiden Megawati. Sebagai pejabat negara, pemeriksaan Rachman oleh polisi harus seizin presiden. "Sekarang tidak perlu izin presiden lagi, karena yang bersangkutan bukan pejabat negara lagi," kata Landung.
Kasus Rachman mencuat pada 2001, saat Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) mencurigai laporan kekayaannya. Saat itu, pria kelahiran Sumenep, Madura, ini melaporkan harta kekayaannya, antara lain enam rumah di berbagai kota, sejumlah mobil mewah, giro, logam mulia yang nilainya sekitar Rp 2 miliar. Laporan kekayaan ke KPKPN pada 10 November 2001 itu, menurut anggota KPKPN Petrus Selestinus, mencurigakan.
Belakangan, KPKPN menuduh Jaksa Agung menyembunyikan data kekayaannya yang lain, yakni sebuah rumah mewah di Graha Cinere, Depok. Rumah berarsitektur gaya spanyol itu dibangun di atas lahan sekitar 800 meter persegi dengan taksiran nilai sekitar Rp 3 miliar. Menurut KPKPN, ada indikasi Rachman telah melakukan tindak korupsi untuk memiliki hartanya yang melimpah ruah itu.
Saat diperiksa KPKPN, Rachman berdalih tak perlu melaporkan kepemilikan rumah tadi karena sudah dialihkan ke putrinya, drg. Chairunnisa. KPKPN kemudian membentuk tim investigasi. Hasilnya, Komisi ini menyatakan rumah itu memang milik Rachman, kendati belakangan dijual ke Husin Tanoto, orang tua Sukanto Tan, pengusaha yang dekat dengan Rachman, dengan harga jauh di bawah nilai pasar, tak lebih dari Rp 1 miliar.
Kisah Rachman bertambah seru kala anak buahnya, Kito Irkhamni, buka mu-lut. Kepada KPKPN, bekas Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Agung yang menyambi bisnis sebagai pemborong itu menyebut rumah di Cinere memang milik Rachman. Bahkan Kito yang mewakili Rachman melakukan tranksasi jual-beli tanah pada 29 Oktober 1999 dari Lora Melani Louis (PT Metropolitan Development Corporation). Rachman, menurut cerita Kito, malah sempat berutang kepadanya Rp 700 juta untuk biaya pembangunan rumah Cinere tersebut.
Dengan sejumlah bukti itulah, Ketua KPKPN, Yusuf Syakir, pada Desember 2002 mengadukan Rachman ke Mabes Polri. Polisi kemudian memanggil se-jumlah saksi, antara lain pengacara Petrus Balapattyona, salah satu orang dekat Rachman dan juga Kito. Hanya, belakangan, di tengah pengusutan kasus ini, Kito diadili dan divonis pidana satu bulan 23 hari oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena menggelapkan uang Rp 480 juta milik Aty Mulyani.
Sejak itu, pengusutan kasus rumah Rachman tersendat-sendat. Saat ditanya anggota DPR dalam acara dengar pendapat pada Juni 2003, Kepala Polri Jenderal Da' Bachtiar menyatakan kasus Rachman mendekati final. "Tinggal beberapa saksi yang belum dipanggil," ujarnya. Nyatanya, kasus ini makin tenggelam, sampai kemudian pekan lalu polisi menyatakan akan memeriksa Rachman lagi.
Niat polisi membuka kasus Rachman ini disambut gembira Koordinator Indonesia Corruption Watch, Teten Masduki. "Polisi memang harus menuntaskan kasus ini. Jika berhasil, ini akan membawa efek besar untuk lembaga penegakan hukum dan pejabat korup," kata Teten. Menurut Teten, alasan polisi dulu menunggu izin dari presiden terlalu mengada-ada. "Mereka bisa bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi karena dengan komisi ini tak perlu izin presiden," ujar Teten.
Untuk sekarang pun, kata Teten, kasus Rachman tetap harus dilimpahkan ke KPK karena komisi ini mempunyai ke-kuasaan besar mengusut kasus korupsi. "Tidak ke kejaksaan, karena ini akan konflik kepentingan," ujarnya.
L.R. Baskoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo