MENDENGAR nama Narcissus, ingatan kita biasanya terus melayang pada pemuda yang senang bercermin di kolam. Dia tampan tapi menyandang "cacat bawaan". Pemuda yang bernama Narcissus itu, konon, tidak bisa jatuh cinta. Malang nian. Alkisah, seperti yang didongengkan dalam mitologi Yunani, dewi percintaan Nemesis putus asa melihat Narcissus. Apa yang harus dilakukan, agar si ganteng bisa membalas cinta si jelita? Untuk membangkitkan kesadaran bahwa ia tampan Nemesis menyuruh Narcissus menatap bayangan wajahnya di kolam. Tapi apa yang terjadi? Narcissus malah jatuh cinta pada dirinya sendiri. Tokoh dari khazanah mitologi Yunani ini pada abad ke-18, "dipinjam" Sigmund Freud untuk mengindentifikasi kelainan jiwa yang berupa gejala cinta diri sendiri. Freud menyebutnya narcisisme. Penderitanya dilukiskan oleh perintis psikoanalisa itu sebagai gila pujian, rakus perhatian, dan senantiasa merasa yang paling hebat. Mereka bisa bereaksi dengan ganas bila dikritik. Namun, penderita kelainan ini -- disebut narcisis -- sebenarnya berjiwa rapuh. Keagalan kecil saja bisa membuat mereka goyah dan jatuh ke kondisi depresif. Benarkah narcisisme itu suatu gejala kelainan jiwa? Teori Freud ternyata tidak seluruhnya benar. Sejumlah teori baru muncul dalam seminar tentang narcisisme yang diselenggarakan di Massachusetts General Hospital, Massachusetts, Amerika Serikat, November lalu. Sekitar 450 ahli ilmu jiwa hadir di sana. "Belum pernah topik ini menarik begitu banyak minat," kata Dr. Gerald Adler, psikiater Harvard Medical School, koordinator seminar itu. Menurut teori-teori baru, narcisisme tidak selalu buruk dan terkategori kelainan jiwa. Ternyata, ada sisi yang sehat pada kondisi kejiwaan ini. "Narcisisme sehat ini punya peran penting dalam perkembangan kepribadian," kata Dr. James Masterson, psikiater dari Cornell University, yang tampil sebagai pembicara. Dari penelitian selama bertahun-tahun, Masterson sampai pada kesimpulan bahwa narcisis yang normal mempunyai keyakinan yang kukuh. Rasa percaya diri mereka senantiasa mantap. "Tidak ada yang tahu dengan cara apa, tapi mungkin dengan memuji diri sendiri secara diam-diam," kata Masterson. "Dalam perkembangan kepribadian, kemampuan ini sangat diperlukan untuk bertahan." Narcisis yang patologis (tergolong kelainan jiwa) sangat bergantung pada pujian orang lain, sedangkan narcisis yang sehat justru tidak mudah terpengaruh komentar apalagi pujian orang lain. Dalam bukunya The Search for the Real Self yang terbit bulan lalu, Masterson mengungkapkan, orang-orang yang sukses dan terkenal pada dasarnya adalah narcisis yang normal. Kunci keberhasilannya terletak pada kemampuan untuk mengubah keinginan dipuji menjadi keinginan diakui. Karena itu, mereka bekerja keras untuk memburu pengakuan dan mendapat tepuk tangan. "Banyak di antaranya memilih bidang olahraga, politik, dan dunia pertunjukan, di mana tepuk tangan lebih eksplisit," kata Masterson. Dr. Paul Ornstein, psikiater dari University of Cincinnati, menjelaskan, "Sejak bergeser ke proses perkembangan kepribadian, narcisisme sangat menarik perhatian para psikoterapis." Ornstein, yang tampil sebagai salah seorang pembicara dalam seminar itu, berpendapat bahwa masalah kepribadian yang langsung berhubungan dengan narcisisme sehat adalah masalah harga diri. Dalam teori kepribadian, harga diri ini dikenal sebagai bagian jiwa yang sensitif, yang sangat mempengaruhi kondisi kejiwaan. Ornstein memberi contoh, "Anda tak cuma tersinggung bila seorang atasan tak membalas salam Anda. Akan bangkit pula rasa marah, karena harga diri Anda disakiti." Peristiwa kecil ini bisa menjadi trauma, yang diikuti keinginan membalas yang tidak sehat. Menurut Ornstein, setiap orang mempunyai mekanisme tertentu untuk melindungi kerapuhan jiwa di sektor harga diri ini. Pada narcisis yang patologis, pertahanan ini nyaris tidak ada. Mereka akan goyah bila harga diri mereka disakiti. Namun, pada narcisis yang normal, sistem pertahanan justru sangat kuat. Terdapat kepekaan yang sangat kompleks dalam menilai penghargaan orang lain kapan diperhitungkan, kapan dianggap remeh. Karena itu, narcisis jenis ini tidak mudah diguncangkan keadaan atau pandangan orang lain. Kepribadian yang tidak mudah runtuh ini, dalam analisa Ornstein, sering menjadi pangkal keberhasilan para narcisis yang normal. "Pandangan tentang narcisisme dalam waktu dekat akan berubah samasekali," ujar Gerald Adler. Di masa kini, kondisi kejiwaan ini masih dianggap kelainan jiwa tersembunyi, dengan berbagai manifestasi klinis. Misalnya rasa tidak mampu, pesimisme, dan depresi. Penyebabnya -- berdasar teori Heinz Kohut dan Otto Kernberg -- adalah pengalaman kejiwaan pada usia 18 bulan sampai 3 tahun. Pada usia ini, seorang anak biasanya mulai menunjukkan identitasnya. "Narcisisme tumbuh bila usaha ini tidak mendapat pengakuan orangtua, sebaliknya bahkan dikritik," kata Adler. Karena tetap ingin dicintai, anak-anak itu kemudian menampilkan identitas yang dikehendaki orangtua mereka. Pokoknya, mereka serba sempurna dan mengagumkan, padahal dasarnya tak ada sama sekali. Bersamaan dengan itu, muncul kecenderungan untuk mencintai diri sendiri. Ini manifestasi dari kekhawatiran, cemas kalau-kalau mereka kehilangan cinta orangtua, akibat salah langkah. Rasa gamang yang terbit akibat keinginan dicintai di masa kecil itu ternyata bisa juga menumbuhkan kepribadian yang kukuh. Para peserta seminar narcisisme sepakat, trauma ternyata tidak selalu menyebabkan kelainan jiwa. Pengetahuan mengenai narcisisme sehat mungkin bisa menjelaskan, bagaimana keadaan buruk dalam pertumbuhan semasa kanak-kanak bisa berbalik menjadi sumber kekuatan bagi kepribadian. "Para narcisis boleh gembira, karena mereka kini menjadi pusat perhatian para peneliti ilmu jiwa," kata Adler. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini