Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bukan Perkara Suap, Jenderal

Komisi Etik tidak mengusut Brigjen Pol. Ismoko untuk perkara suap. Padahal, saksi-saksi sudah bernyanyi.

31 Januari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Brigadir Jenderal Polisi Samuel Ismoko melangkah tenang meninggalkan Aula Rupatama Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Bibirnya tetap tersenyum. Padahal, Selasa pekan lalu itu, Majelis Sidang Komisi Kode Etik dan Profesi Polri, yang dipimpin Komisaris Jenderal Adang Daradjatun, baru saja memutuskan nasibnya: jenderal berbintang satu itu dinyatakan tak layak menjalani profesi penyidik dalam fungsi reserse selama setahun.

Inilah buntut perkara penilepan uang BNI Rp 1,7 triliun yang terjadi dua tahun lalu. Ismoko, yang waktu itu menjabat Direktur II Ekonomi Khusus Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri, adalah perwira tinggi yang memimpin penyidikan kasus tersebut. Bersama timnya, Ismoko menciduk sejumlah tersangka, antara lain Adrian Herling Waworuntu, yang dituduh sebagai aktor kasus ini.

Namun, saat penyidikan berlangsung, muncul keanehan. Adrian, yang sudah ditangkap, misalnya, malah bisa melenggang ke luar negeri pada November 2004. Keanehan lain terkuak dari ?nyanyian? Rudi Sutopo, salah satu tersangka. Adrian, yang ditahan, kata Rudi, bisa tidur nyenyak di ruang pemeriksa berpenyejuk udara di Mabes Polri. Kenikmatan yang kontras dibandingkan dengan tersangka lain yang harus sibuk menepuk nyamuk dalam sel pengap. Ismoko kemudian mengakui ia memang membedakan tempat penahanan Adrian. Alasannya, itu adalah salah satu taktik penyidikan agar kasus ini cepat terungkap.

Dari perkara tempat tidur inilah keanehan yang lebih seru terungkap. Ada dugaan kuat, Adrian bisa menempati ruang ber-AC karena menyogok dengan sejumlah uang. Dan belakangan, cerita ihwal sogok-menyogok ini jadi makin panas. Kepada media massa, Rudi membeberkan bahwa Adrian sempat meminjam uang kepadanya sebesar US$ 20 ribu. Untuk apa? ?Kata Adrian, uang itu untuk uang saku perjalanan dinas Ismoko ke Thailand,? kata Rudi. Januari 2004 lalu, Rudi menyerahkan uang ke Adrian di luar ruang penyidik Mabes Polri. Selain itu, Rudi juga mengaku pernah memberikan uang Rp 500 juta kepada Ishak (seseorang yang disebut sebagai makelar kasus), lagi-lagi untuk diberikan ke Ismoko.

Adrian tak membantah pernyataan Rudi. Tapi, menurut Adrian, gepokan dolar tersebut bukanlah uang saku bagi Ismoko. ?Itu untuk membeli peralatan kantor, perlengkapan karaoke, speaker, dan TV di ruang tahanan,? kata Adrian saat bersaksi di sidang majelis etik.

Sidang Komisi Etik sejak 30 Desember 2004 sudah memvonis Ismoko bersalah melanggar kode etik profesi kepolisian. Komisi juga memvonis Ismoko menyalahi prosedur menyangkut pengurusan tahanan. ?Saya memahami vonis itu,? kata Ismoko, yang kini dimutasi menjadi Kepala Biro Pembinaan pada Deputi Operasi Mabes Polri.

Lalu, soal tuduhan suap? Harap bersabar. Komisi Etik memang tidak mengutak-utik soal isu suap itu. ?Soal pidana penyuapan, itu harus dibuktikan di pengadilan umum,? kata Wakil Kepala Polri, Adang Daradjatun.

Inilah yang dipersoalkan banyak kalangan. ?Putusan itu sangat mengecewakan publik,? kata Sekretaris Jenderal Indonesian Police Watch, Adnan Pandurapraja. Menurut dia, pengakuan para tersangka dalam kasus BNI ini sudah jelas-jelas mengindikasikan bahwa Ismoko terlibat suap. ?Dengan vonis itu, telah terjadi pembusukan penegakan hukum di Mabes Polri,? kata Adnan.

Bagi Adnan, sidang Komisi Etik justru telah menjadi penyelamat Ismoko. Karena itulah dia menyarankan, agar kasus suap tidak menguap, penyelidikan terhadap perwira tinggi polisi harus melibatkan unsur masyarakat. ?Sehingga, apa pun keputusan yang diambil dalam sidang Kode Etik Profesi tidak melenceng,? kata Adnan. Dia juga mendesak agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih kasus ini. Kalau perlu, kata Adnan, DPR harus bertindak.

Ide agar KPK turun tangan juga datang dari kriminolog Universitas Indonesia, Erlangga Masdiana. Menurut dia, KPK memang harus segera mengambil alih karena polisi tampak tidak serius. Polisi, kata dia, terlihat serba salah bila harus mengusut anggotanya sendiri, apalagi yang berpangkat jenderal. ?Jika sudah begitu, apa jaminannya mereka bisa menegakkan hukum secara eksternal?? kata Erlangga.

Tapi, bagi Inspektur Jenderal Farouk Muhammad, Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, persoalannya tidak sesederhana itu. Menurut Farouk, masih jadi persoalan apakah Komisi Etik memiliki wewenang memeriksa kasus suap. ?Soal ini memang perlu dipertanyakan,? katanya. Ia mengakui, tuduhan suap itu memang menjadi ganjalan. Namun, menurut dia, di luar urusan suap-menyuap, keputusan Majelis Etik sudah bagus. ?Di sini Majelis menjaga profesi reserse dan kriminal yang diembannya selama ini,? katanya.

Sebetulnya, Komisi Etik bukannya tidak pernah memberi vonis keras. Ini, misalnya, terlihat ketika mereka menggelar sidang di Kepolisian Daerah Metro Jaya pada Juni 2004. Saat itu, yang menjadi terdakwa adalah Kepala Unit Patroli dan Pengawalan Polsek Kebon Jeruk, Inspektur Sunarjo.

Sunarjo diadili karena memberi izin untuk pengambilan gambar acara Mbikin Orang Panik (MOP) di RCTI. Tayangan ini membuat geger dan marah atasan Sunarjo. Gara-garanya, dalam tayangan itu polisi mau diminta berpura-pura menangkap Edward Supiko (yang tentu saja tidak tahu bahwa polisi hanya berakting) atas tuduhan membawa ganja.

Dalam sidangnya ketika itu, Komisi Etik merekomendasikan agar Sunarjo diberhentikan dengan hormat dari kepolisian?sebuah vonis yang sangat memukul pria yang sudah bertugas selama 22 tahun itu. Rekomendasi itu memang tak dilaksanakan. Namun, Sunarjo tetap kehilangan jabatannya.

Contoh yang paling mudah diingat adalah ketika Komisi Etik mengadili Komisaris Besar A.A. Mapparessa, Agustus 2004. Inilah kasus yang dikenal sebagai ?kasus VCD Banjarnegara?. Dalam rekaman VCD itu, terlihat Mapparessa sedang ?berkampanye? meminta para hadirin yang sebagian besar para warakawuri dan anggota keluarga Polri memilih Megawati sebagai presiden. Komisi kemudian mengganjar Mapparessa dengan mencopot jabatannya sebagai Kapolwil Banjarnegara. Tak hanya itu, Mapparessa masih dihukum tak boleh memimpin di kewilayahan selama dua tahun.

Menanggapi kritik bahwa Komisi Etik terlalu lunak terhadap Ismoko, Kepala Polri Jenderal Da?i Bachtiar berjanji akan terus mengusut dugaan suap itu. Janji serupa datang dari Ketua Tim Penyidikan Inspektur Jenderal Dadang Garnida. ?Kami akan bekerja profesional,? kata Dadang. Seluruh tim penyidik di bawah koordinasi Ismoko juga akan diusut, katanya lagi.

Sebuah janji yang pasti ditunggu buktinya.

Nurlis E. Meuko, Martha Warta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus