Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bukti Baru Kematian Vina Cirebon: Pesan Percakapan di Hari Kematian

Di hari kematiannya, Vina Dewi Arsita mengirim SMS kepada temannya. Bisa menggugurkan cerita pemerkosaan dan pembunuhan.

13 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Hakim Ketua Rizki Yunia (tengah) memimpin sidang Peninjauan Kembali (PK) kasus pembunuhan Vina Cirebon yang diajukan terpidana Saka Tatal di Pengadilan Negeri Cirebon untuk menjalani sidang Peninjauan Kembali (PK) di Cirebon, Jawa Barat, 24 Juli 2024. ANTARA/Dedhez Anggara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Data komunikasi penting antara Vina dan dua temannya tak pernah dihadirkan dalam persidangan.

  • Padahal komunikasi itu dianggap penting untuk menguji kewajaran konstruksi pembunuhan Vina dan kekasihnya, Eky.

  • Kini, komunikasi itu mencuat dan tengah ditelusuri oleh polisi.

DUA data komunikasi menjadi bukti penting kasus kematian Muhammad Rizky alias Eky dan Vina Dewi Arsita yang populer disebut Vina Cirebon delapan tahun lalu. Meskipun sudah dikantongi polisi, data itu tak pernah ditampilkan dalam sidang terhadap tujuh terpidana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengacara Saka Tatal dan Sudirman, Titin Prialianti, memastikan dua data komunikasi itu tak pernah dihadirkan dalam persidangan kliennya di Pengadilan Negeri Cirebon, Jawa Barat. Bahkan data itu tak masuk ke berkas Saka Tatal yang saat itu diadili secara terpisah karena masih di bawah umur. “Di berkas Saka sama sekali tidak ada,” tutur Titin saat dihubungi Tempo, Senin, 12 Agustus 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Data komunikasi pertama adalah pesan pendek atau short message service (SMS) Vina dengan dua temannya, Widia Sari dan Mega Lestari, pada hari yang diduga sebagai waktu pembunuhan, Sabtu, 27 Agustus 2016. Dalam data yang diekstrak pada 26 November 2016 itu, Vina berkomunikasi dengan kedua temannya sejak pukul 19.53 WIB. 

Vina bahkan empat kali mencoba menghubungi Widia pada pukul 22.10-22.13 WIB. Namun Widia tak menerima panggilan telepon itu. Vina kemudian mengirim SMS kepada Mega pada pukul 22.14 detik ke-10. Jika pengiriman SMS ini terkonfirmasi, cerita bahwa Vina dibunuh menjadi gugur.

Kuasa hukum Saka Tatal lainnya, Edwin Partogi Pasaribu, mengklaim terinspirasi memeriksa semua berkas kliennya setelah mendengar wawancara Mega dan Widia di siniar YouTube. Mereka menyebutkan soal komunikasi lewat telepon seluler Vina. Mereka mengulangi keterangan itu saat bersaksi di Pengadilan Negeri Cirebon.

Edwin meyakini Eky dan Vina meninggal karena kecelakaan tunggal. Pada Rabu, 7 Agustus 2024, ia menemukan laporan ekstraksi ponsel Vina di berkas milik Saka Tatal. Ia meyakini pesan Vina kepada Widia pada pukul 22.14 menjadi kunci teka-teki kematian sejoli itu. Dokumen itu otomatis meruntuhkan kronologi versi putusan Pengadilan Negeri Cirebon. “Kasus ini sudah game over,” tutur mantan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban itu.

Pengacara Widia dan Mega, Muchtar Effendi, membenarkan soal komunikasi itu. Menurut Muchtar, hal itu juga sudah dijelaskan oleh kedua kliennya saat menjadi saksi dalam sidang permohonan peninjauan kembali (PK) Saka Tatal pada 30 Juli lalu.

Muchtar menceritakan, pada hari itu, kedua kliennya bertemu dengan Vina sejak Sabtu siang, 27 Agustus 2016, sekitar pukul 13.00 WIB. Saat itu, Vina berkunjung ke rumah Widia yang telah dia kenal sejak 2014. Waktu itu, dia berencana menginap di rumah Widia. Kebetulan Mega juga saat itu berniat menginap di sana. Ketiganya pun bercengkerama.

Flyover Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, lokasi dimana Eky dan Vina ditemukan tewas pada 27 Agustus 2016. TEMPO/ Advist Khoirunikmah

Namun, menurut Muchtar, Vina pergi bersama Eky yang menjemputnya pada sore itu. Setelah Vina dan Eky pergi itulah komunikasi via SMS terjadi. Muchtar mengatakan Widia dan Mega baru mengetahui bahwa Vina serta Eky kecelakaan pada pukul 22.30 WIB. Saat itu, Widia mendapat panggilan telepon dari nomor Vina. Namun si penelepon menyatakan dari Kepolisian Sektor Talun, Cirebon, Jawa Barat. 

Si penelepon, menurut Muchtar, memberi informasi bahwa Vina dan Eky mengalami kecelakaan tunggal di flyover atau jalan layang Talun, Kota Cirebon. Polisi itu menyatakan Eky sudah meninggal di tempat, sedangkan Vina dibawa ke Rumah Sakit Daerah (RSD) Gunung Jati, Cirebon.

Muchtar menyatakan kedua kliennya sempat kembali mengirim SMS ke telepon seluler Vina pada pukul 01.30 WIB, Ahad, 28 Agustus 2016. Mereka ingin memastikan kondisi Vina karena mengira temannya itu hanya mengalami luka biasa. “Widia dan Mega mengira Vina kecelakaan biasa dan lukanya biasa. Enggak dikasih tahu bahwa ternyata kritis,” ujar Muchtar saat berbincang dengan Tempo, Ahad, 11 Agustus 2024. 

Tak mendapat balasan, Mega dan Widia pun langsung menuju RSD Gunung Jati. Di sana, mereka langsung bertemu dengan seorang perawat yang kemudian mengatakan, “Kalian berdua temannya Vina, ya? Coba itu dibantu.” Widia dan Mega pun langsung membisikkan dua kalimat syahadat ke telinga kanan serta kiri Vina. “Vina meninggal pada 28 Agustus 2016, pukul 01.45,” ujar Muchtar. 

Data komunikasi itu berbeda dengan kronologi waktu cerita pembunuhan Vina dan Eky yang dibuat oleh Kepolisian Resor Cirebon. Polisi menyatakan delapan terpidana mulai mengejar Eky dan Vina saat melintas di Sekolah Menengah Pertama Negeri 11 Cirebon sekitar pukul 21.00 WIB. Mereka menganiaya Eky dan Vina, lalu memperkosa Vina satu jam kemudian atau pada pukul 22.00 WIB.  

Menurut sumber Tempo, Mega dan Widia sudah diperiksa secara informal oleh 11 personel yang mengaku dari Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Mabes Polri). Mereka meminta keterangan Mega dan Widia sambil menunjukkan dokumen ekstraksi di ponsel Vina pada Sabtu, 27 Agustus 2016. Soal ini, Muchtar tak mau menjawabnya. 

Titin menyatakan data komunikasi itu tak ditampilkan dalam sidang kliennya delapan tahun lalu. Sidang saat itu, menurut dia, bahkan berfokus membahas bukti percakapan Andi dan Dani, dua orang yang diyakini polisi merencanakan serta ikut membunuh Vina dan Eky. Keduanya, bersama Pegi alias Perong, pun telah masuk daftar pencarian orang (DPO) atau buron. Namun jaksa dan hakim saat itu tak bisa membuktikan adanya percakapan tersebut. “Kami tanya itu mana bukti chat-nya. Hakim bilang, karena masih buron, jadi tidak bisa dibuktikan,” kata Titin. 

Kepolisian Daerah Jawa Barat sempat menangkap Pegi Setiawan yang diyakini sebagai Pegi Perong pada 21 Mei 2024. Namun Pegi kembali bebas setelah berhasil memenangi gugatan praperadilan. Sementara itu, Andi dan Dani dinyatakan fiktif oleh Polda Jawa Barat. 

Selain tak menghadirkan data komunikasi dari ponsel Vina dalam persidangan, Titin menyatakan terdapat manipulasi data yang disebut sebagai percakapan antara Saka Tatal dan Sudirman. Menurut dia, Sudirman dan Saka Tatal juga dituding melakukan percakapan rencana pembunuhan Vina dan Eky. Namun, setelah pihaknya kembali membuka berkas perkara, data komunikasi yang tercatat sebagai barang bukti di halaman 65 itu tak ada. “Polisi itu merangkum sendiri. Bukti percakapannya enggak ada,” Titin menjelaskan.

Yang ada, menurut Titin, hanya bukti ekstraksi percakapan dari nomor terpidana Hadi Saputra dengan pacarnya soal rencana pernikahan. “Hadi sayang-sayangan sama pacarnya,” katanya.

Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri, mengaku mengetahui adanya data percakapan antara Hadi Saputra dan pacarnya tersebut. Menurut dia, hal itu merupakan bukti bahwa polisi serampangan dalam pengusutan kasus ini. "Isi halaman 65 yang konon percakapan Sudirman dan Saka Tatal adalah rekayasa semata," ujar Reza saat dihubungi secara terpisah pada Senin kemarin. 

Menurut dia, tudingan penyidik dan jaksa bahwa ada SMS antara Saka Tatal dan Sudirman tidak didukung dengan hasil ekstraksi data. Bahkan, menurut dia, tak ada satu pun bukti komunikasi soal rencana pembunuhan tersebut. Hal itu, menurut dia, makin menegaskan bahwa penyidik saat itu tidak mengusut secara saintifik. Reza menyatakan hal ini juga makin membuktikan apa yang dikatakan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo beberapa waktu lalu. “Bahwa pada 2016, pengungkapan kasus Cirebon tidak sungguh-sungguh taat pada kaidah saintifik,” kata Reza mengutip pernyataan Kapolri.

Soal komunikasi dengan Widia dan Mega, Reza menilai hal itu juga penting untuk mencermati apakah skenario pembunuhan Vina serta Eky yang disusun oleh polisi delapan tahun lalu masuk akal. Pasalnya, menurut dia, hanya ada sedikit waktu antara pesan terakhir Vina dan kabar bahwa dia mengalami kecelakaan. “Masuk akalkah dalam sekian menit terjadi penganiayaan, pemerkosaan secara massal, dan pembunuhan, serta memindah-mindahkan jenazah ke beberapa titik?” ujar Reza.

Dia pun menyayangkan majelis hakim yang memutus delapan terpidana bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Vina dan Eky. Padahal, menurut dia, jika komunikasi itu dibuka sejak persidangan delapan tahun lalu, bisa jadi putusan terhadap delapan terpidana akan berbeda.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, pun berpendapat sama. Dia menyampaikan tidak munculnya ekstraksi percakapan itu dalam persidangan merupakan kesalahan tiga pihak. “Bukti ketidakcermatan penyidik, kecerobohan jaksa penuntut umum, dan ketidaktelitian hakim yang menjadi satu menyebabkan pengadilan sesat,” kata Bambang saat dihubungi secara terpisah.

Bambang juga mempertanyakan alasan bukti tersebut tidak dibahas dalam persidangan delapan tahun lalu. Apakah murni unsur ketidaksengajaan atau ada unsur kesengajaan. “Inilah pentingnya pengawasan yang independen di balik semua ini,” ucapnya.

Pengamat kepolisian itu menjabarkan arti pengawasan independen menyangkut pengawasan di kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Sebab, jejak digital bisa menjadi salah satu bukti di pengadilan yang harus menjadi pertimbangan hakim.

Pakar hukum pidana dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, punya pendapat berbeda. Dia justru mempertanyakan pengacara lima terpidana lainnya, selain Saka Tatal dan Sudirman, yang sebenarnya mengetahui data komunikasi tersebut. Seharusnya, menurut dia, pengacara bisa mempertanyakan hal itu kepada hakim dan jaksa. 

Selain itu, Suparji menilai bukti percakapan tersebut kini tak bisa lagi dijadikan novum karena sudah terdapat dalam berkas perkara. “Bisa saja itu sudah diperhatikan juga oleh hakim dan jaksa, tapi mungkin tidak terlalu meyakinkan,” dia menjelaskan.

Sementara itu, pengacara lima terpidana kasus tersebut, Jogi Nainggolan, mengatakan data percakapan dari ponsel Vina ini memang tercantum dalam berkas para kliennya. Namun, menurut dia, mereka tak berfokus membahas bukti itu dalam persidangan delapan tahun lalu. Alasannya, SMS itu tak mengarah pada ancaman pembunuhan, bahkan tidak berhubungan dengan kliennya. “Jadi tidak menjadi perhatian khusus,” kata Jogi saat dihubungi secara terpisah, Senin kemarin.

Dalam persidangan, Jogi justru mempertanyakan data ponsel lima kliennya yang tidak kunjung dibuka untuk mengetahui posisi mereka pada malam itu sebagai salah satu pembuktian ilmiah.

Reza Indragiri pun menyarankan Polri kembali membuka data komunikasi semua terpidana plus Eky dan Vina, selain membuka lagi data visum serta bukti lainnya. Dia menilai data ini bisa menjadi pengungkap kebenaran di balik kasus pembunuhan Eky dan Vina Cirebon. “Tidak menutup kemungkinan kesimpulan kita terhadap kasus Cirebon akan berubah dan nasib para terpidana akan berbalik arah,” kata Reza. 

Tempo pun sudah mencoba meminta konfirmasi soal percakapan Vina dengan Widia dan Mega tersebut kepada tiga pejabat Mabes Polri: Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko, dan Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Djuhandani.

Namun hingga berita ini ditulis ketiganya tak membalas pesan WhatsApp ataupun panggilan telepon dari Tempo. Bambang Tejo, salah satu jaksa penuntut umum (JPU) yang menangani kasus pembunuhan Eky dan Vina Cirebon pada 2016, pun enggan menjelaskan alasannya tak membuka percakapan itu di persidangan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Laporan ini mengalami revisi pada Rabu, 14 Agustus 2024 pukul 11.05. Revisi itu dengan memasukkan keterangan dari pengacara Saka Tatal lainnya, Edwin Partogi Pasaribu. 

Advist Khoirunikmah

Advist Khoirunikmah

Bergabung di Tempo sejak November 2023. Alumni Bakrie University dan Politeknik Negeri Bandung. Mengawal isu hukum dan kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus