Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Buto itu dicincang keluarganya

Bo'i penduduk kampung ciganda, cianjur dibunuh beramai-ramai oleh keluarganya. karena bo'i dianggap telah kemasukan roh jahat buto gunung simpay. (krim)

18 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERISTIWA ini bagaikan sebuah dongeng. Seorang lelaki, Bo'i namanya, dibunuh secara kejam: Tubuhnya dipotong 20 kerat, direbus hingga matang, lalu dibuang berpencar-pencar. Pembunuhnya, Tari Saptari, tak lain keponakan Bo'i. Percaya atau tidak, Saptari melakukannya dibantu seluruh keluarga. Bahkan istri Bo'i, ayah serta ibunya, ikut menyaksikan dengan tenang -- bagai menonton seekor kambing yang tengah dikuliti. Kisah yang terjadi dini hari, 18 Maret, berawal dari sakitnya Tari Saptari (23 tahun). Di Kampung Ciganda di desa terpencil, 130 km dari Cianjur (Ja-Bar ini belum ada dokter. Lagi pula Saptari mengidap sakit yang aneh. Ia seperti orang kesurupan: suaranya membesar, serak dan minta disediakan makanan yang enak-enak. Tak salah lagi, demikian pengamatan keluarganya, Saptari kemasukan roh Buto Gunung Simpay. Kampung Ciganda yang berpenduduk 200 KK itu memang terletak di lereng Gunung Simpay. Bo'i, paman Saptari, diam-diam pergi ke dukun. Tak jelas dukun yang mana -- di sekitar situ memang ada 40 dukun. Ikhtiar Bo'i berhasil. Saptari sembuh. Tapi, seminggu kemudian, penyakimya "pindah" ke tubuh Bo'i. Bahkan lebih parah. Ia mengamuk, merusak harta benda keluarganya, bahkan mengancam Saptari: "Orang ini harus dijadikan korban penguasa Gunung Simpay. Bila tidak, seluruh keturunan Kiki akan dimusnahkan." Begitu dituturkan Saptari belakangan. Kiki adalah kakek Saptari dan juga ayah Bo'i sendiri. Saptari gusar. Bukan berikhtiar, seperti dilakukan pamannya ketika berusaha menyembuhkannya, pemuda ini malah ingin mencoba ilmunya sendiri. Ia memang dikenal sebagai penganut sesuatu aliran. Alirannya, menurut Saptari, "biasa-biasa saja, -- mencegah seseorang dari marabahaya." Ilmu yang diperoleh dari Kiai Masnur itulah yang akan digunakan Saptari menghadapi ancaman Bo'i. Tapi, belum sempat mengamalkan ilmunya, Bo'i sudah mengejarnya. Saptari lari terbirit-birit dan segera mengumpulkan seluruh keluarganya. Menjelang tengah malam, keluarga bersepakat meringkus Bo'i. Tatkala Bo'i tak bisa melawan lagi, karena dikeroyok 7 orang (termasuk istrinya), Saptari meminta Bo'i membaca istighfar. Bo'i tak bisa melakukannya, sehingga keluarga itu akhirnya berkesimpulan, ia sesungguhnya telah lama meninggal. Yang ada tinggal badan kasar saja yang kini dirasuki roh jahat. Saptari mengambil pisau belati. Mula-mulai leher Bo'i dibabat sampai kepalanya terpisah dari badannya. Tubuhnya dipotong-potong menjadi 20 kerat, lalu direbus sampai matang. Semua itu dilakukan dengan tenang, disaksikan istri Bo'i sendiri, dihadapan Kakek Kiki yang tua renta. Keempat paman Saptari, saudara kandung Bo'i, ikut membantunya. Begitulah, setelah potongan tubuh itu matang, malam itu juga dibuang ke kebun cengkih secara terpisah-pisah. Semuanya itu mereka lakukan karena kepercayaan buto dalam tubuh Bo'i pasti punya Aji Pancasona -- ilmu milik Rahwana, tokoh pewayangan, yang tak bisa mati jika masih mentah dan berdarah. Pembunuhan buto tersebut tetap akan jadi rahasia, bila saja Saef tak pulang dari berkelana. Saef adalah putra Kiki yang bungsu. Saptari sendiri yang melaporkan semua peristiwa. Saef tak bisa menerima alasan keponakannya begitu saja. "Itu namanya pembunuhan," kata Saef. Ia lapor kepada polisi. Polisi lalu meringkus seluruh keluarga Kiki. Saptari dan paman-pamannya sama sekali tak menyesal. "Saya tak menyesal, karena yang kami bunuh itu buto," kata Saptari kepada TEMPO di tempat tahanannya. "Tetapi atas kematian Bo'i, saya merasa sedih," tambahnya. Mungkinkah Saptari dan keluarganya menderita gangguan jiwa? Dokter Venusri Latief, ahli penyakit saraf di Bandung, berpendapat: "Tidak mustahil mereka mendapat serangan penyakit jiwa epilepsi lobus temporalis -- mereka berbuat di luar kesadarannya." Namun Komandan Kepolisian Cianjur, Kolonel Permana menyatakan, pelaku pembunuhan itu orang-orang waras -- baik pada saat pembunuhan maupun sekarang. Itu adalah hasil pemeriksaan psykiater. Juga bukan pula aliran yang dianut Saptari sebagai penyebab. Kiai Masnur, guru pengajian Saptari, mengatakan kepada polisi, aliran yang diajarkannya baik-baik saja. "Yang diajarkan tak lebih dari membaca Al Quran, cara mengambil air wudlu dan sembahyang," kata Kiai. "Tak ada yang menyimpang dari agama."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus