PERISTIWA ini bagaikan sebuah dongeng. Seorang lelaki, Bo'i
namanya, dibunuh secara kejam: Tubuhnya dipotong 20 kerat,
direbus hingga matang, lalu dibuang berpencar-pencar.
Pembunuhnya, Tari Saptari, tak lain keponakan Bo'i. Percaya atau
tidak, Saptari melakukannya dibantu seluruh keluarga. Bahkan
istri Bo'i, ayah serta ibunya, ikut menyaksikan dengan tenang --
bagai menonton seekor kambing yang tengah dikuliti.
Kisah yang terjadi dini hari, 18 Maret, berawal dari sakitnya
Tari Saptari (23 tahun). Di Kampung Ciganda di desa terpencil,
130 km dari Cianjur (Ja-Bar ini belum ada dokter. Lagi pula
Saptari mengidap sakit yang aneh. Ia seperti orang kesurupan:
suaranya membesar, serak dan minta disediakan makanan yang
enak-enak. Tak salah lagi, demikian pengamatan keluarganya,
Saptari kemasukan roh Buto Gunung Simpay. Kampung Ciganda yang
berpenduduk 200 KK itu memang terletak di lereng Gunung Simpay.
Bo'i, paman Saptari, diam-diam pergi ke dukun. Tak jelas dukun
yang mana -- di sekitar situ memang ada 40 dukun. Ikhtiar Bo'i
berhasil. Saptari sembuh. Tapi, seminggu kemudian, penyakimya
"pindah" ke tubuh Bo'i. Bahkan lebih parah. Ia mengamuk, merusak
harta benda keluarganya, bahkan mengancam Saptari: "Orang ini
harus dijadikan korban penguasa Gunung Simpay. Bila tidak,
seluruh keturunan Kiki akan dimusnahkan." Begitu dituturkan
Saptari belakangan. Kiki adalah kakek Saptari dan juga ayah Bo'i
sendiri.
Saptari gusar. Bukan berikhtiar, seperti dilakukan pamannya
ketika berusaha menyembuhkannya, pemuda ini malah ingin mencoba
ilmunya sendiri. Ia memang dikenal sebagai penganut sesuatu
aliran. Alirannya, menurut Saptari, "biasa-biasa saja, --
mencegah seseorang dari marabahaya." Ilmu yang diperoleh dari
Kiai Masnur itulah yang akan digunakan Saptari menghadapi
ancaman Bo'i.
Tapi, belum sempat mengamalkan ilmunya, Bo'i sudah mengejarnya.
Saptari lari terbirit-birit dan segera mengumpulkan seluruh
keluarganya. Menjelang tengah malam, keluarga bersepakat
meringkus Bo'i.
Tatkala Bo'i tak bisa melawan lagi, karena dikeroyok 7 orang
(termasuk istrinya), Saptari meminta Bo'i membaca istighfar.
Bo'i tak bisa melakukannya, sehingga keluarga itu akhirnya
berkesimpulan, ia sesungguhnya telah lama meninggal. Yang ada
tinggal badan kasar saja yang kini dirasuki roh jahat.
Saptari mengambil pisau belati. Mula-mulai leher Bo'i dibabat
sampai kepalanya terpisah dari badannya. Tubuhnya
dipotong-potong menjadi 20 kerat, lalu direbus sampai matang.
Semua itu dilakukan dengan tenang, disaksikan istri Bo'i
sendiri, dihadapan Kakek Kiki yang tua renta. Keempat paman
Saptari, saudara kandung Bo'i, ikut membantunya.
Begitulah, setelah potongan tubuh itu matang, malam itu juga
dibuang ke kebun cengkih secara terpisah-pisah. Semuanya itu
mereka lakukan karena kepercayaan buto dalam tubuh Bo'i pasti
punya Aji Pancasona -- ilmu milik Rahwana, tokoh pewayangan,
yang tak bisa mati jika masih mentah dan berdarah.
Pembunuhan buto tersebut tetap akan jadi rahasia, bila saja Saef
tak pulang dari berkelana. Saef adalah putra Kiki yang bungsu.
Saptari sendiri yang melaporkan semua peristiwa. Saef tak bisa
menerima alasan keponakannya begitu saja. "Itu namanya
pembunuhan," kata Saef. Ia lapor kepada polisi. Polisi lalu
meringkus seluruh keluarga Kiki.
Saptari dan paman-pamannya sama sekali tak menyesal. "Saya tak
menyesal, karena yang kami bunuh itu buto," kata Saptari kepada
TEMPO di tempat tahanannya. "Tetapi atas kematian Bo'i, saya
merasa sedih," tambahnya.
Mungkinkah Saptari dan keluarganya menderita gangguan jiwa?
Dokter Venusri Latief, ahli penyakit saraf di Bandung,
berpendapat: "Tidak mustahil mereka mendapat serangan penyakit
jiwa epilepsi lobus temporalis -- mereka berbuat di luar
kesadarannya." Namun Komandan Kepolisian Cianjur, Kolonel
Permana menyatakan, pelaku pembunuhan itu orang-orang waras --
baik pada saat pembunuhan maupun sekarang. Itu adalah hasil
pemeriksaan psykiater.
Juga bukan pula aliran yang dianut Saptari sebagai penyebab.
Kiai Masnur, guru pengajian Saptari, mengatakan kepada polisi,
aliran yang diajarkannya baik-baik saja. "Yang diajarkan tak
lebih dari membaca Al Quran, cara mengambil air wudlu dan
sembahyang," kata Kiai. "Tak ada yang menyimpang dari agama."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini