Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Iryanto Lubis alias Jumar (24 tahun), mahasiswa Universitas Malikussaleh, ditetapkan sebagai tersangka setelah demonstrasi di Banda Aceh berujung pada kekerasan dan penangkapan. Kepada Tempo, Iryanto mengungkapkan bagaimana aksi yang awalnya damai berubah menjadi ricuh saat polisi turun tangan melakukan penanganan secara represif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Iryanto menjelaskan bahwa demonstrasi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada 29 Agustus 2024 itu membawa beberapa isu penting, termasuk penolakan revisi UU Pilkada, kenaikan upah di Aceh, konflik agraria, serta penolakan revisi UU TNI dan Polri. Mereka berorasi selama 30 hingga 40 menit di depan gedung DPRA, berharap untuk berdialog dengan personil polisi. Namun, niat tersebut tak terealisasi. "Kami ingin dialog terbuka, namun polisi menolak," ujarnya saat dihubungi Rabu malam, 11 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketegangan meningkat ketika salah satu demonstran membakar ban sebagai bentuk peringatan. Tak lama setelah itu, terjadi ledakan yang membuat massa panik. Meski ledakan itu tidak jelas asalnya, situasi akhirnya makin memanas. Polisi yang tadinya tampak hendak membuka negosiasi, justru menginstruksikan penangkapan.
Menurut Iryanto, polisi kemudian menangkap sekitar 16 demonstran, termasuk dirinya. "Kawan-kawan terkacir, ada yang ditendang di bagian perut," tuturnya. Mereka digiring ke teras DPRA, dipaksa jongkok, dan mengalami kekerasan fisik. Beberapa di antaranya bahkan dipukul hingga kepala mereka membentur dinding, meninggalkan bekas sepatu dan bercak darah di kepala salah satu demonstran.
R, salah satu demonstran yang terluka parah, dibawa ke rumah sakit, sementara sisanya digiring ke Polresta Banda Aceh. Di sana, mereka mengalami berbagai bentuk intimidasi dan kekerasan fisik. Iryanto sendiri mengalami kekerasan saat diinterogasi, termasuk dipukul, ditampar, dan dijambak saat ditanya soal spanduk yang mereka pasang.
"Ditanya kenapa tulis itu ‘Polisi Pembunuh’ ‘Polisi Biadab,’ Saya jawab, ini bentuk pengawalan kami terhadap institusi Polri, banyak peristiwa kriminal yang melibatkan polisi," katanya menceritakan interogasi yang berlangsung dengan penyidik. Jawaban itu tidak diterima dengan baik, dan kekerasan terus berlanjut.
Setelah malam pertama penahanan, Iryanto dan rekan-rekannya dipaksa menandatangani surat penolakan bantuan hukum. Padahal, sejak hari pertama penangkapan, pihak LBH Banda Aceh sudah menunggu di depan kantor Polresta. Namun, mereka dilarang masuk.
"Sabtu kami dibujuk, ditampar, dan dipaksa tanda tangan penolakan kuasa hukum," katanya. Meskipun ada intimidasi, beberapa demonstran dibebaskan, tapi ponsel mereka disita. Hingga kini, ponsel keenam para tersangka juga belum dikembalikan oleh pihak Polresta Banda Aceh.
Iryanto juga menyampaikan rencana mereka ke depan. Mereka hendak menggugat tindakan polisi melalui praperadilan dan menyurati Komnas HAM lagi untuk meminta penyelidikan pro justicia terhadap Kapolresta Banda Aceh. "Kami akan berusaha untuk menggugat melalui jalur hukum," katanya tegas. Dia menambahkan bahwa mereka juga ingin menggelar aksi damai yang tidak berujung pada kekerasan untuk menuntut hak-hak mereka. Sebab, menurut Iryanto dan teman-temannya, penangkapan, penyitaan barang bukti, dan penetapan tersangka tidak sah.
Bagi Iryanto, tindakan represif polisi terhadap demonstran menjadi bentuk penghalangan terhadap kebebasan berpendapat. Kritik yang mereka sampaikan seharusnya diarahkan pada institusi Polri, bukan pada individu polisi. Ia juga menekankan pentingnya agar pemerintah dan institusi penegak hukum tetap terbuka terhadap kritik, karena "kalau institusi pemerintah tidak bisa dikritik, itu berbahaya bagi demokrasi kita," tuturnya.
6 Mahasiswa Jadi Tersangka Ujaran Kebencian terhadap Polisi
Enam mahasiswa yang mengikuti demonstrasi ditetapkan sebagai tersangka oleh Satuan Reserse Kriminal Polresta Banda Aceh atas tuduhan ujaran kebencian terhadap polisi. Menurut Kepala Operasional LBH Banda Aceh, Muhammad Qodrat, Polresta Banda Aceh melakukan kriminalisasi dan menyalahgunakan kewenangan. Qodrat meminta agar enam mahasiswa itu dibebaskan dan penyidikannya dihentikan.
"Memerintahkan Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Banda Aceh untuk segera menghentikan penyidikan proses hukum terhadap enam orang mahasiswa yang ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana ujaran kebencian “Polisi Pembunuh” dan “Polisi Biadab”," katanya melalui keterangan tertulis, Rabu, 4 September 2024.
Semua tersangka dijerat dengan Pasal 156 dan Pasal 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal itu justru dianggap sangat dipaksakan karena Pasal 156 fokus pada ujaran kebencian terhadap ras, etnis, dan agama. Kemudian Pasal 157 soal penyebarluasan kebencian terhadap satu golongan penduduk atau masyarakat. "Polisi bukanlah ras, etnis, apalagi agama. Kemudian, Polisi juga bukan golongan penduduk atau masyarakat," ucap Qodrat.
Dia menjelaskan, polisi juga bukan seseorang, melainkan alat negara atau institusi yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Tugas kepolisian meliputi penegakkan hukum, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam memelihara keamanan negara.
Qodrat menyebut kritik terhadap institusi negara tidak tepat dianggap sebagai ujaran kebencian. Ketentuan pidana ujaran kebencian terhadap Pemerintah Indonesia juga dihapus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 6/PUU-V/2007 pada tahun 2007.
Tempo telah berupaya menghubungi Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Aceh, Komisaris Besar Joko Krisdiyanto melalui aplikasi perpesanan dan telepon untuk meminta konfirmasi soal kronologi penangkapan, penahanan, dan penetapan tersangka terhadap 6 mahasiswa di Mapolres Banda Aceh. Namun, hingga berita ini ditulis, Kombes Joko Krisdiyanto tidak membalas.