Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - China menjadi salah satu negara yang memberlakukan hukuman mati pada koruptor dalam upaya memberantas korupsi. Teranyar, Beijing mengeksekusi mati mantan sekretaris Partai Komunis Cina Li Jianping, 64 tahun, yang didakwa melakukan tindak kejahatan korupsi lebih dari 3 miliar yuan (Rp6,6 triliun).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Li dinyatakan bersalah telah menerima suap, menyalah gunakan uang masyarakat dan berkolusi dengan sebuah sindikat kriminal. Ia dijatuhi hukuman mati pada September 2022 setelah otoritas menemukan dia memanfaatkan statusnya sebagai PNS untuk menggelapkan uang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Agustus 2024, banding yang diajukan Li dinyatakan kalah oleh pengadilan Mahkamah Agung China. Walhasil, hukuman mati dijalankan pada Selasa, 17 Desember 2024. Stasiun televisi pemerintah China, CCTV mewartakan kabar eksekusi mati ini disampaikan sumber dari pengadilan di North Inner Mongolia Autonomous.
Lantas bagaimana dengan hukuman mati bagi koruptor di Indonesia?
Sudah menjadi rahasia umum, penerapan hukum pidana terhadap pelaku rasuah di Indonesia terbilang ringan. Paling banter penjara belasan tahun tapi yang terbanyak di bawah sepuluh tahun. Kalau pun ada yang divonis seumur hidup, jumlahnya sangat jarang. Sementara hukuman mati? Mustahil.
Apalagi baru-baru ini Presiden Prabowo Subianto mewacanakan akan mengampuni koruptor yang mengembalikan uang hasil korupsinya. Pernyataan itu disampaikannya saat berpidato di hadapan mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pada Rabu 18 Desember 2024.
“Saya Minggu ini dalam rangka memberi kesempatan untuk tobat. Hey para koruptor atau yang pernah mencuri, kalau kembalikan yang kau curi akan saya maafkan,” kata Prabowo, dikutip dari tayangan YouTube Sekretariat Presiden pada Kamis 19 Desember 2024.
Aturan hukuman mati bagi koruptor di Indonesia
Berdasarkan catatan sejarah penegakan antikorupsi di Indonesia, satu-satunya hukuman mati terhadap koruptor dijatuhkan kepada Jusuf Muda Dalam, politikus yang pernah menjabat sebagai Menteri Urusan Bank Sentral Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia pada 1963. Namun, ia meninggal sehari sebelum eksekusi karena serangan jantung.
Kendati nyaris tidak pernah dijatuhkan kepada koruptor, hukuman mati memang sebenarnya diatur dalam perundang-undangan pemberantasan korupsi. Regulasi hukuman mati sebelumnya tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU Tipikor.
Pasal 2 ayat (2) beleid ini menyatakan terpidana korupsi dapat dijatuhi hukuman mati. Syaratnya, kejahatan korupsi tersebut dilakukan dalam keadaan tertentu. “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan,” bunyi pasal tersebut.
Dalam lampiran penjelasan pasal per pasal dalam UU Tipikor imi, dijelaskan bahwa maksud “keadaan tertentu” dalam ketentuan tersebut adalah sebagai pemberatan bagi pelaku apabila tindak pidana dilakukan pada keadaan tertentu. Tujuannya untuk memberi rasa jera bagi koruptor lain serta merupakan bentuk pencegahan korupsi.
Sedikitnya ada empat kriteria yang dijadikan landasan koruptor bisa dieksekusi mati. Kriterianya yaitu apabila korupsi dilakukan:
1. Pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
2. Pada waktu terjadi bencana alam nasional.
3. Sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, maupun
4. Pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Namun, baru setahun berlaku, UU Nomor 31 Tahun 1999 ini direvisi oleh UU nomor 20 tahun 2001. Lampiran penjelasan mengenai Pasal 2 ayat (2) pun berubah. Kriterianya bukan 4 hal tersebut lagi. Kendati demikian substansinya masih tetap sama. Adapun kriteria hukuman mati bagi koruptor menurut UU Tipikor yang baru ini, yakni:
“Apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.”
Fenomena korupsi dana penaggulangan krisis ekonomi
Fenomena korupsi terhadap dana penanggulangan krisis ekonomi sebenarnya sempat terjadi pada 2020 lalu. Kala itu Indonesia dirundung Pandemi Covid-19. Pelakunya adalah Menteri Sosial saat itu, Juliari Batubara yang menilap duit bantuan sosial alias Bansos hingga Rp 17 miliar. Sempat berdesus isu vonis mati terhadap kader dari PDIP ini.
“Keselamatan masyarakat merupakan hukum tertinggi, maka yang korupsi dalam suasana bencana, tidak ada pilihan lain dalam menegakkan hukum, yaitu tuntutannya pidana mati,” kata Ketua KPK saat itu Firli Bahuri dalam rapat kerja dengan Komisi Hukum DPR RI, Rabu, 29 April 2020.
Dalam perkara ini, Juliari terbukti menerima uang suap terkait pengadaan bansos Covid-19 sekitar Rp 32,482 miliar. Tapi bukan pidana mati, dia lalu dijatuhi hukuman oleh Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pidana penjara 12 tahun plus denda Rp 500 juta pada 23 Agustus 2021. Hakim juga mewajibkan Juliari membayar uang pengganti sejumlah Rp 14,5 miliar.
Pakar hukum Mahfud Md, yang merupakan Menko Polhukam saat itu, mengatakan hukuman mati bagi napi korupsi sebenarnya sudah disepakati jauh-jauh hari. Kata dia, pemerintah sudah serius menegakkan aturan hukuman mati bagi koruptor. Namun, dalam penerapannya, hukuman terberat itu tak pernah terlihat karena hakim tak mau menerapkan.
“Kadang kala hakimnya malah mutus bebas, kadang kala hukumannya ringan sekali. Kadang kala sudah ringan dipotong lagi. Ya sudah, itu urusan pengadilan. Di luar urusan pemerintah,” ujar Mahfud saat ditemui di kantornya, di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa, 10 Desember 2019.
Di sisi lain, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) justru menentang hukuman mati sebagai pemberantasan korupsi di Indonesia. ICJR menegaskan penggunaan ini tidak pernah menjadi solusi akar masalah korupsi. Pemerintah lebih baik fokus pada visi pemberantasan korupsi dengan memperbaiki sistem pengawasan pada kerja pemerintahan.
“ICJR sangat menentang keras wacana KPK ataupun aktor pemerintah lainnya untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai solusi pemberantasan korupsi, terlebih pada masa pandemi ini,” ujar Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus AT Napitupulu mengatakan dalam keterangan tertulis, Senin, 7 Desember 2020.
Suci Sekarwati, Jacinda Nuurun Addunyaa, Egi Adyatama dan Mirza Bagaskara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.