Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPANJANG waktu sidang, Rasio Ridho Sani tak bisa duduk tenang. Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu beberapa kali mengecek pesan di telepon seluler. Sesekali berdiri dari kursi, Ridho berbicara dengan pengunjung sidang di Pengadilan Negeri Palembang. Kala itu, Rabu dua pekan lalu, hakim tengah membacakan putusan gugatan Kementerian terhadap PT Bumi Mekar Hijau.
Mewakili pemerintah, Kementerian menggugat Bumi Mekar membayar ganti rugi Rp 7,9 triliun atas pembakaran lahan konsesi seluas 20 ribu hektare. Inilah gugatan terbesar yang pernah diajukan pemerintah dalam kasus pembakaran lahan. Namun majelis hakim yang dipimpin Parlas Nababan—dengan hakim anggota Eliwarti dan Kartijono—menolak seluruh gugatan pemerintah.
Begitu hakim selesai membacakan putusan, Ridho yang semula duduk di barisan belakang kursi pengunjung maju ke depan. Ia memberikan instruksi kepada tim kuasa hukum Kementerian yang dipimpin Herwinsyah. "Kami menyatakan banding," kata Ridho dengan suara bergetar.
Pekan ini, Kementerian akan mendaftarkan permohonan banding. Menurut Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Jasmin Ragil Utomo, secara keseluruhan, materi gugatan tak akan berubah. Hanya argumennya yang akan diperkuat pendapat ahli hukum lingkungan, yang dikumpulkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Jumat pekan lalu. Dalam berkas permohonan banding, Kementerian juga akan menunjukkan berbagai kejanggalan selama persidangan.
Kuasa hukum Bumi Mekar Hijau, Maurice J. Silalahi, mempersilakan pemerintah mengajukan permohonan banding. Namun ia meminta pemerintah lebih obyektif melihat fakta persidangan. "Silakan dipelajari dengan saksama pertimbangan hakim," ujar Maurice, Selasa pekan lalu.
GUGATAN pemerintah terhadap PT Bumi Mekar Hijau bermula pada Februari 2015. Pemicunya adalah kebakaran di lahan konsesi hutan tanaman industri yang dikuasai Bumi Mekar. Pada Februari-September 2014, pencitraan satelit Terra Aqua Modis NASA menangkap sebaran titik panas (hot spot) di Desa Riding, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Palembang. Jumlah hot spot yang tertangkap sebanyak 1.260 titik.
Pada Oktober dan Desember 2014, tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terjun ke lahan konsesi Bumi Mekar, yang total luasnya sekitar 250 ribu hektare. Dua distrik, yaitu Simpang Tiga dan Sungai Beyuku, dipilih sebagai sampel untuk memverifikasi kebakaran. Ahli kehutanan dari Institut Pertanian Bogor, Bambang Hero Saharjo, turut serta dalam verifikasi itu.
Bambang menuturkan, di dua distrik tersebut tak ada pohon akasia yang hidup karena akarnya terbakar. Lapisan gambut di sana pun rusak. Sarana untuk mengendalikan kebakaran jauh dari memadai. Yang ada hanya satu sepeda motor roda tiga dan dua pompa air. Tak ada satu pun menara pengawas. Padahal, menurut Bambang, dalam dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Bumi Mekar disebutkan ada sepuluh menara.
Tim Kementerian juga menemukan pohon akasia yang terbakar bukan pohon yang sehat. Lingkar batangnya kecil, kurus, dan tumbuh gulma di bawahnya. "Kami menduga lahan itu dibakar karena akasianya jelek," ucap Bambang. Kala itu, tim Kementerian mengambil foto lokasi yang mereka kunjungi.
Kementerian lantas menyusun gugatan dengan tiga poin penekanan. Pertama, pemerintah menganggap Bumi Mekar sengaja membuka lahan dengan cara membakar. Kedua, lahan yang dibakar merupakan kawasan lindung. Terakhir, pembakaran lahan di lahan Bumi Mekar telah merusak lingkungan.
Jasmin Ragil Utomo menjelaskan, poin pertama gugatan mengacu pada temuan tim Kementerian ketika melakukan verifikasi lapangan. "Kami menduga sumber penyulutan berasal dari lahan tergugat," ujar Ragil. "Kebakaran tak mungkin terjadi dengan sendirinya."
Poin pertama gugatan, kata Ragil, juga diperkuat oleh Pasal 49 dan 50 Undang-Undang Kehutanan. Pasal 49, misalnya, menyebutkan pemegang hak atau izin lahan bertanggung jawab atas kebakaran yang terjadi. "Sengaja atau tidak, Bumi Mekar mesti bertanggung jawab," ucap Ragil.
Poin kedua, Ragil menambahkan, merujuk pada fakta bahwa lahan gambut yang terbakar memiliki ketebalan tiga-empat meter. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengawasan Kawasan Hutan Lindung, tanah gambut dengan ketebalan tiga meter atau lebih merupakan kawasan lindung.
Adapun poin terakhir menjadi acuan dalam penetapan besar ganti rugi. Berkas gugatan menyebutkan kebakaran membuat lahan gambut kehilangan fungsi penyimpanan air. Meski lahan masih bisa ditanami, kemampuan menyimpan airnya berkurang atau bahkan hilang. Untuk membangun kembali fungsi penampungan air itu saja, menurut perhitungan Kementerian, perlu biaya sekitar Rp 1,27 triliun. "Kebakaran ini juga menambah emisi gas rumah kaca ke atmosfer," ujar Ragil.
Total jenderal, pemerintah menuntut ganti rugi Rp 2,6 triliun dan meminta tindakan pemulihan lingkungan dengan biaya Rp 5,2 triliun.
Pada persidangan yang berlangsung sejak Februari hingga Desember 2015, Bumi Mekar berusaha mementahkan gugatan Kementerian. Pada berkas eksepsinya, Bumi Mekar menyebut gugatan Kementerian prematur dan tak lengkap. Alasannya, gugatan dilayangkan tanpa upaya damai lebih dulu. Gugatan juga tak melibatkan pemerintah daerah sebagaimana diatur Pasal 90 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Kehutanan.
Pada pokok perkara, sementara itu, Bumi Mekar juga mengajukan bantahan. Soal penyebab kebakaran, misalnya. Bumi Mekar Hijau berdalih kebakaran dipicu ulah warga setempat yang membuka lahan mereka dengan cara membakar. Hal itu telah mereka laporkan ke kepolisian setempat pada September 2014.
Kementerian mementahkan kembali bantahan tersebut dengan menunjukkan hot spot yang muncul sejak Februari 2014. "Aneh, mereka baru lapor bulan September," kata Ragil.
Bumi Mekar juga menyebut bukti kebakaran yang diajukan Kementerian tak valid. Dalilnya, Kementerian mengacu pada rekaman titik panas (hot spot), bukan titik api (fire spot) secara nyata. Padahal, menurut Bumi Mekar, titik panas belum berarti kebakaran.
Kementerian kembali menangkis bantahan ini dengan mengatakan level keakuratan satelit NASA yang cukup tinggi. "Ketika kami ke lapangan, asap mengepul di titik itu," ujar Yose Rizal, anggota tim verifikasi Kementerian.
Koordinator Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Selatan Hadi Jatmiko, yang selalu memantau jalannya sidang, mencatat tiga pertanyaan yang kerap dilontarkan hakim Parlas Nababan dan kawan-kawan. Mereka bolak-balik mempertanyakan keabsahan laboratorium Institut Pertanian Bogor yang digunakan Kementerian, keabsahan metode verifikasi dan bukti yang diajukan Kementerian, serta keberadaan titik api (fire spot) yang dipersoalkan Bumi Mekar. "Kecukupan sarana pengendalian kebakaran malah jarang disinggung," kata Hadi.
Atas permintaan penggugat, majelis hakim menggelar sidang lapangan pada 1 dan 2 Desember 2015. Menurut Bambang Hero, yang juga hadir pada sidang lapangan, pihak Bumi Mekar menunjukkan lahan mereka yang telah ditanami akasia setelah terbakar. "Sekitar satu jam hakim dibawa berkeliling," ucap Bambang.
Bumi Mekar juga menunjukkan peralatan pengendali kebakaran yang, menurut Bambang, sebelumnya tak ada di lokasi. Misalnya pompa, menara pengawas, dan truk tangki air. "Saya lihat alat-alat itu masih baru. Bersih," ujar Bambang.
Ternyata sidang lapangan itu tak banyak membantu Kementerian. Dalam pertimbangan putusannya, hakim menyatakan kebakaran tak disulut dari lahan Bumi Mekar. Hakim pun menganggap Kementerian salah memverifikasi kebakaran dengan memakai data titik panas (hot spot), bukan titik api (fire spot). "Hakim mengesampingkan Pasal 49 Undang-Undang Kehutanan yang menyatakan kebakaran adalah tanggung jawab pemegang hak atau izin lahan," kata Jasmin Ragil Utomo.
Hakim menilai Bumi Mekar telah berupaya memadamkan api, meski dengan peralatan seadanya. Perusahaan pemasok bahan bubur kertas untuk PT Asia Pulp and Paper itu, menurut hakim, juga merugi karena akasia siap panen milik mereka ikut terbakar.
Hakim juga mementahkan gugatan Kementerian bahwa pembakaran lahan telah menyebabkan kerusakan lingkungan. Meski kebakaran benar terjadi, menurut hakim, tak ada indikasi bahwa tanah telah rusak. Lahan yang terbakar masih berfungsi dengan baik karena tanaman akasia dapat tumbuh kembali di atasnya.
Pertimbangan hakim ini kontan menjadi bahan olok-olok di media sosial. Para netizen memelesetkan pendapat Parlas dkk menjadi, "Tak apa hutan dibakar karena masih bisa ditanami lagi."
Koordinator Masyarakat Anti Mafia Hutan Syahrul Fitra mempersoalkan posisi Parlas sebagai ketua majelis hakim perkara lingkungan. Menurut dia, Parlas belum memiliki sertifikat hakim lingkungan. Padahal, berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung Nomor 134/KMA/SK/IX/2011, sidang perkara lingkungan hidup harus dipimpin hakim bersertifikat lingkungan. Bila di sebuah pengadilan tak ada hakim bersertifikat lingkungan, didatangkan hakim bersertifikat dari pengadilan lain.
Di Pengadilan Negeri Palembang sebenarnya ada hakim bersertifikat lingkungan, yakni Kartijono. Namun Kartijono hanya menjadi hakim anggota. Ia pun bergabung sebagai anggota majelis belakangan, menggantikan hakim anggota Saiman.
Ditemui di Pengadilan Negeri Palembang pada Selasa pekan lalu, Parlas Nababan enggan berkomentar banyak tentang putusannya. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara itu mempersilakan pihak yang merasa dirugikan menempuh jalur hukum.
Komisioner Komisi Yudisial Joko Sasmito mengatakan lembaganya sudah mengirim delegasi untuk menyelidiki dugaan pelanggaran etik dalam putusan Parlas dkk. "Hal ini sudah dibahas di jajaran komisioner," ujar Joko.
Adapun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kini berfokus memperkuat argumen hukum untuk permohonan banding. Kementerian juga berencana menggugat kembali Bumi Mekar dalam kasus kebakaran lahan pada 2015. "Yang terakhir kebakarannya lebih parah lagi," kata Ragil.
Istman M.P., Parliza (Palembang), Salomon (Medan)
Pasal-pasal Terabaikan
INILAH beberapa ketentuan hukum yang diduga diabaikan dalam putusan perkara pemerintah versus PT Bumi Mekar Hijau.
1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pasal 49: Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di area kerjanya.
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasal 88: Setiap orang yang usahanya menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.
Pasal 13, 14, dan 18: Setiap penanggung jawab usaha yang dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan atau pencemaran lingkungan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan wajib:
- Mencegah kebakaran;
- Memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mencegah kebakaran;
- Segera melakukan penanggulangan kebakaran.
Syailendra Persada
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo